Translate

Monday, May 20, 2013

Sosiolingustik (Antara Bahasa dan Budaya)


oleh : Herman RN
Sosiolinguistik bukanlah sekedar pembahasan “campuran” antara ilmu bahasa dan sosiologi atau ilmu sosial lainnya, tetapi di dalamnya juga mencakup prinsip-prinsip setiap aspek kehidupan yang berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural. Oleh karena itu, agar pembahasan di sini tidak meluas, kami membatasinya pada “Bahasa dan Budaya” sebagai aspek kultural kehidupan sehari-hari.
Banyak ahli dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebut saja di antaranya Suryadi, dosen Politeknik Medan, dalam makalahnya Hubungan Antara Bahasa dan Budaya, yang disampaikan dalam seminar nasional “Budaya Etnik III” di Universitas Sumatera Utara 25 April 2009 kemarin. Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai bahasa. Sebelumnya, pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan budaya memiliki kajian erat. Kajian yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf. Kedua ahli ini menyatakan, “Jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya” (Chaer, 2003:61).
Sementara itu, Piaget, seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahir teori pertumbuhan kognisi oleh Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky, sarjana Rusia, berbendapat bahwa perkembangan bahasa lebih awal satu tahap sebelum berkembangnya pemikiran (budaya) yang kemudian keduanya bertemu sehingga melahirkan pikiran berbasa dan bahasa berpikir. Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan budaya. Demikian halnya dengan Eric Lenneberg yang memiliki kesamaan pandangan dengan teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Chomsky dan Piaget (Chaer, 2003:52-58).
Lantas, bagaimanakan hubungan dan keterkaitan antara bahasa dan budaya, inilah yang akan kami coba ulas dalam tulisan singkat berikut ini, tentunya berdasarkan teori-teori yang sudah ada dan mengaitkan sedikit dengan lokalitas keacehan sebagai tempat (daerah) masalah ini kita diskusikan.
HUBUNGAN BAHASA DAN BUDAYA
Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
1.     bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
2.     bahasa merupakan percapakan (perkataan) yang baik.
Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi.
Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama dengan maksud kata “mati” misal mampus, meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas, lenyap, dsb., sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu die dan pass away.
Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur daerah yang bersangkutan.
Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa ‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing. Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok.
Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
BAHASA DAN KEBUDAYAAN DALAM MASYARAKAT ACEH
Pemahaman mengenai tingkah laku sosial melalui bahasa tergantung pada teori umum tentang masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman pertukaran bahasa dan pengekalan bahasa juga bergantung kepada teori sosiobudaya.
Kebudayaan atau kebiasaan masyarakat penutur bahasa Aceh misalnya. Penutur bahasa Aceh Barat dan bahasa Aceh Selatan (termasuk Lamno, Jeuram, dan Nagan Raya) bertutur antara anak dan orangtuanya akan berbeda dengan kebiasaan masyarakat Aceh Utara (termasuk Pidie, Peusangan, dan sebelah timur Aceh) dalam konteks yang sama, yakni “anak menyapa orang tua”. Dalam masyarakat Aceh Barat-Selatan adanya penggunaan ku- ‘aku’ saat menyapa orangtuanya dipandang sebagai hal yang biasa. Misal: uroe nyoe han ék kujak peukan, Mak. Namun, dalam masyarakat Aceh Utara, ku di sana tidak biasa digunakan sehingga dipandang “kasar”. Masyarakat Aceh Utara akan menggunakan kata lôn/lôntuan untuk menyapa orangtuanya atau orang yang lebih tua dari dia, uroe nyoe lôn han ék lônjak peukan, Mak.
Contoh lain, pada kata singoh ‘besok’. Dalam kebiasaan masyarakat Aceh Selatan, kata singoh bermakna besok yang jangka waktunya bisa lebih dari sehari setelah hari ini (hari diucapkan kata tersebut) bahkan sampai pada waktu yang tidak ditentukan. Namun, dalam masyarakat Aceh Utara, kata singoh berarti besok yang maknanya sehari setelah hari ini. Bagi masyarakat Aceh Barat dan Aceh Selatan, ucapan untuk menyatakan besok dalam artian sehari setelah hari ini adalah singoh beungoh. Namun, bagi masyarakat Aceh sebelah timur dan utara, ungkapan singoh beungoh maknanya adalah sehari setelah hari ini yang tepat pada paginya. Kalau sudah menjelang siang, tidak diucapkan lagi singoh beungoh, tetapi bisa saja cot uroe singoh. Hal ini jelas memperlihatkan perbedaan kebiasaan dalam penutur bahasa Aceh yang mempelihatkan kebudayaan suatu wilayah terutama dalam hal berjanji. Akibat yang ditimbulkan dalam hal ini adalah kebiasaan menepati janji yang akhirnya dipandang sebagai sebuah kebudayaan.
Karena itu, banyak pakar linguistik mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan. Teori yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf, yang dikutip oleh banyak ahli dalam menulis buku tentang sosiolinguistik dan psikolinguistik1. Dalam bahasa Sapir dan Whorf, disebutkan bahwa bahasa itu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya.
Perkara “waktu” sebagai salah satu kebiasaan dalam bertindak dan berkomunikasi seperti saya contohkan di atas juga sudah pernah disitir oleh Chaer (1994:70) saat mengamati teori Sapir-Whorf. Chaer sepakat bahwa apa yang disebutkan oleh teori tersebut memunculkan nama “jam karet” bagi bangsa Indonesia, sedangkan di Eropa ungkapan tersebut tidak ada.
Teori ini kemudian banyak dibantah orang. Beberapa ahli seperti saya sebutkan dalam pendahuluan tulisan ini mengatakan bahwa kebudayaanlah yang mempengaruhi bahasa. Umpanya, karena masyarakat Inggris tidak berbudaya makan nasi, dalam bahasa Inggris tidak ditemui kosa kata yang menyatakan padi, gabah, beras, dan nasi, semua kosa kata itu disebut dengan rice. Contoh lainnya, pada masyarakat Eskimo yang sudah berbudaya tinggal di daerah salju, memiliki lebih dari sepuluh buah kosa kata untuk mengungkapkan kata salju. Di sisi lain, masyarakat Indonesia, termasuk Aceh, hanya punya satu kata untuk menyebut buliran dingin itu, yakni salju, itu pun serapan dari bahasa Arab (Chaer, 1994:70-71).
Kendati teori Sapir-Whorf banyak dibantah orang, banyak pula yang sampai sekarang masih membicarakannya. Persoalan sepakat atau tidaknya bahwa bahasa mempengaruhi kebiasaan (kebudayaan) akhirnya kembali kepada peneliti yang meneliti dari sudut pandang mana. Pasalnya, tidak ada bahasa di dunia ini yang sempurna, yang memiliki kekomplitan kosa kata untuk mengungkapkan hal atau perihal tertentu. wallahu’alam!
——————-
1 Di antara buku-buku yang mengutip teori Sapir-Whorf adalah Linguistik Umum (Abdul Chaer, 1994), Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004), Sosiologi Bahasa (Joshua A Fishman, 1991), Sosiolinguistik (Sumarsono dan Paina Partana, 2002), Psikolinguistik Kajian Teoritik (Abdul Chaer, 2003).
DAFTAR RUJUKAN
Bloomfield, Leonard. 1995. LANGUAGE. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Brown, Gillian dan George Yule (dindonesiakan oleh Soetikno).1996. Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
——–.2003. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Fishman, Joshua A. 1991. Sosiologi Bahasa. Kuala Lumpur: Universitas Sains Malaysia Pulai Pinang.
Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: KPG.
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA dan Pustaka Pelajar.
Suryadi. 2009. Hubungan Antara Bahasa dan Budaya. Universitas Sumatera Utara (makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009).
2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa RI.

No comments: