Translate

Monday, May 20, 2013

teori budaya Teori Bernstein


Teori Bernstein
Basil Bernstein, seorang professor dalam ilmu sosiologi Pendidikan di Universitas London, mengemukakan teori yang sangat banyak menerik perhatian para ahli pendidikan dan ahli linguistik. Ia mengemukakan anggapan dasar, ada dua ragam bahasa penutur, yang disebut kode terperinci atau kode terurai (elaborated code) dan kode terbatas (restricted code). Menurut Bernstein, kode terperinci itu cenderung digunakan dalam situasi formal atau dalam diskusi akademik.
Raga mini mengakibatkan dibebankannya kepribadian penutur pada ujaran, artinya kode ini menekankan sifat khas penutur sebagai seorang individu yang mandiri. Secara kebahasaan ia mempunyai cirri antara lain: penggunaan klausa bawahan (subordinate clause) atau anak kalimat, kata kerja pasif, ajektif, adverbia, serta kata sambung yang tidak lazim, penggunaan kata ganti I “saya” dalam jumlah yang cukup tinggi. Pada intinya mengacu kepada ragam bahasa yang “bermutu”.
Sebaliknya, kode terbatas cenderung digunakan dalam situasi formal, dalam lingkungan keluarga atau antar teman. Kode ini pada umumnya, terikat pada konteks, dan diungkapkan secara jelas dan eksplisit. Bernstein kemudian memperlihatkan hubungan antara kedua kode itu dengan keanggotaan kelas sosial. Dalam sejumlah percobaan yang  dilakukannya ia memperlihatkan, anak-anak golongan kelas menengah dapat menggunakan kedua kode tersebut,sementara anak-anak dari kelas pekerja (kelas buruh,kelas bawah)hanya dapat menggunakan kode terbatas saja.
Penemuan ini besar pengaruhnya dikalangan pendidikan,bahkan membuat ribut. Sejumlah penilitian oleh orang lain menunjukkan, anak-anak dari kelas buruh di sekolah, ternyata tidak semaju anak-anak kelas menengah,meskipun inteligensi mereka sama. Para peneliti itu kemudian menafsirkan,teori Bernstein mampu menjelaskan secara linguistic gejala seperti itu,yaitu sementara situasi pendidikan menuntut kemampuan mengunakan kode terperinci, banyak anak-anak kelas buruh tidak memakai kode itu . dengan kata lain,ada hubungan antara pretasi belajar murid (dari kelas buruh)denganragam bahasanya.tentang “tuntunan situasi pendidikan atas kode terperinci” itu terdapat dua pandangan.
Pandangan pertama berpendapat, hanya kesepakatan masyarakat sajalah yang menuntut digunakannya kode terperinci itu di sekolah. Masyarakat, dan khususnya guru-guru menganggap,kode terperinci itu memang layak dipakai untuk situasi sekolah, dan anak-anak. Artinya ragam bahasa murid kelas pekerja hendaknya tidak menjadi hambatan bagi keberhasilan studi mereka.
Pandangan kedua berpendapat, tuntutan digunakan kode terperinci itu bukan karena kesepakatan masyarakat melainkan tuntutan esensial (mendasar) proses pendidikan itu sendiri. Sebagian ahli pendidikan, anak-anak kelas buruh tidak memperoleh kesempatan di rumah mereka untuk menggunakan kode terperinci itu dalam hal ini mengakibatkan kekurangan kemampuan kognitif (cognitive deficiency) mereka.
Kode terbatas juga kurang memadai untuk menampung pengertian-pengertain dan cara-cara berpikir tertentu, perbedaan pandangan akan dunia ini mempunyai arti, ank-anak kelas itu kehilangan kesempatan mengembangkan daya kognitifnya.  Kemampuan Ragam bahasa mereka ada kekurangannya (language depriviation). Pernyataan ini adalah pernyataan keras dari kalangan pendidik, tapi bukan dari Bernstein.
Bernstein sendiri menganut versi yang agak lunak dibandingkan tafsiran yang kedua itu. Menurut pandangannya, anak-anak kelas buruh secar linguistik tidak kekurangan. Tetapi ia memang mengatakan, kode terperici memberi kesempatan untuk menggunakan pengertian universalistik (yakni bebas konteks), dan sekolah perlu memperhatiakn penyebaran dan pengembangan pengertian universalistik itu.
Pendapat ini memperoleh kritik dari banyak pihak. Anak-anak kelas buruh memang kurang memuaskan dalam menggunakan kode terperinci. Dikemukakan, status keluarga tempat pengambilan keputusannya bergantung kepada kedudukan formal dari masing-masing anggota keluarga, kurang memberikan kemungkinan timbulnya deskripsi lisan (verbal) yang terperinci yang membedakan satu individu dengan yang lain.
Hal yang menarik adalah pandangan “keras” itu, yakni pandangan kedua sebenarnya merupakan penafsiran salah terhadap teori Bernstein, telah berpengaruh banyak terhadap dunia pendidikan. Kekuranga itu perlu “diiisi”, diberi semacam kompensasi. Pemerintah kemudian membuet program yang dikenla dengan program pendidikan kompensatori (compensatory eduction)
Satu lagi yang menjadi objek kajian linguistik makroadalah mengenai hubungan bahasa dengan budaya atau kebudayaan.Apakah alat komunikasi verbal milik manusia itu merupakan bagian dari unsur kebudayaan atau bukan.Kalau bahasa merupakan bagian dari kebudayaan.
Dalam sejarah linguistic ada suatu hipotesis yang sangat terkenal mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan ini.hipotesis ini di keliarkan oleh dua orang pakar,yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf (dan oleh karena itu disebut hipotesis Sapir-Whorf) yang mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. Atau dengan lebih jelas,bahasa itu mempengaruhi cara berfikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya.Jadi,baikirhasa itu menguasai cara berpikir dan bertindak manusia.
Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya. Segala hal yang mereka lakukan selalu sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan. Tetapi dalam bahasa-bahasa yang tidak dipengaruhi kala, masyarakatnya sangat tidak menghargai waktu. Itulah barngfkali sebab di Indonesia ada ungkapan “jam karet” , sedangkan di Eropa tidak ada. Hipotesis Sapor-Whorf ini memang tidak banyak diikuti orang; tetapi hingga kini masih banyak dibicarakan orang termasuk juga dalam kajian Antropologi.
Yang banyak diikuti orang malah pendapat yang merupakan kebalikan dari hipotesis Safir-Whorf itu, yaitu bahwa kebudayaanlah yang mempengaruhi bahasa. Umpamanya, masyarakat  inggris yang tidak bebudaya makan nasi, maka dalam bahasa inggris tidak ada kat untuk menyatakan padi, gabah, beras dan nasi. Yang ada Cuma kata Rice untuk keempat konsep itu. Sebaliknya karena bangsa Indonesia bebudaya makan nasi, maka keempat konsep itu ada kosa katanya. Masyarakat Eskimo yang sehari-hari bergelut dengan salju mempunyai lebih dari sepuluh buah kata untuk menyebut berbagai jenis salju. Sedangkan masyarakat Indonesia yang tidak dikenai salju hanya mempunyai satu kata, yaitu salju. Itupun serapan dari bahasa arab.                                                                                                                                    Kenyataan juga membuktikan, masyarakat yang kegiatannya sangat terbatas, seperti masyarakat suku-suku bangsa terpencil, hanya mempunyai kosa kata kata terbatas jumlahnya. Karena eratny hubungan antara bahasa dengan kebudayaan ini, maka pakar yang menyamakan hubungan  keduanya sebagai bayi sikembar siam, dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Atau bagai sekeping mata uang: sisi yang satu adalah bahasa dan sisi yang lain adalah kebudayaan.

No comments: