Translate

Wednesday, January 23, 2013

Tragedi Keilmuan di UIN Jakarta

Tragedi Keilmuan di UIN Jakarta


Oleh: Adian Husaini
Majalah Gatra edisi 23 Januari 2008 lalu memuat sebuah berita yang sebenarnya terlalu penting untuk dilewatkan. Judulnya: ”Jembatan Ayat Keras dan Lunak.” Berita itu menceritakan seputar kontroversi isi disertasi Abd. Moqsith, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan disertasi yang diuji pada 13 Desember 2007 itu, maka Abd Moqsith – yang suka menambah namanya menjadi Abd Moqsith Ghazali – dinyatakan oleh UIN Jakarta telah berhak menyandang gelar Doktor dalam bidang Ilmu Tafsir Al-Quran.

Disertasi Abd Moqsith yang berjudul, ”Perspektif Al-Quran tentang Pluralitas Umat Beragama” dibimbing oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A (Dirjen Bimas Islam dan guru besar ilmu tafsir di UIN Jakarta) dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Jakarta). Bertindak sebagai penguji adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra (Ketua Sidang dan juga Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta), Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Prof. Dr. Suwito, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara, Prof. Dr. Zainun Kamal dan Prof. Dr. Salman Harun.
Melihat tema yang dibahas dalam disertasi Abd. Moqsith tersebut, harusnya para ahli tafsir di Indonesia tertarik untuk menyimaknya. Apalagi kasus ini sudah terangkat di media massa. Namun, faktanya, respon terhadap disertasi itu sepertinya dingin-dingin saja. Padahal, ini menyangkut masalah Al-Quran, kalam Allah, dan penafsirannya.
Menurut Gatra, disertasi ini memadukan tiga metode; tafsir maudhu’i (tematik), hermeneutika, dan ushul fikih. Tafsir maudhu’i untuk mengelompokkan kata kunci. Karena tafsir model ini kerap terjebak mengisolasi teks dan konteks, maka, dilengkapilah dengan hermeneutika. Motode ini berfungsi menemukan pesan universal ayat dengan memperhatikan kondisi objektif masyarakat tempat lahirnya ayat. Karena hermeneutika tak mampu menjangkau analisis dan kalimat dari sudut gramatika, dilengkapilah dengan ushul fikih. Ushul fikih membantu mengetahui kedudukan ayat serta bagaimana mesti dipahami sudut dalalat-nya (penunjukkan makna).
Dalam konklusinya, Moqsith menjembatani ayat toleran dan intoleran dengan membuat kategori ayat ushul (pokok) dan fushul (cabang, rinci). Ayat toleran disebut ushul, bersifat dan berlaku universal. Ayat ushul ini menunjukkan sikap teologis Al Quran. Sementara itu kelompok ayat intoleran adalah ayat fushul, yang bersifat situasional. Implementasi ayat fushul, misalnya ayat perang, harus tetap dengan naungan ayat ushul, misalnya prinsip tiada paksaan beragama. Maka perang tetap dengan etika, terlarang merusak tempat ibadah, membunuh kaum perempuan dan memaksa lawan masuk Islam.
“Disertasi ini telah melakukan terobosan, “ puji Prod Dr. Azyumardi Azra, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta yang memimpin sidang ujian terbuka.
“Kekuatan disertasi ini terletak pada penguasaan yang dalam terhadap khazanah Islam klasik, “ Azyumardi menambahkan. “Banyak orang bicara toleransi, tapi tak banyak yang punya sumber bacaan kuat dalam literatur klasik.”
Pembimbing disertasi ini, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, memuji disertasi ini telah mengungkap banyak informasi baru dalam literatur berbahasa Indonesia, seputar tema relasi antar-agama. Meski dalam literatur Arab hal itu terhitung barang lama. Sementara kritik panjang datang dari Prof. Dr. Salman Harun. Konon baru kali ini di UIN Jakarta ada penguji yang sampai membuat kritik tertulis ketika menguji. Salman menyebut Moqsith salah memahami penggalan buku Nawawi Al-Jawi (1813-1899) tentang bisa tidaknya non-muslim masuk surga. Moqsith dinilai tak utuh mengutip Ibnu Katsir (1300-1373). Menurut Salman, dua ulama itu berkesimpulan hanya Muslim yang masuk surga. Tapi Moqsith menyimpulkan, non muslim juga bisa. Salman khawatir disertasi ini akan memperkuat tuduhan sebagian kalangan bahwa UIN adalah tempat kristenisasi.
Demikian petikan berita Majalah Gatra seputar kontroversi disertasi doktor Abd Moqsith. Di berbagai media internet, banyak ditemukan puji-pujian terhadap Abd Moqsith.
Karena ini menyangkut bidang keilmuan Islam, khususnya bidang Ilmu Tafsir Al-Quran, maka saya pun tertarik untuk membaca disertasi tersebut. Kita dituntut untuk bersikap adil dalam menilai segala sesuatu, meskipun dengan orang yang berbeda pendapat. Jika memang pendapatnya benar, maka harus diterima. Jika memang keliru, maka perlu diluruskan.
Jika ditelaah, disertasi Abd Moqsith itu cukup tebal, lebih dari 300 halaman. Referensinya juga cukup kaya. Bahasanya pun enak di baca, mengalir lancar. Tampak, penulisnya adalah seorang yang cukup profesional dalam olah kata. Tanpa menafikan sejumlah kelebihan disertasi ini, jika kita telaah secara mendalam, ditemukan sejumlah problema yang sangat mendasar, yang seharusnya menjadi perhatian para pembimbing dan penguji, sebelum disertasi ini diluluskan.
Disebutkan, tujuan penulisan disertasi ini adalah (1) mengetahui pandangan dan sikap Al-Quran tentang pluralitas umat beragama, (2) mengetahui tafsir yang diberikan para ulama terhadap teks-teks yang terkait dengan pluralitas umat beragama, dan (3) menyusun tafsir ayat-ayat Al-Quran yang lebih relevan dengan konteks zaman yang semakin plural dari sudut agama, terutama mengontekstualisasikan ayat-ayat Al-Quran yang secara literal-skripturalistik berseberangan dengan semangat toleransi dan penghargaan terhadap umat agama lain.
Dari tujuan ketiga itulah, kita sudah bisa menangkap maksud penulis disertasi ini. Dalam bahasa mudahnya, penulis disertasi ini ”membuat tafsir baru” atau”merekayasa penafsiran” ayat-ayat yang dianggapnya ”tidak toleran”, ”tidak pluralis”, atau ”kurang menghargai agama lain”. Untuk ayat-ayat seperti ini, penulis berusaha sekuat tenaga, keluar dari makna teksnya, dan mencari-cari makna lain. Tetapi, untuk ayat-ayat yang dianggapnya pluralis, maka penulis disertasi ini mati-matian menggunakan metode tekstual-skripturalistik yang kaku.
Ini bisa dilihat, misalnya, ketika penulis membahas tentang ”Pengakuan dan Keselamatan Umat non-Muslim”, maka dia sudah membuat asumsi: ”Agama yang satu tak membatalkan agama yang lain, karena setiap agama lahir dalam konteks historis dan tantangannya sendiri. Walau begitu, semua agama terutama yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengarah pada tujuan yang sama, yakni kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat. Dengan memperhatikan kesamaan tujuan ini, perbedaan eksoterik agama-agama mestinya tak perlu dirisaukan.” (hal. 189).
Penulis liberal ini lalu mengutip sejumlah ayat Al-Quran yang dikatakannya merupakan bukti pengakuan Al-Quran terhadap eksistensi dan kebenaran kitab-kitab sebelum Islam, seperti QS 5:44, 46-47, dan 66. Lalu, dia membuat kesimpulan sendiri:
”Ayat tersebut memberikan pengakuan terhadap umat Yahudi dan Nashrani; mereka cukup menjadikan kitab suci masing-masing sebagai sandaran moral mereka. Ditegaskan, sekiranya mereka berpaling dari kitab sucinya, mereka adalah kafir dan fasik. Dengan demikian, jelas bahwa Islam tak memaksa agar mereka menjadikan Al-Quran sebagai rujukan kaum Yahudi dan Nashrani. Inilah bentuk pengakuan terbuka dari Islam terhadap agama lain. Bagi umat Islam, percaya terhadap kitab-kitab Allah menjadi bagian dari enam rukun iman dalam Islam. Sekurangnya, umat Islam mengimani empat kitab Allah, yaitu Zabur, Taurat, Injil, dan Al-Quran.” (hal. 191).
Kita sebenarnya geli membaca kesimpulan penulis disertasi ini. Terlalu mudah untuk melihat kelemahan kesimpulan tersebut. Al-Quran memang memerintahkan umat Islam beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul Allah. Tetapi, Al-Quran juga menjelaskan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah mengubah-ubah (melakukan tahrif) kitab mereka sendiri.
Misalnya, QS 2:75 menyebutkan: ”Apakah kamu masih mengharapkan mereka beriman kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui.” Juga, disebutkan dalam QS 2:79: ”Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: ”Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan.”
Karena itulah, jelas umat Islam saat ini tidak diwajibkan untuk beriman kepada Bibel Yahudi, Talmud, atau Bibel Kristen. Sebab, dalam pandangan Al-Quran, kitab-kitab suci para Nabi itu sudah diubah-ubah oleh sebagian pengikutnya, sehingga bercampur aduk antara yang asli dengan yang tambahan. Mestinya, penulis disertasi ini dengan jujur mengungkap ayat-ayat Al-Quran tersebut. Dan mestinya pula, para profesor UIN yang menguji disertasi itu juga melihat kekeliruan yang sangat mendasar ini.
Tapi, karena sejak awal, disertasi ini ditulis untuk ”mengakal-akali Al-Quran” agar sesuai dengan asumsi-asumsinya, maka fakta-fakta semacam ini bisa dijumpai di banyak bagian lainnya. Misalnya, asumsi penulis yang menyatakan: ”secara eksplisit Al-Quran menegaskan bahwa siapa saja – Yahudi, Nashrani, Sabi’in, dan lain-lain – yang menyatakan hanya beriman kepada Allah, percaya akan Hari Akhir, dan melakukan amal saleh, tak akan pernah disia-siakan oleh Allah. Mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal atas keimanan dan segala jerih payahnya.” (hal. 192).
Dalam beberapa kali catatan, kita sudah membahas makna QS 2:62 dan 5:69, dan bagaimana kaum Pluralis berusaha memanipulasi makna ayat ini. Termasuk bagaimana mereka memanipulasi pendapat para ulama, terutama Tafsir al-Manar. Dalam disertasinya ini, penulis lebih vulgar lagi dalam membuat kesimpulan, dengan berpegang kepada bunyi teks ayat itu dan menafikan penafsiran para ulama. Katanya:
”Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti bunyi harafiah ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dalam keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal shaleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan Al-Quran. Muhammad Rasyid Ridla berkata, tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah untuk beriman kepada Nabi Muhammad.” (hal. 194-195).
Membaca kesimpulan penulis liberal ini pun kita dibuat geli dan sekaligus prihatin. Biasanya kaum liberal selalu menyebut kaum fundamentalis sebagai kaum tekstualis, literalis, skripturalis, dan sebagainya. Tapi, ketika mereka bertemu dengan ayat Al-Quran yang mendukung pendapat mereka, ternyata mereka pun berpegang pada metode literalis. Cara ini mengingatkan kita pada cara negara-negara tertentu yang rajin meneriakkan demokrasi. Tapi, ketika demokrasi menghasilkan penguasa yang tidak sejalan dengan politik mereka, maka mereka pun menolak demokrasi dan mendukung kediktatoran.
Jika ditelaah dengan seksama pendapat Rasyid Ridla dalam Tafsir al-Manar, maka akan kita temukan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang risalah Nabi Muhammad saw tidak sampai kepada mereka. Karena itu, mereka tidak diwajibkan beriman kepada Nabi Muhammad saw. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka, menurut Rasyid Ridla, maka sesuai QS 3:199, ada lima syarat untuk keselamatan mereka. Diantaranya, (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada Al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.
Sayang sekali, sebagaimana perilaku sejumlah kaum Pluralis Agama, penulis disertasi ini pun tidak benar dan tidak fair dalam mengutip pendapat-pendapat Rasyid Ridla. Padahal, dalam soal ini, Nabi Muhammad saw sudah menegaskan:
”Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorangpun dari ummat sekarang ini, baik Yahud, maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.” (HR Muslim).
Karena itu, sejalan dengan Prof. Salman Harun, saya juga keheranan, bagaimana mungkin para Profesor pembimbing dan penguji disertasi ini sampai melewatkan kekeliruan-kekeliruan yang sangat mendasar semacam ini. Masih banyak sekali data, metodologi, dan analisa yang perlu dipertanyakan dalam disertasi ini. Ada beberapa kemungkinan mengapa para penguji meloloskan disertasi ini: mungkin mereka tidak membaca dengan cermat; mungkin mereka tidak paham; atau mungkin mereka memang setuju dengan penulisnya. Wallahu A’lam.
Yang jelas, menurut saya, kasus disertasi ini merupakan suatu ”Tragedi Keilmuan” di UIN Jakarta. Apa yang bathil, sesat, dan keliru, dilegitimasi oleh sejumlah guru besar bidang agama. Lebih merupakan tragedi dan musibah lagi bagi umat ini, jika para doktor dan pakar-pakar Al-Quran yang berjubel di UIN Jakarta hanya berdiam diri dan ”bengong saja” menghadapi kasus semacam ini.
Tapi, apa pun, kita patut mengucapkan selamat dan salut atas usaha Abd Moqsith sampai meraih gelar Doktor bidang Ilmu Tafsir. Anak yang cerdas ini telah mencapai prestasi yang tidak kecil. Dia telah bekerja keras menghasilkan sebuah disertasi doktor, apa pun kondisinya.
Bagi kita, ini adalah pelajaran yang berharga: bahwa untuk menyesatkan manusia pun perlu kerja keras dan sungguh-sungguh. Kini, kita menunggu dari kalangan cendekiawan Muslim untuk membuat karya-karya ilmiah yang benar dan jauh lebih baik dari apa yang telah dihasilkan Abd Moqsith dan tokoh-tokoh liberal lainnya. Wa jaadilhum billati hiya ahsan.
Kita wajib melakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam menyikapi setiap penyimpangan dan kemunkaran ilmu. Tapi, kita tidak perlu risau. Kita sekedar menjalankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Sebab, Al-Quran adalah wahyu Allah SWT. Al-Quran adalah milik Allah. Dan kita yakin, Allah punya cara sendiri untuk bertindak menjaga dan membuat perhitungan terhadap orang-orang yang berusaha merusak Kitab-Nya.
dinukil dari website : http://taukhid.wordpress.com/2008/09/02/tragedi-keilmuan-di-uin-jakarta/#more-230

Monday, January 21, 2013

Nusaibah Binti Ka’ab Al-Ansariyyah



Nusaibah Binti Ka’ab Al-Ansariyyah

Sesungguhnya Nusaibah Binti Ka’ab Al-Ansariyyah atau lebih dikenali dengan nama Ummu Umarah adalah merupakan salah satu contoh seorang muslimah yang mempunyai keberanian yang kukuh pada setiap saat dan ketika. Dia merupakan pahlawan wanita yang tidak pernah alpa dalam melaksanakan kewajipannya. Semua perkara yang dilakukan itu adalah untuk memperoleh kemuliaan di sisi Allah S.W.T. di dunia dan akhirat. Dia juga merupakan seorang sahabat wanita yang agung.
Nusaibah adalah salah seorang wanita yang telah turut serta bergabung dengan 70 orang lelaki Ansar yang ingin berbai’at kepada Rasulullah S.A.W. Dalam bai’at Aqabah yang kedua itu, dia bersama dengan suaminya Zaid Bin Ahsim dan dua orang puteranya Hubaib (yang telah dibunuh oleh Musailamah setelah itu) dan Abdullah (perawi hadith wuduk) telah membuat janji setia kepada Rasulullah S.A.W. Sedangkan wanita yang seorang lagi adalah saudaranya. Ummu Umarah merupakan seorang wanita yang berani, pandai menjaga harga diri, jujur dan rajin. Perkara ini dijelaskan oleh Rasulullah sendiri ketika dia membuat bai’at. Baginda bersabda maksudnya : ” Janganlah mengalirkan darah dengan sia-sia.”
Ummu Umarah Pahlawan Wanita Ansar
Ibnu Sa’ad telah memberikan gambaran indah mengenai Ummu Umarah di dalam kitabnya Thabaqat yang berbunyi seperti berikut : ” Ummu Umarah telah masuk Islam, dia telah menghadiri malam perjanjian Aqabah dan berbai’at kepada Rasulullah S.A.W. Dia juga turut serta dalam Perang Uhud, Perjanjian Hudaibiyah, Umrah Qadha’, Perang Hunain, Perang Yamamah di mana tangannya terpotong, serta pendengar hadith Rasulullah S.A.W “.
Nusaibah atau Ummu Umarah menceritakan sendiri pengalamannya ketika perang Uhud. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Sa’ad katanya : ” Pada permulaan siang, saya pergi ke Uhud dan saya melihat apa yang dilakukan orang. Pada waktu itu saya membawa tempat yang berisi air. Kemudian saya sampai kepada Rasulullah S.A.W. yang berada di tengah-tengah para sahabat. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, saya melindungi Rasulullah S.A.W, kemudian ikut serta ke medan pertempuran. Saya berusaha melindungi Rasulullah S.A.W. dengan pedang, saya juga menggunakan panah sehingga akhirnya saya terluka.”
Ketika Said bin Ibnu Rabi menanyakan kepadanya luka yang dilihat dibelakangnya, bagaimana kisahnya sehingga terjadi demikian. Ummu Umarah lalu menjawab, ” Ibnu Qumaiah datang ingin menyerang baginda, ketika para sahabat sudah meninggalkan Rasulullah S.A.W. Lalu ia berkata, ” Tunjukkan aku di mana Muhammad, aku tidak akan selamat selagi dia masih hidup,” lalu Mushab bin Umair dengan beberapa orang sahabat termasuk saya menghadapinya. Kemudian Ibnu Qumaiah memukulku.
Imam Az-Azahabi berkata, ” Dia adalah wanita yang utama dan pejuang dari kalangan Ansar, Khazraj, Najjar, Mazin dan sebagai orang Madinah. Saudaranya Abdullah bin Ka’ab termasuk kelompok para sahabat yang ikut dalam perang Badar. Begitu juga saudaranya Abdul Rahman termasuk orang yang suka menangis.”
Al-Waqidi berkata : ” Ummu Umarah ikut serta dalam perang Uhud bersama-sama dua orang anaknya dari suaminya yang pertama. Ia keluar untuk memberi minum dengan membawa qirbah atau tempat air yang buruk. Ia juga ikut berperang dan mendapat cubaan yang baik sehingga mendapat dua belas kesan luka ditubuhnya “.
Imam Az-Azahabi meriwayatkan darinya bahawa dia berkata : ” Saya mendengar Rasulullah berkata : Sesungguhnya kedudukan Nusaibah pada hari ini lebih baik dari kedudukan fulan dan fulan.”
Rasulullah S.A.W. Mendoakan Ummu Umarah dan Anaknya
Imam Az-Azahabi dari Abdullah bin Zaid bin Ahsim ia berkata : ” Saya mengikuti perang Uhud, maka ketika para sahabat meninggalkan Rasulullah S.A.W., saya dan ibu saya mendekati baginda untuk melindunginya : ” Mana Ummu Umarah?” Saya menjawab, ” Ya, wahai Rasulullah, ” Baginda bersabda : ” Lemparkanlah. ” Saya pun melemparkan sebiji batu kepada yang sedang menunggang kuda di hadapan mereka. Akhirnya batu itu mengenai mata kuda. Kemudian saya tindih orang itu dengan batu dan Rasulullah melihatnya sambil tersenyum.
Baginda juga telah melihat luka ibuku di belakangnya, baginda bersabda, ” Ibumu, ibumu…balutlah lukanya. Ya Allah, jadikanlah mereka sahabat saya di syurga “. Mendengar itu ibuku berkata : ” Aku tidak hirau lagi apa yang menimpaku dari urusan dunia ini “.
Demikianlah keberanian yang terlihat dalam diri Ummu Umarah yang telah mengibarkan panji-panji Islam. Dia berusaha sekuat dayanya untuk melindungi dan membela Rasulullah S.A.W. Ummu Umarah telah berjuang dan terluka dalam perang Uhud sebanyak 12 tempat di tubuhnya dan kemudiannya kembali ke Madinah dengan luka-luka perjuangan tersebut. Kemudian dia turut serta bersama Rasulullah S.A.W. untuk menunaikan Bai’atur Ridhwan, satu janji setia untuk sanggup mati syahid di jalan Allah S.W.T.
Mudah-mudahan Allah S.W.T. mengurniakan limpah rahmat kepada Ummu Umarah dengan rahmat yang luas dan menyambutnya dengan keredhaanNya yang agung
dikutip dari http://ammar87.wordpress.com/2007/08/16/nusaibah-binti-kaab-al-ansariyyah/

Hermeneutika dan Cara Berpikir Muslim


Hermeneutika dan Cara Berpikir Muslim 


MASIH membahas tentang sifat al-Quran menurut kaum liberal. Dalam buku terbitan Gramedia tersebut, al-Quran yang suci dan dijaga oleh Allah adalah al-Quran yang di Lauhil Mahfuzh.  Sedangkan al-Quran di dunia ini, yang sekarang dipegang oleh kaum Muslim, sejak awal sudah mengalami kesalahan. Setidaknya, tidak dapat dipastikan seratus persen otentik. Bahkan, Dawam Rahardjo yang memberi kata pengantar buku ini, menulis secara terang-terangan, bahwa al-Quran yang sekarang ini, mungkin saja mengandung kesalahan.
Menurut Dawam Rahardjo, mengutip pendapat pemikir liberal Mohammed Arkoun, Kalam Tuhan yang asli adalah yang tersimpan dalam Lauh Mahfuzh. Berikut ini ungkapan Dawam Rahardjo yang merupakan salah satu perintis liberalisasi Islam di Indonesia pada tahun 1960-an: ”Ketika turun kepada Nabi, wahyu itu bekerja dalam pemikiran Muhammad sehingga mengalami transformasi dari bahasa Tuhan ke bahasa manusia. Dan ketika wahyu itu disampaikan kepada sahabat, beberapa sahabat mentransformasikannya pula dalam bentuk transkrip yang tunduk kepada hukum-hukum bahasa yang berlaku. Dan kemudian ketika dilakukan kodifikasi, komisi yang dibentuk oleh Khalifah Usman melakukan seleksi dan penyusunan dan pembagian wahyu ke dalam surat-surat menjadi antologi surat-surat. Namun di situ terdapat peranan dan campur tangan manusia dalam pembentukan teks al-Quran seperti kita lihat sekarang. Karena adanya campur tangan manusia, wajar jika terjadi kesalahan dalam proses itu yang mendistorsi wahyu yang semula tersimpan di Lauh Mahfuzh itu. Hal itu bisa dipahami melihat kasus kodifikasi hadits yang mengandung ribuan hadits palsu itu. Apalagi dalam penetapan Mushaf Utsmani, Khalifah memerintahkan untuk membakar sumber-sumber yang menimbulkan masalah yang kontroversial. Namun demikian, siapa tahu di antara berbagai masalah yang sangat kontroversial yang dibakar itu justru sesungguhnya terdapat teks yang benar? Dan sebaliknya juga, siapa tahu bahwa sebagian dari kodifikasi itu terdapat teks yang keliru? Dalam hal ini, Aisyah sendiri mengakui kemungkinan terjadinya kecerobohan pada penulisan teks al-Quran.”  (xviii-xix).
Cara pandang seperti itu jelas sangat keliru. Selama lebih dari 1400 tahun, kaum Muslim bersepakat dan tidak ragu sedikit pun, bahwa al-Quran adalah Kalamullah. Bukti-bukti otentisitas al-Quran begitu jelas. Karena itulah, kita selalu mengatakan: ”Allah berfirman dalam al-Quran.”  Jika ditanya, bagaimana kita tahu bahwa al-Quran adalah Kalamullah?
Maka, kita jawab, Rasulullah saw sendiri yang menyatakan, bahwa al-Quran adalah Kalamullah.  Kalau Rasulullah saw tidak menyatakan seperti itu, kita juga tidak tahu dengan pasti. Karena kita muslim, dan kita yakin, bahwa Nabi Muhammad saw pasti jujur dan tidak pernah berbohong, maka kita pasti membenarkan segala ucapan Rasulullah saw, bahwa al-Quran adalah Kalamullah. Sejak awal, Rasulullah saw sudah memisahkan, mana yang ucapannya sendiri dan mana yang Kalam Allah, meskipun kata-kata itu sama-sama keluar dari beliau. Kita, sebagai Muslim (tidak pakai tambahan predikat apa-apa), yakin benar akan kebenaran ucapan Nabi kita, Muhammad saw, bahwa al-Quran memang Kalamullah. Jika ada manusia yang menolak konsep al-Quran adalah Kalamullah, maka manusia itu sejatinya telah menuduh Nabi Muhammad saw adalah seorang pendusta. Itu urusan dan tanggung jawabnya sendiri.
Dalam buku terbitan PT Gramedia ini, kaum liberal memang secara tegas menolak pemahaman dan keyakinan kaum Muslim selama ini  bahwasanya al-Quran adalah Kalamullah. Kaum liberal ini bertahan pada posisinya, bahwa al-Quran adalah kata-kata Muhammad. Ditulis di sini: “Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang yang cerdas, maka tatkala menerima wahyu, Muhammad ikut aktif memahami dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya sendiri. Karena itu, menurut Nashr Hamid Abu Zaid tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).” (hal. 143).
Jadi, inilah perbedaan yang sangat mendasar antara orang Muslim dengan orang liberal dalam memandang Kitab Suci al-Quran. Kita percaya berita-berita yang dibawa oleh para sahabat Nabi dan para ulama yang shalih. Sedangkan kaum liberal lebih percaya kepada Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, dan para orientalis yang rata-rata tidak beriman kepada al-Quran. Jika selama ini para ulama Islam meyakinkan umat Islam akan kebenaran dan kesucian al-Quran, maka kaum liberal berusaha membuat orang Muslim ragu-ragu terhadap al-Quran dan bahkan terhadap Islam itu sendiri. Mereka tidak merasa tenang, sebelum umat Islam meninggalkan keyakinan akan kebenaran al-Quran.
Pandangan terhadap konsep al-Quran – apakah Kalamullah atau kata-kata Muhammad – ini menurut Dawam Rahardjo, merupakan perbedaan utama antara metode Tafsir klasik dengan metode hermeneutika dalam penafsiran al-Quran. Menurut Dawam Rahardjo: “Metode Hermeneutika ini berbeda dengan pendekatan tafsir al-Quran tradisional yang bertolak dari kepercayaan bahwa al-Quran itu adalah kalam ilahi. Dalam pengertian itu, Tuhan tidak dipandang sebagai pengarang, sebagaimana manusia yang mengarang puisi atau prosa. Dalam menafsirkan al-Quran, para penafsir tidak melihat latarbelakang sosial Tuhan yang memengaruhi perkataan Tuhan. Sedangkan dalam hermeneutika, penafsir teks berusaha memahami teks dengan mempelajari pengarangnya, bahkan pembacanya, ketika teks itu diciptakan atau ditafsirkan kemudian.” (hal.xiii).
Jadi, dalam hermeneutika, otentisitas teks menjadi tidak terlalu penting. Yang penting adalah konteksnya. ”Disinilah perlunya metode hermeneutika, yang mencoba memahami teks berikut dengan mempelajari konteks, sehingga para penafsir bisa menemukan esensi makna suatu ayat yang mungkin saja keliru sebagaimana pernah diwacanakan oleh Mohammad Abduh,.” tulis Dawam Rahardjo. (hal. xix).
Bagi para sarjana al-Quran, terlalu mudah untuk menunjukkan kekeliruan data dan kutipan tulisan-tulisan seperti ini. Para ulama kita tidaklah bodoh dan membabi buta dalam meyakini kebenaran al-Quran. Hanya saja, penjelasan para ulama itu tidak banyak manfaatnya bagi orang-orang yang memang ingin ingkar. Di masa Rasulullah saw, banyak kaum Yahudi dan Nasrani yang sudah melihat dengan jelas bukti-bukti kenabian Muhammad saw, tetapi mereka tetap ingkar. Jika mereka memang mau ingkar, maka Allah menutup hati mereka dari kebenaran. Mata dan telinga mereka juga terhalang untuk menerima kebenaran.
Karena itu, apa yang bisa kita katakan lagi ketika seseorang tidak lagi percaya bahwa al-Quran adalah suci dan otentik?  Kitab mana lagi yang lebih valid dan begitu jelas riwayatnya selain al-Quran? Kitab inilah yang sejak awal dihafal dan ditulis. Ribuan ulama dan ilmuwan sudah membuktikan ketidakmungkinan al-Quran sebagai kitab karya manusia mana pun, termasuk Nabi Muhammad saw. Jika di siang bolong seperti sekarang, tiba-tiba ada manusia yang mengaku dapat membuktikan bahwa al-Quran mengandung kebohongan, maka manusia itu pastilah amat sangat luar biasa. Dia pasti bukan ”manusia biasa”.
 

Teori al-Quran Nasr Hamid: al-Quran adalah produk budaya



Teori al-Quran Nasr Hamid: al-Quran adalah produk budaya
Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) atau Metodologi kritik sastra (literary criticism)[2]. Dalam pandangannya metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Islam, Nasr Hamid menyatakan:
“Oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam.”[3]
Dengan Metode kritik ini Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun al-Quran menggunakan bahasa manusia. Karena itu al-Quran tidak lebih dari teks-teks karangan manusia.
Nasr Hamid mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980. Dalam artikelnya di harian Republika (30/9/2004) Dr. Syamsudin Arif mencatat, bahwa Nasr Hamid memang terpesona dengan hermeuneutika, sebagaimana ia ungkap dalam biografinya yang ia beri judul Voice of an Exile: Reflections on Islam. Dalam bukunya tersebut Abu Zaid mengakui bahwa hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan:
I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me.
Artinya:
“Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.”
Mengomentari pemikiran Nasr Hamid tersebut, Dr. Syamsudin Arif mengatakan:
“Orang macam Abu Zaid ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir”.[4]
Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi Doktornya pada tahun 1980 dengan judul: Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil AI-Qur’an `inda Muhy al-Din ibn `Arabi (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap Hermenutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang pertama kali menulis tentang hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan tulisannya al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981. Di dalam karya tersebut, Nasr Hamid memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Emilio Betti, Hans Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan Eric D. Hirsch.[5]
Setelah akrab dengan literatur hermeuneutika Barat, Nasr Hamid kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeuneutika, di antara masalah yang ia dengungkan adalah anggapannya bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya atau konsep al-Quran sebagai produk budaya (Muntaj Tsaqafi) dan memposisikan Nabi Muhammad ` sebagai “pengarang al-Quran”.
Untuk menerapkan konsep Muntaj Tsaqafi-nya, Nasr Hamid mendekonstruksi konsep al-Quran yang telah disepakati oleh umat Islam selama berbad-abad; yaitu konsep bahwa al-Quran adalah ‘kalamullah’ yang lafadz dan maknanya dari Allah I. Namun, kajian Nasr Hamid tersebut lebih mirip kepada Biblical Critism (kritik teks Bible) yang telah berkembang dalam tradisi Kristen, dari pada konsep kemakhlukan al-Quran-nya Muktazilah, Kaum Mu’tazilah memposisikan Al Qur’an sebagai kalam Allah I meskipun kalam Allah I itu di anggap sebagai makhluq yang diciptakan oleh Allah I sebagaimana Allah I menciptakan makhluq lain. Jadi kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an itu adalah tidak Qadim. Tapi Mu’tazilah sama sekali tidak berpendapat bahwa Al Qur’an adalah karya Muhammad sebagai produk budaya dan harapan orang-orang yang ada di sekitarnya seperti yang di kemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Maka salah jika ada yang berpendapat bahwa pemikiran Nasr Hamid berasal dari tradisi Islam.
Dalam tradisi Kristen, studi tentang Kritik Bible dan kritik teks Bible memang telah berkembang pesat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of  Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Critism on the new Testament”.  Reginald H. Fuller, dalam bukunya yang berjudul A Critical Introduction to the New Testament, menulis;
“Itulah mengapa jika kita hendak memahami apa yang dimaksud teks-teks Perjamjian Baru sesuai maksud para penulisnya ketika pertama kali ditulis, kita harus terlebih dahulu memahami situasi historis pada saat ia ditulis pertama kali”.
Setelah itu, kalangan pemuka dan cendekiawan Kristen mulai mengarahkan studi mereka terhadap al-Quran, sehingga mereka menempatkan posisi al-Quran sama dengan posisi Bible. Studi Biblical Critism terhadap al-Quran ini mulai muncul sejak abad ke-19. Di antara sarjana Barat, orientalis dan Islamolog Barat yang menerapkan metode ini adalah; Abraham Geiger, Gustav Weil, William Muir, Theodor Noldeke, W. Montgomery Watt, Kenneth Cragg, John Wansbrough, dan yang masih hidup seperti Andrew Rippin, Christoph Luxenberg, Daniel A. Madigan, Haraid Motzki dan masih banyak lagi lainnya [6]
Orientalis yang termasuk pelopor awal dalam menggunakan Biblical critism ke dalam Al-Qur’an adalah Abraham Geiger (m. 1874), seorang Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Pada tahun 1833, Geiger menulis Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen? (Apa yang telah Muhammad Pinjam dari Yahudi?). Di dalam karyanya tersebut, ia mengkaji AI-Qur’an dari konteks ajaran-ajaran Yahudi. Ia melihat sumber-sumber Al-Qur’an dapat dilacak di dalam agama Yahudi.
Setelah itu, berbodong-bondonglah para orientalis melakukan kajian kritis terhadap teks al-Quran, sebagaimana pada Bible, mereka menyamakan al-Quran dan Bible sebagai sebuah teks saja. Gerd R. Joseph Puin, seorang Orientalis pengkaji al-Quran telah menyarankan perlunya studi ke`sejarahan al-Quran, ia mengatakan:
“Begitu banyak kaum muslimin beranggapan bahwa al-Quran merupakan kata-kata Tuhan yang tidak pernah mengalami perubahan”.  Dan ia juga mengatakan: “Mereka (para cedekiawan) sengaja mengutip karya naskah yang menunjukkan bahwa Bible memiliki sejarah dan tidak langsung turun dari langit, namun sampai sekarang al-Quran masih berada di luar konteks pembicaraan ini. Satu-satunya cara menggempur dinding penghalang ini adalah mengadakan pembuktian bahwa al-Quran memiliki sejarah”.
Pendapat Nasr Hamid bahwa al-Quran adalah ‘produk budaya’ adalah problematik. Kapan al-Quran menjadi produk budaya? Jika al-Quran menjadi produk budaya ketika wahyu selesai, maka dalam rentang waktu wahyu pertama turun hingga wahyu selesai, al-Quran berada dalam keadaan pasif karena ia produk budaya Arab Jahiliyah. Namun, ini pendapat salah, karena ketika diturunkan secara berangsur-angsur al-Quran ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyah saat itu. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena al-Quran bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa budaya baru dengan mengubah budaya yang ada.
Menurut Prof. Naquib al-Attas, bahasa Arab al-Quran adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu, telah di-Islam-kan maknanya.            Al-Quran mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab. Kata-kata penghormatan (muruwwah), kemuliaan (karamah), dan persaudaraan (ikhwah), misalnya, sudah ada sebelum Islam.
Tapi, kata-kata itu di Islamkan dan diberi makna baru, yang berbeda dengan makna zaman jahiliyah. Kata ‘karamah’, misalnya, yang sebelumnya bermakna ‘memiliki banyak anak, harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian’, diubah al-Quran dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa). Contoh lain, juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan. Diubah maknanya oleh al-Quran, dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.
Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran
Studi Nasr Hamid selanjutnya adalah analisa terhadap corak sebuah teks yang dengan hal itu dapat diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Pendapat Nasr Hamid ini ia adopsi dari tokoh hermeneutika modern, Frederich Schleirmacher yang merumuskan teori hermeuneutikanya berdasarkan pada analisa terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya dan kejiwaan) pengarangnya.
Karen Armstrong telah meresume pandangan Schleirmacher terhadap Bibel sebagai berikut:
Bahwa Bibel adalah sangat penting bagi kehidupan kaum Kristen, karena ia adalah satu−satunya sumber informasi tentang Yesus. Tapi, karena penulis−penulis Bibel terkondisi dalam lingkungan sejarah dimana mereka hidup, maka adalah sah−sah saja untuk mengkritisi dengan cermat karya mereka.
Schleirmacher mengakui bahwa kehidupan Yesus adalah wahyu suci, tetapi para penulis Bibel adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa terjebak dalam dosa. Karena itulah, mereka mungkin saja berbuat kesalahan. Karena itulah, menurut Schleirmacher, tugas para sarjana Bibel adalah membuang aspek−aspek kultural dari Bibel dan menemukanintisarinya yang bersifat abadi. Tidak setiap kata dalam Bibel adalah otoritatif, karena itu, kata Schleirmacher, seorang penafsir harus mampu membedakan mana ide−ide yang marginal dan ide inti dalam Bibel.[7]
Dari sini kita dapat dengan mudah mengetahui pengaruh penafsiran kaum Liberal Yahudi dan Kristen terhadap Nasr Hamid. Setelah itu Nasr Hamid tampil cerdik, dengan menempatkan Nabi Muhammad ` sebagai penerima wahyu pada posisi semacam “pengarang al-Quran”, dia menulis dalam bukunya Mafhum al-Nash:
“Bahwa al-Quran yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Dengan demikian, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya”.[8]
Pendapat Nasr Hamid Abu Zayd  ini merusak konsep dasar Al Qur’an yang dianut sebagian besar umat Islam, bahwasanya Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu saja, beliau tidak merubah sedikitpun yang diterimanya dari Allah I. Beliau pun Ma’shum artinya terjaga dari kesalahan. Al Qur’an menyebutkan:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3)
Artinya:
“Dan Dia (Muhammad `) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang di wahyukan kepadanya”. (QS. Al Najm:3)
Dengan menyebut al-Quran sebagai cultural product dan menempatkan posisi Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran, maka Nasr Hamid telah melepaskan posisi al-Quran sebagai kalamullah yang suci dan menghilangkan sakralitas al-Quran dan menjadikan al-Quran hanya teks manusiawi atau hasil pengalaman individual yang diperoleh nabi Muhamamad ` dalam waktu dan tempat tertentu yang latar belakang sejarah sangat mewarnai pemikirannya.
Dalam buku terbitan PT Gramedia yang ditulis oleh tiga personel Islam Liberal yaitu Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar Abdalla yang berjudul “Metodologi Studi al-Quran” disebutkan secara jelas tentang penolakan mereka terhadap pemahaman dan keyakinan  umat Islam bahwa al-Quran adalah kalamullah. Kaum Liberal menganggap bahwa al-Quran adalah kata-kata Muhammad `, ditulis dalam buku tersebut:
“Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang yang cerdas, maka tatkala menerima wahyu, Muhammad ikut aktif memahami dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya sendiri. Karena itu, menurut Nasr Hamid Abu Zaid tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).”
Menurut Dawam Raharjo, perbedaan pandangan terhadap konsep al-Quran apakah kalamullah atau kata-kata Muhammad merupakan perbedaan utama antara metode Tafsir klasik dengan metode Hermeuneutika, ia mengatakan: “Metode Hermeuneutika ini berbeda dengan penekanan tafsir al-Quran tradisional yang bertolak dari kepercayaan bahwa al-Quran itu adalah kalam  ilahi. Dalam pengertian itu, Tuhan tidak dipandang sebagai pengarang, sebagaimana manusia yang mengarang puisi atau prosa. Dalam menafsirkan al-Quran, para penafsir tidak melihat latarbelakang social Tuhan yang memengaruhi perkataan Tuhan. Sedangkan dalam hermeuneutika, penafsir teks berusaha memahami teks dengan mempelajari pengarangnya, bahkan pembacanya, ketika teks itu diciptakan atau ditafsirkan kemudian.”
Ia juga menyatakan: “Disinilah perlunya metode hermeuneutika, yang mencoba memahami teks berikut dengan mempelajari konteks, sehingga para penafsir bisa menemukan esensi makna suatu ayat yang mungkin saja keliru sebagaimana pernah diwacamakan oleh Muhamamad Abduh.”[9]
Pendapat-pendapat Nasr Hamid juga banyak diikuti oleh IAIN, banyak dosen dan mahasiswa UIN yang secara terang-terangan mengusung pendapat Nasr Hamid, seperti seorang dosen di IAIN Surabaya bernama Suhalwi Ruba, dihadapan mahasiswanya ia menuliskan lafal Allah I pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu, sambil mengatakan: “al-Quran dipandang sakral secara substansi,tapi tulisannya tidak sakral”. Menurut Suhalwi, al-Quran sebagai kalam Allah I adalah makhluk ciptaan-Nya, sedangkan al-Quran sebagai mushaf adalah budaya karena bahasa Arab, huruf hijaiyah dan kertas merupakan hasil cipta manusia.

[1] Henri Shalhuddin, al-Quran dihujat, (Jakarta: al-Qalam, 2007), cet. Ke-2, hal. 9
[2] Sebelum Nasr Hamid, beberapa Intelektual Muslim Mesir seperti Thha Husain, Amin al-Khuli (1895-1966), Muhammad Ahmad Khalaf Allah (1916-1998) dan Shukri Muhammad ‘Ayyad (1921-1999) sudah mengaplikasikan metode kritik sastra terhadap AI-Qur’an. Lihat Adnin Armas, MA, Metodologi Bible dalam Studi al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2005) cet. Ke-1, hal. 22 menukil dari Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of Nis Method of lnterpreting the Qur’an (Montreal: Disertasi Doktoral di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, 2001). Kritik sastra ini ketika diterapkan dalam Bible, menggunakan satu pendekatan khusus yang disebut studi sumber (source critism). Kritik sumber pertama kali muncul pada abad ke-17 dan ke-18 M ketika para sarjana Bibel menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel. Mereka menyimpulkan kandungan Bibel akan lebih mudah dipahami. jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bibel diteliti.
[3] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas: Dirasah fi ‘Ulum AI-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-’Arabi, 1994), cet.ke-2, hal. 27
[4] Adian Husaini, MA dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeuneutika dan Tafsir al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), hal. 36-38
[5] Adnin Armas, MA, Metodologi Bible dalam Studi al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2005) cet. Ke-1, hal. 30
[6] Adnin Armas, MA, Metodologi Bible dalam Studi al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2005) cet. Ke-1, hal. 36
[7] DR. Adian Husaini, Murid−murid Nasr Hamid Abu Zayd di Indonesia, http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia, diakses 6/6/2010
[8] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1997 M), hal. 59
[9] Dr. Adian Husaini, Hermeuneutika dan cara berfikir Muslim dalam Majalah ar-Risalah (Vol. IX no 12, Juni 2010) hal. 33