Translate

Wednesday, March 6, 2013

SEJARAH PROSA IMAGINATIF (NOVEL) ARAB; DARI KLASIK HINGGA KONTEMPORER

www.jurnallingua.com SEJARAH PROSA IMAGINATIF (NOVEL) ARAB; DARI KLASIK HINGGA KONTEMPORER Sukron Kamil Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta e-mail: < sukronk@yahoo.com> Abstract Though the tradition of classic Arab was not prose, the Arabic fiction prose has developed since the end of Umayya Dinasty. The factors contributing to this development are the Qur’an that contains many stories and translation of fiction from Persian. Started from folklore and then translation, the Arabic fiction developed rapidly, followed by the publishing of short novels. Furthermore, there was a kind of fiction called maqamat. The Arabic fiction developed in the classic period in the East of Arab was romantic fiction, while at the West part of Arab the development of classical fiction was marked by the works of romantic fictions by Ibn Al-Syahid and philosophical romantic fiction by Ibn Thufail. In modern era Arabic fiction was characterized with the translated works of Al Thanthawi. Then it was developed further by Al-Manfaluthi, a poet of classic and romantic. Novel Zainab by Husein Haikal indicated the birth of modern novels, followed by Taufik Hakim. Thaha Husein also developed Arabic fiction works that are still read nowadays. However, through Najib Mahfudz’s various works ranging from historical romantic, realist, and philosophical symbolic, the Arabic fiction claimed the world’s acknowledgement. The most recent trend of Arabic fiction is that the metaphysical and inter-textual novels come into light. Keywords Arabic Fiction Prose, History, Tradition of Classic Arab Pendahuluan Belakangan ini, publik sastra di Indonesia kebanjiran buku-buku seperti kumpulan cerpen atau novel terjemahan Arab. Hampir semua karya Jibran Khalil Jibran (di Indonesia umumnya ditulis Khalil Gibran) telah diterjemahkan. Demikian juga dengan karya-karya semisal karya Al-Manfaluthi, Najib Mahfudz, Nawal As-Sa’dawi, Taufiq Hakim, Mahmud Taimur, dan Najib Al-Kailani. Kurang sesuai, jika karya-karya para sastrawan Arab dalam bentuk terjemahan berkembang di publik pembaca Indonesia, sementara ilmunya yang mendudukannya secara metodologis (kerangka keilmuan) tidak atau kurang berkembang. Setidaknya hal itu jika dilihat dari buku-buku yang terbit. Demi memperkaya literatur sastra Arab yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dan memberikan kerangka pemahaman kepada para peminat karya-karya sastra Arab, tulisan ini dibuat. Tentu saja ini hanya upaya awal yang jauh dari sempurna. Yang paling real, tulisan ini untuk memperkenalkan profil global dan sepintas kilas prosa sastra Arab kepada publik dan untuk kepentingan proses perkuliahan yang bisa memudahkan mahasiswa dalam mengkaji sastra Arab. Diharapkan juga agar tulisan ini menjadi entry point bagi peminat atau pengkaji sastra Arab untuk kemudian dilanjutkan lewat sumber rujukan utama yang ditulis dalam bahasa Arab. Paling tidak, sebagai sandingan bagi buku-buku atau artikel sastra Arab yang telah ditulis dalam bahasa Indonesia oleh para penulis lain sebelumnya. Pengertian Prosa Sastra Dalam banyak literatur sastra Arab, orasi, pribahasa, surat-surat kenegaraan dan pribadi (terutama surat-surat masa klasik), pribahasa, dan kata-kata mutiara (hikmah) memang dikategorikan sebagai prosa sastra. Bahkan, dalam tradisi sastra Arab, tauqi’at juga termasuk di dalamnya. Yang dimaksud tauqi’aat adalah tulisan indah dan ringkas yang berisi komentar yang ditulis seorang khalifah atau gubernur di bawah buku-buku atau surat-surat yang diberikan kepadanya (semacam disposisi). Tentu saja hal ini bisa dipahami, karena antara lain tradisinya yang agak berbeda jika dibandingkan dengan tradisi sastra di Indonesia. Dalam sastra Arab, beberapa hal yang tadi disebut memang memiliki kandungan sastra yang tinggi. Beberapa orasi semisal orasi dari Qus bin Sai’dah mirip dengan puisi pendek yang bersajak. Namun, yang dimaksud prosa sastra dalam tulisan ini seperti terlihat dalam judul hanya prosa sastra imaginatif, yaitu fiksi atau cerita rekaan yang bobot khayalinya lebih besar daripada prosa sastra non imaginatif. Dalam literatur sastra Arab, prosa imaginatif dikenal dengan prosa kreatif (al-natsr al-insya’i). Sedangkan prosa sastra non imaginatif disebut al-adab atau an-natsr al-washfi (sastra/prosa sastra deskriptif) atau al-‘ulum al-adabiyah (ilmu sastra). Al-Adab Al-Washfi ini terdiri dari 3 bagian, yaitu: sejarah sastra (tarikh adab), kritik sastra (naqd al-adab), dan teori sastra (nadzariyah al-adab). Dalam literatur sastra Indonesia, yang termasuk kategori sastra non imaginatif adalah esay (tulisan pendek tentang suatu fakta yang dikupas secara akrab menurut pandangan pribadi penulisnya); biografi, baik ditulis oleh tokohnya sendiri (otobiografi) atau ditulis orang lain (biografi); memoar (otobiografi yang membatasi diri pada sepenggal pengalaman tokohnya); sejarah; catatan harian; dan surat-surat. Lebih jelasnya, jenis prosa sastra non imaginatif atau fiksi yang maksud dalam tulisan ini -sebagaimana diakui dalam teori sastra, baik dalam sastra Arab modern maupun Indonesia- adalah empat atau lima genre prosa sastra, yakni novel (qishshah) dan roman (riwayah), cerita pendek (qishshah qashirah), novelet (uqsusiyah), dan drama (masrahiyyah). Keempat atau kelima genre tersebut sebenarnya memiliki unsur-unsur fiksi yang sama, hanya takaran unsur-unsurnya berbeda dan tujuan penulisannya pun berbeda. Namun, disini juga akan dimuat prosa sastra yang dikenal pada masa klasik, tetapi tidak berkembang di dunia Arab kontemporer, yaitu maqamat. Yang dimaksud maqamat adalah semacam cerita pendek yang lahir pada masa Abbasyiah (7501258 M) yang mengisahkan seorang atau kelompok tertentu, disampaikan seorang penutur (dalam bentuk cerita berbingkai), menggunakan gaya bahasa yang unik, khususnya saja’ pendek (kesesuaian akhir kata dalam kalimat-kalimatnya yang pendek), dan berisi nasihat atau kritik yang diselingi hal-hal lucu (Sumardjo, 1997:16, Al-Faisal, 1405:26). Sekilas Sejarah Sastra Arab Periode Klasik (Abad ke-7-13 M) Sejarah sastra Arab agak berbeda dengan Barat dan India. Tradisi fiksi dalam kesusastraan awal di Barat dan India cukup kuat. Hal itu bisa dibuktikan dengan karya Homeros, Illias dan Odysee yang menceritakan peperangan dengan latar kota Troya, salah satu kota di Ukraina, dan kepulangan tokoh Odiseus ke Yunani setelah perang usai. Epos ini ditulis oleh Homeros pada periode Yunani kuno (850 SM) dalam bentuk puisi. Demikian juga dengan dramanya. Yunani kuno telah mengenal tiga dramawan: Aeskilos (525-426 SM), Sophokles (496-406SM), dan Euriples (484-406 SM). Di Indonesia, bahkan karya Sophokles telah diterjemahkan, antara lain Antigone, Oidipus Sang Raja, dan Oidipous di Kolonus. Hal yang sama terjadi di India. Epos Ramayana dan Mahabharata menunjukan asumsi ini. Epos Ramayana yang ditulis oleh Valmiki dan Mahabharata yang ditulis Vyasa adalah cerita fiksi India kuno yang mencerminkan idealisme bangsa Aria (Fang, 1991:51, Mahayana, 2005:347). Dalam sejarah Arab, fiksi yang menyebar di kalangan masyarakat Arab periode pra dan awal Islam hanya berbentuk folklor. Kesadaran orang Arab terhadap fiksi dalam bentuk tulisan agaknya baru muncul setelah dipengaruhi kisah yang terdapat dalam al-Qur’an dan khazanah peradaban yang dikenalnya lewat penerjemahan naskah asing pada periode Abbasyiah. Tradisi sastra dalam sejarah Arab awal adalah tradisi puisi. Di antara folklor Arab awal Islam yang sampai kepada kita adalah folklor Laila Majnun. Karena berbentuk folklor, maka cerita Laila Majnun dalam bentuk tertulis pun ada banyak versinya dan Thaha Husein meragukan keberadaannya. Ia menganggap kisah tersebut tidak masuk akal dan berlebihan. Dari berbagai versi tertulis yang ada, versi klasik yang terkenal dan pertama adalah versi yang ditulis oleh Nidzami Ganjawi (1141-1209 M), seorang sastrawan yang berasal dari Azerbaijan. Dalam versi Nidzami itu dikisahkan bahwa Qais bin Mulawwah adalah seorang yang hidup pada periode Bani Umayyah yang jatuh cinta pada Laila ketika ia bertemu pertama kali di sekolah (maktab). Ia tersihir oleh kecantikan paras Laila yang bertubuh langsing dan berambut hitam bergelombang. Berlebihannya cinta Qais pada Laila yang ia ucapkan dalam puisi-puisinya hingga orang-orang mengira Qais seorang yang gila (majnun). Dalam salah satu puisinya, ia menyebut cinta adalah keindahan, bagai ilham dari langit yang menerobos dan bersemayam dalam jiwa. Ayah Qais kemudian mendatangi ayah Laila untuk melamar, tetapi lamarannya ditolak, karena Qais dianggap telah gila. Ia tidak mau mengawinkan anaknya dengan seorang gila. Laila yang juga mencintai Qais dengan sepenuh hati akhirnya dikawinkan dengan laki-laki lain. Agar Qais bisa melupakan Laila, ayah Qais mengajaknya untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di depan Ka’bah, ia berdoa justru agar Tuhan tidak mencabut kedalaman cintanya pada Laila. Qais pun kemudian hidup di tengah kesunyian padang pasir. Ketika mendengar Laila meninggal, ia memeluk jenazahnya dan setelah dikubur menangis di depan nisannya hingga mati, menyusul kematian Laila (Tahun kematiannya sekitar 65-68 H) (Nidzami, 2002:101). Dalam versi Iqbal Barakat yang agaknya ditulis kemudian (pada masa modern), diceritakan bahwa seorang bernama Qais mengagumi sepupunya bernama Laila. Ia memuji Laila setinggi langit dalam puisi-puisinya. Pada suatu waktu, Qais menghadap pamannya untuk menyunting Laila, tetapi ditolak. Adat kebiasaan orang Arab kala itu tidak membolehkan menikahkan anak perempuannya kepada seorang laki-laki yang mengaguminya dan menjadikannya objek cumbu rayu dalam puisi. Laila kemudian menikah dengan laki-laki lain dari Suku Saqif dan dibawa pergi ke Thaif. Besarnya kecintaan Qais pada Laila membuat Qais acapkali jatuh pingsan ketika nama Laila disebut. Ia juga pernah suatu kali berbicara dengan Laila, lalu ada bara api yang membakar sorban dan tubuhnya, tetapi Qais tidak merasakannya karena keterpesonaannya pada Laila. Karena itu, kepergian Laila membuat Qais hidup menyendiri di tengah padang pasir yang sunyi dan meninggal sendirian karena ilusi dan cintanya pada Laila (Barakat, 2004:7-22). Kisah ini pada abad ke-12 masuk ke Prancis lewat sastra Islam di Spanyol dan melahirkan kisah Floire et Blanchefleur. Ada kemungkinan, karena dipengaruhi cerita Laila dan Qais (Majnun) itulah, Shakespeare menulis Romeo and Juliet (Hadi, 2004:345). Penulisan fiksi selanjutnya berkembang pada masa Abbasyiah (750-1258 M). Pada abad ke-8 (tahun 750 M), Ibn al-Muqaffa menerjemahkan Kalilah wa Dimnah, fabel India dari bahasa Suryani dan menambahkan tambahan cerita pokok dan sisipan. Karya ini sangat berbeda dengan teks asli yang ditulis Baidaba pada pertengahan abad IV SM dalam bahasa Sansekerta, terutama dalam gagasan, cara penyajian, dan keluasan pesan moral yang dikandungnya. Teks asli fabel ini terdiri dari 7 bagian. Di India sendiri karya asli itu tidak ditemukan. Yang ada hanya 5 bagian saja yang disebut Pancatantra yang sampai ke Indonesia pada masa berkembangnya Agama Hindu. Hal ini karena teks aslinya dicuri dan diam-diam diterjemahkan ke dalam Bahasa Pahlevi atas perintah Anusyirwan pada abad ke-6 M. Tokoh utama dalam novel ini adalah seekor srigala bernama Dimnah yang cerdik dalam melakukan intrik-intrik politik. Dia berhasil memutuskan persahabatan antara Singa dan Lembu Syatrabah melalui fitnah. Katanya, dibalik keakraban Syatrabah, ia mempunyai ambisi politik yang berbahaya. Dikatakan Dimnah, bahwa Syatrabah tengah merancang makar. Karena kepandaian Dimnah dalam berkata-kata, Singa pun percaya. Kepada lembu Syatrabah yang baik hati, Dimnah berkata lain. Singa, katanya sebenarnya membenci syatrabah dan ingin membunuhnya. Lembu itu terhasut dan menyiapkan perlawanan, tetapi malang, rencananya itu tercium oleh Singa, karena diberitahu Dimnah. Lembu Syatrabah itu lalu dihukum mati. Singa selanjutnya merasa kesepian dan menyesali perbuatannya, ketika mengenang kebaikan hati temannya, Lembu Syatrabah. Akhirnya fitnah Dimnah diketahui Singa dan tanpa ampun, Dimnah dihukum mati. Dalam Kalilah wa Dimnah ini juga diceritakan mengenai siasat burung gagak yang berpura-pura mengabdi pada burung hantu, tetapi hanya untuk mengetahui kelemahan burung hantu. Baidaba juga menceritakan cara memperoleh kekuasaan lewat persahaban/perdamaian, penghimpunan dana, memecah belah musuh dan kemudian memeranginya tanpa menunda waktu. Tampaknya, berdasarkan cerita inilah Machiavelli dalam Il Principe-nya mengatakan bahwa seorang politisi sejati adalah seorang yang memiliki moral ganda: bermoral malaikat dan srigala sekaligus. Kecuali itu, sebagian besar karya Lapontaine, penyair Prancis pada abad ke-18 didasarkan pada Kalilah wa Dimnah (Al-Muqaffa’, 1987:60, Hadi, 2000:216-223). Pada abad ke-9 M, dalam sejarah prosa fiksi Arab lahirlah Kitab al-Bukhala (Kisah Orang-Orang Kikir) dari Abu ‘Amr ‘Usman al-Jahiz (253 H/868 M), sebuah buku yang hampir mirip dengan kumpulan cerpen realis. Kisah ini selama berabad-abad tetap hidup dan menurut Thaha Husein merupakan karya klasik terbaik. Karya anekdot ini berisi mengenai tokoh penguasa dan hakim, hingga orang kikir, para pemitnah, realitas masa dan tempat-tempat tertentu yang pernah ditinggali al-Jahiz. Sebagian tokoh-tokoh al-Bukhala adalah tokoh nyata dan terkenal yang hidup pada masanya dan dikenal kikir. Misalnya Sahal bin Harun dan al-Kindi. al-Jahiz dalam karyanya ini bukan saja menjelaskan kekikiran tokoh, melainkan juga filosofi kekikirannya yang saat itu banyak dianut oleh sebagian teolog dan filosuf. al-Jahiz dalam karyanya ini juga mengungkapkan upaya tokoh yang diceritakannya dalam penginvestasian kekayaan. Sebab itu, ia bisa disebut sebagai sastrawan realis pertama dalam sejarah sastra Arab. Dengan bahasa yang menawan, al-Jahiz juga menulis Kitab al-Hayawan (Buku tentang Binatang) yang menjelaskan struktur biologis hewan dan cerita fabel, seperti kisah anjing dan ayam, burung merpati dan lalat, burung hud-hud dan biawak, dan lain-lain (Al-Jahidz, tt:309, Khafaji, tt:195, Ar-Rabi’, 1410:114, Esposito, tt:154, Husein, 2004:66), yang agaknya dipengaruhi Kalilah wa Dimnah. Pada abad berikutnya (ke-10), cerita berbingkai (cerbing) Alf Lailah wa Lailah (Seribu Satu Malam) lahir dan menjadi cerita fenomenal. Karya abadi ini merupakan kumpulan novelet atau novel pendek yang jumlah halaman kisah-kisah utamanya yang terkenal di atas 30 halaman (ukuran maksimal halaman sebuah cerpen, sebagaimana dikatakan Mahmud Dzihni) (Shalih, 1813:818, Hadawi, 2000:190). Dalam cerbing tersebut, antara satu kisah dengan kisah lainnya saling berkaitan. Isinya mengenai hewan (fabel), percintaan, cerita rakyat dan lainnya. Sumbernya dari berbagai kultur: India Persia, Mesir, Yunani dan Arab. Namun telah disesuaikan dengan kehidupan dan adat istiadat umum masyarakat Arab kala itu. Cerita yang dimuatnya melibatkan tokoh terkemuka waktu itu, ulama, rakyat biasa, dan raja termasuk Harun ar-Rasyid. Aslinya, cerbing ini dari India lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dan kemudian oleh al-Hazar Afsan atau al-Jasyiyari (w. 942) diterjemahkan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Arab. Ia dan juga penyusun berikutnya menambahkan beberapa cerita (folklor) yang berkembang di Bagdad, terutama cerita lucu dan percintaan dari istana Harun ar-Rasyid yang mewah. Menurut Philip K. Hitti, bentuk utuh dari cerita berbingkai ini kemungkinan terjadi pada abad ke-14 dan Silvestre de Sacy meyakini bahwa penulisnya bukan satu orang. Husein Hadawi menjelaskan bahwa cerbing Alf Lailah wa Lailah ditulis dalam suatu bentuk tertentu pada paruh kedua abad ke-13 pada masa Pemerintahan Mamluk. Antonio Galland kemudian menerjemahkannya ke dalam Bahasa Prancis pada tahun 1704-1717 M. Dalam edisi Inggris, paling tidak ada dua, hasil terjemahan William Lane ((1801-1876) dan Richard Burton (1821-1890). Terjemahan Burton The Thousand Night and a Night dalam 16 jilid adalah terjemahan Inggris yang paling terkenal. Cerbing ini kemudian lebih dikenal di Barat daripada di Timur. Menurut HAR. Gibb, pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20, Alf Lailah wa Lailah mengalami cetak ulang sebanyak 300 kali dalam banyak bahasa Eropa. Kenyataan ini membuat Alf Lailah wa Lailah mempengaruhi karya sastra semisal Faust I dan Faust II karya Gothe yang memuat adegan penerbangan Faust dan Mephistopeles. Karya Gothe ini mengingatkan kita pada cerita Aladin dan Lampu Ajaib dalam Alf Lailah wa Lailah. Beberapa sastrawan Arab, seperti Thaha Husein dan Taufiq Hakim menjadikan Alf Lailah wa Lailah sebagai bingkai untuk diisi dengan wawasan mereka sendiri. Cara ini juga diikuti Najib Mahfuz dengan menulis Layali Alf Lailah (Mahfudz, 2002:1) Cerita berbingkai yang berisi novel-novel pendek ini memuat sekitar 30 cerita. Tokohnya adalah Syahrayar dan Syahzaman, dua orang raja adil yang dikhianati oleh istrinya yang berselingkuh dengan seorang budak hitam. Syahrayar berpandangan bahwa tidak ada perempuan yang bisa dipercaya. Kemudian ia memutuskan untuk mengawini seorang gadis setiap malamnya dan setelah digauli, pada pagi harinya, gadis itu dihukum mati oleh algojonya. Tujuannya agar tidak berkhianat, seperti istri pertamanya. Situasi ini berlangsung selama tiga tahun. Karenanya menimbulkan kehebohan. Banyak dari para gadis kala itu melarikan diri ke negeri lain. Ketika wazirnya tidak lagi menemukan gadis yang bisa dinikahinya, ia menyerahkan anaknya sendiri, Syahrazad. Untuk menyelamatkan kedudukan ayahnya dan gadis-gadis lain, Syahrazad pun tidak keberatan. Akan tetapi, sebelum dinikahi raja, ia telah membaca banyak buku sastra, ilmu lainnya, dan mempelajari banyak sejarah serta biografi tokoh-tokoh terdahulu. Ia meminta bantuan Dunyazad, adiknya, agar mengajukan permohonan izin kepada Syahrayar, Sang Raja agar kakaknya bisa menyampaikan sebuah kisah kepadanya pada malam hari. Syarat yang diajukan adiknya dikabulkan raja. Pada malam pertama, Syahrazad bercerita dan Raja ikut menyimak. Hingga pagi tiba, suatu kisah belum selesai dan harus dilanjutkan pada malam berikutnya. Mendengar ceritanya yang menarik, Raja memutuskan untuk tidak membunuh Syahrazad, hingga ia menyelesaikan ceritanya pada malam ke 1001. Raja kemudian mempunyai anak dari Syahrazad, dan kembali menjadi raja adil dan hidup tentram. Salah satu yang disampaikan Syahrazad adalah Cerita Aladin dan Lampu ajaib, Sinbad Sang Pelaut, Ali Baba dan Qomaruzzaman. Menurut Rusydi Shalih, Syahrayar adalah simbol pencari ilmu dan Syahrazad adalah simbol ilmu dan akal (Glasses, 1990:358, Al-Husaini, tt:7, Hitti, tt:150, Hadi, 2000:363). Cerita anekdot al-Jahiz di atas kemudian dikembangkan pada periode berikutnya (abad ke-11-12) dalam bentuk maqamat. Secara bahasa, maqamat berarti majlis pertemuan kabilah, kelompok yang bertemu dan isi pembicaraan atau ceramahnya. Namun kemudian, maqamat secara bahasa berarti gambaran suatu sessi di mana sejumlah orang berbicara tentang subjek tertentu dengan cara salah seorang dari mereka menuturkan sebuah kisah, lalu yang lain mengomentarinya. Dari makna itulah, maqamat menjadi salah satu jenis sastra Arab berupa beberapa cerita pendek yang membahas satu peristiwa yang diceritakan oleh seorang pencerita yang terjadi pada individu atau kelompok sosial. Salah satu ciri yang menonjol dalam maqamat adalah gaya bahasanya indah, di mana saja’ pendek sangat dominan. Secara isi, maqamat berisi kritik individual atau sosial dan juga diselingi hal-hal lucu. Jenis maqamat ini diciptakan oleh Badi’ al-Zaman al-Hamadzani (w. 398 H/1119 M), meskipun menurut pendapat lain, ia bukan pencipta pertama, karena pencipta yang sesunguhnya adalah Abu Bakar bin Duraid dan Ibn Faris. Al-Hamaz|ani telah menulis sekitar 400 maqamat. Hanya saja, yang dikenal orang hanya 51 atau 53 maqamat saja. Tokoh fiksi dalam maqamat-maqamat-nya ini adalah Abu al-Fath al-Iskandari, sedangkan periwayat fiksinya adalah Isa bin Hisyam. Isinya mengenai petulangan Abu al-Fath al-Iskandari, siasat, dan perpindahanya dari satu tempat ke tempat lain. Maqamat-nya ini penuh dengan cerita, puisi-puisi, gambaran dan kritiknya pada masyarakat semasanya. Badi’ az-Zaman al-Hamadzani menamai mayoritas maqamat-nya ini dengan nama tempat, seperti Maqamat Kufah, Maqamat Bashrah, Baghdad, Syria, ‘Iraq, Bulkh, Sajistan, Azerbaijan, Jurjan, Ahwaz, Syiraz, dan Naisabur. Kelebihan maqamat-nya terletak pada keindahan ungkapan kata, kemudahan, kelembutan saja’, kemampuan improvisasi penulisnya, modelnya dalam bentuk cerita pendek -mendekati model cerpen masa kini- sehingga tidak membuat pembaca cepat bosan. Selain itu, kelebihan maqamat Badi’ az-Zaman al-Hamadzani ini adalah isinya tentang deskripsi dan kritik sosial pada masanya, serta metode jalan cerita kejutan yang tidak diduga sebelumnya oleh pembaca. Misalnya, suatu kali Abu al-Fath al-Iskandari memimpin salat untuk menolak musibah dan ia melamakan ruku’ dan sujudnya. Pada salah satu sujud, ia meninggalkan jamaahnya yang dibiarkan sujud tanpa diimaminya. Meski kekurangan buku ini antara lain dominannya unsur permainan kata, tapi menurut Syauqi Dhaif, buku ini baik untuk pengajaran bahasa dan sastra (Al-Hamid, 1962:66, Al-Hasyimi, tt:87). Jenis maqamat al-Hamadzani di atas dikembangkan oleh al-Hariri (w 516 H) yang menulis 50 maqamat dengan tokoh utama Abu Zaid as-Saruji. Maqamat al-Hariri dengan tokoh pencerita al-Haris bin Hamam ini agaknya disenangi masyarakat pada masanya. Menurut penuturan Yaqut dalam Mu’ajam al-Udaba (Kamus tentang Para Sastrawan), pada tahun al-Hariri menyelesaikan maqamat-nya, ia menandatangani 700 salinannya. Tokoh utama maqamat al-Hariri adalah tokoh nyata yang hidup di masanya yang dalam kepribadiannya terhimpun kepribadian baik dan buruk. Ia adalah seorang ahli bahasa dan sastra, seorang pemurah yang tulus, dan luas ilmunya, tetapi arogan dan lemah. al-Hariri dalam maqamat-nya ini mengkritik keburukan masyarakat yang hidup pada masanya, antara lain keengganannya dalam berderma. Meskipun memuat banyak hal, termasuk persoalan kegamaan, fiqh, dan hal-hal lucu, tetapi tampaknya maqamat ini dimaksudkan al-Hariri sebagai buku untuk pengajaran bahasa dan sastra daripada yang lainnya. Menurut Purstall, Maqamat al-Hariri adalah karya sastra yang sangat mempengaruhi penulis Eropa setelah diterjemahkan kedalam Bahasa Spanyol menjadi picaro. Picaro yang terkenal adalah Et Cavarello Cifar dan Ribaldo. Pada masa modern, di dunia Arab, jenis maqamat ini masih tetap disenangi. Hal ini bisa dilihat dari karya Muhammad al-Muwallihi (w. 1930) yang menulis Maqamat Hadis Isa bin Hisyam (Cerita Isa bin Hisyam) tahun 1908, Hafizh Ibrahim (w. 1932) yang menulis Maqamat Layali Satih (Malam-Malam Panjang) tahun 1906, dan Muhammad Luthfi Jum’ah yang menulis Maqamat Layali al-Ruh al-Ha’ir (Malam-Malam Jiwa yang Gundah) tahun 1912 (Al-Faruqi, 1998:383). Pada abad ke-11, Abu al-‘Ala al-Ma’arri (w. 449/1058) menulis Risalah al-Gufran (Risalah Pengampunan). Lewat tokoh utama novel ini, Ibn al-Qarih, al-Ma’ari menjelaskan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan surga dan neraka serta para penyair penghuni keduanya. Novel ini dijadikannya sebagai media untuk mengkritik masyarakatnya yang secara keagamaan sudah buruk. Meskipun begitu, novel Risalah al-Gufran lebih sebagai buku kritik sastra yang memuat ikhtisar sastra penting sebelumnya, terutama periode Jahiliyah. Dia mengungkap sekitar 800 sya’ir dan mengkonfirmasi serta mendialogkan kebenaran diksi, gramatika, dan lainnya dengan tokoh sastrawan sebelumnya yang sudah menjadi penghuni surga dan neraka. Data yang dipakainya adalah data yang berkembang dan menjadi diskursus pada masa itu, karena telah terhimpun dalam kumpulan puisi (diwan). Misalnya Diwan Hamasah-nya Abu Tamam (w 232/847 M) yang terdiri dari 4 jilid dan Diwan al-Buhturi (284/899 M) yang lebih panjang. Ia bertemu dengan Zuhair bin Abi Sulma yang masuk surga walaupun hidup pada masa Jahiliyah karena keimanannya kepada Allah dan Muhammad, meski wafat sebelum kerasulan; Hasan bin Sabit karena sya’ir pujiannya kepada Nabi; Umru al-Qais, ‘Antarah, dan Tharafah yang masuk Neraka. Kritik sosial keagamaannya dalam Risalah al-Gufran ini dilanjutkan secara lebih tajam lagi dalam kumpulan puisinya, al-Luzumiyyat. Dalam Luzumiyat-nya, al-Ma’ari antara lain menyesali perbedaan fiqh antar pendukung Syafi’i dan Hanafi, sikap keagamaan yang tidak rasional, mengkritk masjid-masjid yang menurutnya sama dengan tempat pelacuran. Hal ini karena para pemimpin agama dan pengikutnya di dalam masjid itu tidak memiliki niat yang baik, terperangkap oleh formalisme, berhenti pada simbol, dan penghayatan keagamaannya yang kurang. Ia bahkan menyebut bahwa agama pada masanya telah dijual dan menjadi barang dagangan yang tak laku. Yang dimaksudnya telah dijual adalah bahwa pemuka agama pada masanya telah mengeksploitasi orang awam untuk kepentingan pribadi. Agaknya, karena kritik pedasnya itu, ia terkadang dianggap meragukan agama, bahkan sebagian menyebutnya zindiq (mengacaukan agama) (Muja’sh, 1999:9). Di dunia Arab bagian barat, Andalusia (Maroko, Portugal, dan Spanyol), sejarah sastra Arab juga mencatat kelahiran dua novel: Novel at-Tawabi’ wa az-Zawabi’ (Jin-Jin Penyair dan Rajanya) karya Ibn Syahid (382-426 H) dan Novel Hayy ibn Yaqdzan fi Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyyah, karya Ibn Tufail (506 H/1110 M-581 H/1185 M), seorang filosuf Illuminatif atau isyraqiyyah (Muthahhari, tt:29). Novel at-Tawabi’ wa az-Zawabi’ adalah novel yang mengisahkan perjalanan imaginatif penulisnya di alam jin. Dikisahkan bahwa ia ditemani seorang jin bernama Zuhair bin Namir, bertemu dengan para penyair dari kalangan jin yang menjadi pengikut penyair dan prosais ternama Arab dari kalangan manusia seperti Umru al-Qais, Tharafah, Abu Tamam, al-Mutanabbi, al-Jahidz dan al-Hamadzani. Ia juga bertemu kritikus sastra dari kalangan jin. Terjadilah debat kesusastraan yang dimenangkan Ibn Syahid. Lewat novel yang menggunakan banyak gaya bahasa saja’ ini, ia meminta penyair dari kalangan jin untuk membacakan puisi-puisi dari penyair ternama Arab, lalu ia melengkapi dan mengkritiknya. Para penyair dari kalangan jin itu kemudian mengagumi kemampuan sastra dan kritik Ibn Syahid. Ia juga melakukan kritik terhadap para sastrawan yang tidak mengakui bobot sastranya, terutama Abu Bakr Ibn Hazm. Menurut Gunaimi Hilal, walaupun novel ini lebih dahulu lahir dari Risalah al-Gufran karya al-Ma’ari, tetapi jika dibandingkan, novel yang disebut pertama lebih buruk dan tidak sekaya dan sedalam yang kedua (Hilal, tt:222, Dhaif, 1980:79). Novel Hayy ibn Yaqdzan Ibn THufail mengisahkan bahwa di salah suatu kepulauan India, lahir bayi laki-laki yang kemudian dikenal dengan Hayy. Kelahirannya ada dua versi: versi pertama mengatakan, Hay lahir dari perut bumi dan versi lainnya menyebut ia terdampar di sebuah pulau karena dihanyutkan ibunya, seorang putri bangsawan yang hamil dari hubungannya dengan Yaqdzan yang tidak disetujui kakaknya yang menjadi raja. Di pulau itu, seekor rusa yang kehilangan anaknya mengasuh dan menyusuinya. Makin lama Hayy semakin besar. Ia mulai berfikir, memperhatikan, mengamati dan merenungkan keadaan sekitarnya. Ia dikarunia Tuhan kecerdasan yang luar biasa. Ia menemukan api, membuat berbagai alat, perkakas, dan senjata. Ia mampu mengetahui anatomi tubuh binatang lewat penelitiannya dengan cara membedah tubuh ibunya (rusa) karena penasaran ingin mengetahu penyebab yang mengakibatkannya tidak bisa bergerak sama sekali lagi (mati). Ia bahkan mampu mengetahui hakikat di balik alam (metafisik), sanggup mengetahui adanya ruh, dan lebih dari itu ia sampai mengenal Hakikat Tertinggi (Tuhan). Ia dapat memperoleh semua itu lewat jalan akal atau filsafat. Jalan itu pula yang mendorong dan memudahkannya untuk mencapai kemanunggalan yang seerat-eratnya dengan Tuhan (ekstase/ittihad) melalui cahaya filosofis (tasawuf). Caranya, ia masuk ke dalam goa, berpuasa dan berusaha sekuat-kuatnya untuk memisahkan akal pikiran dari dunia luar dan dari badannya sendiri dengan jalan merenung memikirkan zat Tuhan. Mulanya ia gagal, namun akhirnya ia berhasil. Setelah mencapai tingkat tertinggi dalam pencarian spiritualnya, ia bertemu dengan seorang yang saleh (sufi) bernama Asal untuk memencilkan diri (‘uzlah). Lewat dialog-dialog di antara keduanya, tampak bahwa di satu sisi, Asal merasa jalan filosofis itu memperkuat keyakinannya dan di sisi lain, Hayy pun dengan mudah menerima keterangan wahyu dari Asal. Namun, ada satu hal yang tidak diketahuinya lewat perenungan, yaitu ritual-ritual agama seperti salat. Karena itu, Hayy belajar cara beribadah kepada Asal (Ibn Thufail, 1997:13, Al-Ahwani, 1988:79). Walaupun secara umum, isi dan plotnya orsinil, tetapi novel Hayy bin Yaqdzan di atas tidak seluruhnya benar-benar baru. Ketajaman puitisnya bukanlah milik pribadi Ibn THufail sendiri. Sebelumnya, Ibn Sina, lewat jalan cerita yang berbeda telah menulis kisah mistis-alegoris dalam judul yang sama, Hayy bin Yaqdzan, dan juga kisah Salaman wa Absal (Salaman dan Absal). Bahkan, sebelum Ibn Sina, sudah ada cerita kuno Yunani yang tersebar luas di Andalusia waktu itu, yaitu “Berhala, Raja, dan Putrinya” yang jalan ceritanya mirip (Shiddiqi, 1966:180). Namun demikian, pengaruh Ibn THufail pada sastra sesudahnya, baik Arab maupun Barat, cukup kuat. Cerita Tarzan karya Jonathan Swift yang sering muncul di film dan televisi dewasa ini misalnya, diyakini banyak pengamat dipengaruhi oleh novel Hayy bin Yaqdzan. Novel Hayy bin Yaqdzan juga telah mempengaruhi syaikh al-isyraq (guru besar Illuminasi), As-Suhrawardi (w. 1183) dalam menulis novel al-Garibah al-Garibah. Demikian pula penulis Spanyol Baltazar Gracius yang menulis novel El Criticon yang mengkritik tradisi masanya, Rudyard Kipling yang menulis Jungle Books, dan Daniel Defoe yang menulis Robinson Cruso. Hal ini bisa dipahami, karena novel Ibn Thufail itu telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Yaitu, ke dalam behasa Ibrani tahun 1341, ke dalam bahasa Latin oleh Edward Pocock 1671, Belanda 1672, Prancis 1936, dan Rusia 1920. Sebab itu, Philip K. Hitti menilai novel Hay bin Yaqzhan sebagai salah satu cerita yang terindah dan paling orsinil di abad pertengahan. Bahkan, Muhammad Gunaimi Hilal, melihat bahwa novel tersebut adalah novel besar yang alur ceritanya matang serta memuaskan. Bahkan, James Kritzchek mengatakan bahwa Hayy bin Yaqzan adalah karya masterpiece Islam (Shiddiqi, 1966:193, Hilal, tt:224, Hitti, tt:181). Sekilas Sejarah Sastra Arab Periode Pertengahan dan Modern (Pasca Abad 12-Sekarang) Pasca abad ke-12, meskipun sastra Persia dan Turki berkembang di tangan Dinasti Safawi (1501-1736 M), Mughal (1526-1258 M), dan Turki Usmani (1300-1924 M) (Yatim, 1997:129), tetapi sebagaimana puisinya, fiksi Arab mengalami kemandekan. Dalam abad pertengahan Islam ini tidak ada karya fiksi Arab yang menonjol (Ar-Rabi, 1410:153) sampai munculnya sastrawan-sastrawan pembaharu pada periode modern. Pada periode modern, prosa fiksi Arab ditandai dengan persentuhan dunia Arab dengan terjemahan prosa sastra Barat. Salah satunya adalah Mawaqi’ Aflaq fi Waqai’ Tilmak (Tempat terjadinya alam dalam cerita Tilmak), hasil terjemahan bebas at-Thahthawi. Dalam terjemahannya, ia masih menggunakan gaya bahasa saja’ dan tidak terikat bahasa sumber (Dhaif, 1980:207-209). Sebagaimana yang terjadi pada masa klasik, pada pasca terjemahan lahirlah prosa fiksi dari para prosais pembaharu. Yang menonjol diantaranya adalah Muhammad al-Muwallihi (w. 1930) yang penulis Maqamat Hadis Isa bin Hisyam (Cerita Isa bin Hisyam) pada tahun 1908 yang telah disinggung di atas. Dalam Hadis Isa bin Hisyam, al-Muwallihi mengungkapkan cerita dengan tokoh pencerita Isa bin Hisyam sebagaimana tokoh dalam Maqamat al-Hamadzani, tetapi tokoh utama yang diceritakan adalah Ahmad Basya al-Manikili. Isa pergi ke kuburan untuk mengambil pelajaran, tetapi seorang yang bernama al-Manikili dari seorang keturunan Turki keluar dari kuburnya. Ia bersama al-Manikili kemudian pergi antara lain ke pos polisi, gedung parlemen, dan pengadilan. Dari sana, ia mulai menceritakan kehidupan sosial modern di Mesir seperti pedagang dan petaninya dan ia juga mengkritiknya. Salah satunya, ia terheran-heran dengan pengadilan yang memihak pada pelaku kejahatan. Dengan tokoh utamanya dari al-Manikili, seolah al-Muwallihi menceritakan realitas Mesir kepada penguasa Mesir yang berkebangsaan Turki yang berkuasa saat itu, Dinasti Muhammad Ali, lewat orang Turki sendiri. Plot al-Muwallihi itu mengingatkan kita pada makna awal maqamat, yaitu pertemuan dengan roh orang yang sudah mati (Esposito, tt:154, As-Sa’dawi, 1982:53). Selain al-Muwallihi, yang juga melakukan perubahan dalam sastra Arab pada periode modern awal adalah al-Manfaluthi (1876-1924). Ia mengembangkan novel dan cerpen bercorak romantis. Mayoritas karya sastranya sendiri berbentuk cerpen dan esai sosial. Hal ini antara lain terdapat dalam sebagian dari an-Nadzarat (Berbagai Tinjauan) yang merupakan magnum opus-nya, al-‘Abarat (Berbagai Air Mata), dan Mukhtarat al-Manfaluthi (Kapita Selekta al-Manfaluthi). Dalam bentuk novel, ia telah berperan menyadur karya-karya Barat dengan bahasa sendiri yang menggunakan gaya penulisan klasik, khususnya bayan. Novel sadurannya itu adalah: al-Fadhilah (keutaman) saduran dari Paul et Virginie karya Bernardin de Saint Pierre; al-Sya’ir (Sang Penyair) saduran dari Cyrano de Bergerac karya Edmond Rostan; Fi Sabil at-Taj (Demi Mahkota), dan Majdulin yang disadur dari Magdalena karya Alfouns Kar. Tiga yang terakhir dari saduran al-Manfaluti ini dan juga al-‘Abarat-nya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karya al-Manfaluthi itu dinilai sebagai karya yang mempertemukan gaya bahasa Arab asli yang mampu mengungkapkan keluh kesah masyarakat Mesir. Karena itu, karyanya mendapat perhatian banyak pembaca. Menurut Fathi Ridhwan, pada masa setelah perang Dunia I, hampir setiap rumah di Mesir memiliki salah satu dari karya al-Manfaluti. Meskipun demikian, al-Mazini melihat karyanya sebagai sastra yang kurang berisi dan lemah, yang menyuarakan kecengengan, kelemahan jiwa, dan kemiskinan hati (Al-Qa’ud, 1986:78, Al-Zayyat, tt:117, Ahmad, 1983:138). Dalam salah satu cerpen yang terdapat dalam an-Nadzarat-nya, “Yaum al-Hisab”, misalnya, al-Manfaluthi menggambarkannya lewat tokoh Aku yang tiba-tiba mengalami hari kiamat dan peristiwa berkumpulnya semua orang dan perhitungan amal. Lalu ia menyaksikan perdebatan yang cenderung saling menyalahkan antara dua tokoh pembaharu Islam berkebangsaan Mesir yang mengguncang, Muhammad Abduh dan Qasim Amin. Perdebatan itu diakhiri dengan ucapan Abduh yang mengutip Hadis Nabi Muhammad, “Sesunguhnya semua perbuatan tergantung pada niatnya”. Ia tampaknya lewat cerpen ini ingin mengkritik pembaharuan Islam tanpa diiringi penguatan dasar-dasar agama yang melahirkan masyarakat yang bersikap longgar dari agama, bahkan permisif. Dalam al-Majdulin, al-Manfaluthi mengungkapkan hubungan percintaan antara Steven, seorang tukang kebun yang mencintai Majdulin dari keluarga Mr Muller, tempat ia bekerja. Ayah Majdulin tidak merestui hubungan mereka dan membawa pindah Majdulin dari kediaman pertamanya. Akibatnya, Majdulin terbawa arus kehidupan malam, hingga akhirnya meninggal dunia. Sementara itu, Steven juga menderita dan berakhir dengan kematian pula. Namun, novel Arab yang paling diakui kritikus Barat sebagai novel Arab modern pertama karena kecenderungan realisnya (McGlynn, 1998:100) adalah novel Zainab dari Husein Haikal (1888-1956), seorang yang juga dikenal sebagai wartawan dan pemikir terkemuka. Novel ini terbit tahun 1913. Selain itu, novel yang cukup berpengaruh adalah novel Sarah, sebuah novel semi autobiografi dari Abbas Mahmud al-‘Aqqad (1889-1973). Dalam Novel Zainab, Haikal mengisahkan tokoh Zainab, seorang putri petani cantik di sebuah pedesaan Mesir yang mencintai Ibrahim, ketua pekerja, dan Hamid, pemuda kaya dan terpelajar. Akan tetapi, Zainab kawin dengan Hasan, laki-laki yang tidak dicintainya. Demikian juga dengan Hamid yang mencintai Zainab dan Azizah, tetapi tidak berhasil mempersunting salah satu dari keduanya, karena perbedaan status sosial ekonomi dan tradisi. Zainab dalam novel itu digambarkan seorang yang tinggal di desa, tetapi berafiliasi dengan kultur Barat. Haikal dalam novel ini berhasil menggambarkan realitas pedesaan Mesir dan semangat revolusi 1919 untuk kemerdekaan Mesir di bawah Sa’ad Zaglul (Al-Basathi, 1982:70, Salam, tt:115). Pada tahun 1932, di Mesir kemudian terbit novel ‘Audah ar-Ruh karya Taufiq Hakim. Antara tahun 1932-1938, dari tangannya lahir beberapa karya sastra realis dokumenter. Selain ‘Audah ar-Ruh, juga ‘Ushfur min as-Syarq (Burung Pipit dari Timur) dan Yaumiyyat Naib fi al-Aryaf (Hari-Hari Sang Pemimpin Desa). Setelah tahun 1938, novel yang lahir dari tangannnya cukup banyak, paling tidak ada 12. Antara lain Lailah az-Zafaf (Malam Pengantin) yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Navila. Dari tangannya juga lahir beberapa cerpen semisal Arani Allah (Allah Memperlihatkan Dzat-Nya kepadaku), dan beberapa drama semisal Ashhab al-Kahfi (Para Penghuni Gua). Sebagian karyanya itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Perancis. Dalam ‘Audah ar-Ruh, novel pertamanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis, ia mengisahkan 3 pemuda Mesir: Muhsin, ‘Abduh, dan Salim, yang pergi ke Kairo untuk belajar. Ketiganya sama-sama jatuh cinta pada Suniyyah, tetapi kemudian ketiganya disibukan oleh revolusi untuk kemerdekaan Mesir. Novel itu dinilai sebagai novel pertama Mesir yang memuat persoalan politik modern Mesir secara jelas. Kendati gerakan revolusi yang menuntut kemerdekaan kalah oleh pendudukan Inggris, tetapi katanya, ruh (semangat) perjuangan Mesir tidak akan mati dan akan hidup kembali pada suatu ketika di tangan pemimpin Mesir yang tulus. Ruh perjuangan bangsa Mesir akan lahir sebagaimana Izis mengalahkan tirani yang zalim (Abdullah, 2005:304, Al-‘Aqiqi, 1976:71, Hakim, 2003:65). Di tangan Mahmud Taimur (lahir 1894), prosa sastra Arab berkembang lebih jauh. Ia telah menghasilkan 21 Cerpen antara lain as-Syeikh Jum’ah, 9 buah novel, 5 drama, dan beberapa tulisan tentang kritik sastra. Di antara novelnya itu adalah Kleobatra fi Khan Khalili (Kleopatra di Khan Khalili) yang terbit 1944, Syumrukh (Setangkai Anggur) yang terbit 1958, dan Ila al-Liqa Ayyuha al-Hubb (Selamat Tinggal, Wahai Cinta) yang terbit tahun 1959. Karya-karyanya telah diterjemahkan kedalam 11 bahasa, selain Arab. Antara lain Perancis, Inggris, Jerman, dan Ibrani. Novel Kleobatra fi Khan Khalili yang ditulis dalam suasana Perang Dunia II itu mengisahkan konferensi damai yang digelar di Khan Khalili, salah satu kawasan lama Kairo, tidak jauh dari Masjid al-Azhar. Dalam konferensi tersebut, dengan bantuan ahli roh, Kleopatra dan Timur Leng dihadirkan dengan menjelma sebagai seorang yang paling gigih menganjurkan perdamaian. Namun, dalam perjalanan waktu, keduanya berubah menjadi sosok yang kejam dan ambisius, sebagaimana ketika mereka hidup. Tampaknya, Taimur ingin mengkritik para pemimpin Mesir yang awalnya baik, tetapi setelah berkuasa mabuk kekuasaan dan melupakan rakyat (Salam, tt:191, Dhaif, 1980:305, Taimur, 1952:122). Selain itu, salah satu karya sastra abad kedua puluh yang masih terus digemari di dunia Arab, bahkan hingga kini adalah autobiografi Thaha Husain (w. 1973), al-Ayyam. Taha Husein adalah seorang sastrawan, sarjana, penulis Mesir dan tokoh modernisasi terkemuka di dunia Arab yang melahirkan beberapa karya. Antara lain Syajarah al-Bu’s (Pohon Penderitaan), karya realis sebuah keluarga. Daya pikat al-Ayyam-nya adalah seorang anak tuna netra Mesir berhasil mengatasi hambatan sosial dan pendidikannya, hingga diangkat menjadi guru besar di sebuah universitas modern di Kairo. Dia belajar ke Perancis dan kembali ke negeri asalnya, Mesir, dengan menyandang gelar Doktor dan membawa seorang istri berkebangsaan Perancis. Cacat penglihatannya dan perbedaan budaya antara tradisi dan kemodernan, Timur dan Barat, yang dialaminya memperkuat unsur dramatis karya tersebut. Bukan kebetulan, jika anak-anak sekolah, sejak dari Suriah hingga Sudan, dari Arab Saudi hingga Afrika Utara, masih membaca karya ini (Husein, 2004:122). Di tangan Najib Mahfudz, prosa sastra terutama novel, menjadi sastra yang diakui dunia. Ia berhasil mendapatkan hadiah Nobel pada tahun 1988. Awalnya ia menulis novel romantis historis dengan latar periode Fira’un. Contoh novelnya yang termasuk kategori ini adalah Kifah Thibah (Perjuangan Thebe) yang diterbitkan pada tahun 1944. Selanjutnya, ia beralih pada jenis novel realis sosial. Diantara novel jenis ini yang membuatnya terkenal adalah novel Tsulatsiyah/Trilogi-nya. Yaitu Baina al-Qashrain [Di Antara Dua Istana, Nama Jalan], Qashr asy-Syauq [Istana Kerinduan, Nama Jalan], dan as-Sukkariyah [Mangkuk Gula, Nama Kampung]) yang terbit tahun 1956 dan 1957. Terakhir ia memilih bentuk novel simbolis filosofis semisal Aulad Haratina (Anak-nak Kampung Kami) yang terbit pada tahun 1959. Novel yang disebut terakhir ini membuat Mahfudz dianggap telah menghina Allah dan para Nabinya oleh Syeikh al-Azhar kala itu. Sebagian besar karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Baina al-Qashrain, bagian pertama dari Tsulatsiyah (Trilogi)-nya, adalah nama jalan di Kairo di mana keluarga ‘Abd al-Jawwad, tokoh utama novel ini tinggal. Novel ini menceritakan keluarga borjuis pedagang kecil yang masih memegang tradisi dengan latar waktu antara tahun 1917-1919. ‘Abd al-Jawwad adalah seorang bapak yang bertanggungjawab dan sangat taat dalam menunaikan salat. Namun, ia adalah seorang otoriter, individual, dan bengis. Bahkan, ia juga memiliki karakter yang tidak diketahui oleh anggota keluarganya, yaitu senang menenggak minuman keras, menyukai musik, dan kesenangan dunia lainnya. Istrinya adalah wanita tradisonal yang tunduk pada suami dan tidak keluar rumah kecuali seizin suaminya. Anak pertama dari istri pertamanya, Yasin Syahwani, mewarisi sikap ayahnya yang suka mengumbar nafsu yang buruk. Khadijah, anak gadisnya, mewarisi sikap sang ayah yang keras kepala dan otoriter. Sedangkan Fahmi, anaknya yang lain seorang yang lembut. Sebagai seorang yang otoriter, semua jodoh anaknya ditentukan oleh ‘Abd al-Jawwad, ayahnya. Namun, lain dengan Fahmi yang berani melamar seorang gadis pilihannya sendiri yang kemudian tidak disetujui ayahnya. Berkobarnya demontarasi besar-besaran yang menuntut dibebaskanya Sa’ad Zaglul dalam revolusi tahun 1919 membawa Fahmi ikut terlibat dalam revolusi tersebut yang tidak disetujui ayahnya. Fahmi kemudian tewas sebagai syahid dalam revolusi 1919. Qashr asy-Syauq, bagian kedua dari Tsulatsiyah (Trilogi) Mahfudz, adalah nama jalan dekat Jalan Baina al-Qashrain, tempat di mana Yasin tinggal. Novel ini menjelaskan latar waktu yang terjadi antara tahun 1924 hingga 1927. Yang diceritakan Mahfudz dalam novel ini adalah bahwa ‘Abd al-Jawwad sangat terpukul dengan kematian anaknya, Fahmi, dan memberikan sedikit ruang kebebasan bagi anak-anaknya. Dalam seri ini, Khadijah dan Aisyah, anak perempuannya, hidup bahagia bersama suamainya. Namun, keadaan Yasin belum berubah. Ia kawin dengan istri kedua, lalu cerai, dan kawin lagi dengan istri ketiga. Kamal, anaknya yang lain lulus S1 pada tahun 1924 dan menjadi tokoh utama kedua. Kamal berkawan dengan seorang anak aristokrat Mesir dari keluarga Syaddad, bernama Husein Syaddad. Kondisi kehidupan Husein Syaddad di keluarganya berbeda secara diametral dengan kehidupan di keluarga Kamal. Keluarganya sangat kaya, hidup dengan gaya Eropa yang memberikan kebebasan tanpa syarat, dan sering berdiskusi seputar seni, filsafat, sosial, dan politik. Berbeda sekali dengan Kamal, karena kemapanan ekonomi, yang dipikirkan Husein bukanlah kehidupan dan masa depannya, tetapi bagaimana ia bisa jalan-jalan ke seantero negara Eropa. Kamal kemudian jatuh cinta pada ‘Ayidah yang amat cantik, adik Husein. Namun, cintanya hanya cinta platonik, karena perbedaan status sosial dan ekonomi. Tokoh ini dalam keadaan krisis cinta dan agama, mengidolakan Sa’ad Zaglul yang wafat tahun 1927. Tampaknya, keluarga Syaddad adalah simbol dari protipe kebudayaan Eropa yang diidolakan Kamal. As-Sukkariyah, bagian ketiga dari Tsulatsiyah (Trilogi) Mahfudz, adalah nama kampung. Dalam bagian yang menceritakan latar waktu antara 1935-1944 ini, di pertengahan novel, ayah Kamal, yaitu ‘Abd al-Jawad, meninggal dunia dan disusul kemudian oleh ibunya di akhir novel. Di bagian ini, diceritakan pula listrik dan radio masuk ke rumah lamanya, peristiwa politik dari mulai meninggalnya Raja Fuad hingga ditandatanganinya perjanjian dengan Inggris. Bagian ini juga mengisahkan 2 orang keponakan Kamal, anak dari Khadijah yang dapat menyelesaikan studi S1-nya. Yang satu bernama ‘Abd al-Mun’im dan satu lagi Ahmad Syaukat. Generasi cucu ‘Abd al- Jawad ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka mendapatkan kebebasan dalam menentukan hidup. ‘Abd al-Munim dikisahkan menjadi salah seorang anggota Ikhwan al-Muslimin dengan ideologi Islamisnya dan kawin muda untuk menjaga agamanya. Sementara Ahmad Syaukat menjadi salah satu dari angota Partai Komunis yang menolak warisan pemikiran Arab dan kepercayaan terhadap yang gaib. Ahmad Syaukat aktif dalam Partai Komunisnya dengan menyebarkan brosur dan lainnya serta menikah dengan seorang perempuan atheis. Masing-masing menganggap ideologinya sebagai jalan keluar dari kemelut Mesir modern. Keduanya kemudian ditangkap, karena kegiatan politiknya. Dalam menjelaskan dua tokoh ini, Mahfudz bersikap sebagai pengamat yang tidak jelas pemihakannya. Agaknya, hal ini dan juga faktor lain seperti dukungannnya pada perjanjian Camp David, yang membuat Mahfudz terkena cekal di negara-negara Arab konservatif seperti Saudi Arabia dan tidak disukai kalangan Islam fundamentalis. Kamal dalam bagian ini dikisahkan sebagai seorang agamis yang tetap menjalankan salat lima waktu, tetapi tetap sebagaimana sebelumnya. Ia yang berpofesi sebagai guru Bahasa Inggris di sekolah Dasar ini masih menolak kawin karena goncangan emosi cintanya kepada ‘Ayidah, yang walaupun tak kesampaian, tetapi sulit padam. Psikologinya masih terbelah, antara warisan tradisi timur dan gelombang kebudayaan baru dari Barat. Tokoh ini mewakili kebanyakan intelektual Mesir pada tahun sekitar 1925. Goncangan yang menimpanya bukan saja perbedaan kelas sosial dan ekonomi, tetapi juga goncangan pemikiran, yang disimbolkan dengan pemikiran Darwin yang pada masa Sadat berkuasa (1971) sempat dihilangkan dari kurikulum Mesir. Setelah menerbitkan artikelnya di koran mengenai pemikiran Darwin, ilmuwan asal Inggris, bahwa manusia berasal dari kera, ia dimarahi ayahnya. Ayahnya beranggapan bahwa jika asal manusia adalah kera atau hewan lainnya, maka itu berarti Adam bukanlah bapak manusia. Ayahnya menuduh Kamal menyebarkan kekufuran dalam artikelnya. Kamal menjawabnya dengan diplomatis bahwa ia hanya menjelaskan teori Darwin dalam artikelnya, bukan mengajak orang untuk mempercayainya. Kamal pun kemudian meminta ma’af dan menyadari kekeliruannya. Ayahnya menasehati agar dirinya memperbaiki tulisannya dan menyarankan agar menulis mengenai persoalan politik saja. Sementara ibunya menasehatinya agar menulis persoalan agama saja (Goumbeih, tt:11, Mahfudz, 1983:94, Sa’id, 1981:95-122). Sebagaimana di Barat dan belahan dunia lain, di dunia Arab modern juga lahir sastra feminis. Salah satunya adalah yang dihasilkan oleh seorang dokter dan novelis feminis Mesir, Nawal as-Sa’dawi (lahir 1931). Ia menulis lebih dari dua puluh novel, dua diantaranya difokuskan pada Islam: Suquth al-Imam (Jatuhnya Penguasa, 1987) dan Jannat wa Iblis (Surga dan Iblis, 1992). Dalam Jannat wa Iblis, ia mengisahkan semangat kaum laki-laki dalam gerakan Islam untuk memanfaatkan agama. Kecaman pedas as-Sa’dawi atas mereka yang menyalahgunakan hak istimewa religius menempatkan namanya dalam daftar hitam kelompok fundamentalis. Salah satu yang menonjol dalam karya-karyanya, baik novel maupun esai, adalah dalam keterusterangannya mengenai seksualitas dan eksploitasi perempuan oleh kaum kaum laki-laki. Dalam Imra’ah ‘Inda Nuqthah ash-Shifr (terbit 1975) misalnya, ia menceritakan tokoh perempuan bernama Firdaus, seorang anak petani cerdas yang setelah kematian ayahnya dibesarkan pamannya di Kairo. Ia kemudian dikawinkan dengan seorang yang kaya raya tetapi tua renta, kikir, dan kejam. Ia berhasil melarikan diri dari suaminya yang kejam, tetapi terlunta-lunta di jalanan. Lamarannya untuk bekerja selalu ditolak yang membuatnya kemudian menjadi pelacur, tetapi belakagangan sempat bekerja. Kekecewaannya kepada lelaki yang dicintainya karena kebobrokan dan kemunafikan, mengantarakannya kembali menjadi pelacur. Dengan menjadi pelacur, Firadus mendapatkan kemenangan atas kaum laki-laki yang diperbudak nafsu. Karena tindakannya membunuh germo, Firadus selanjutnya dijatuhi hukuman mati. Salah satu yang manarik dari novel ini adalah pernyataan-pernyataan Firdaus yang ekstrim. Diantaranya ia mengatakan: “Saya tahu bahwa profesiku ini telah diciptakan oleh lelaki dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan alam baka. .... dan tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi seorang pelacur bebas daripada seorang istri yang diperbudak”. Di Barat dan juga di Indonesia, as-Sa’dawi mendapat perhatian tinggi, tetapi dalam kritik sastra Mesir sendiri, karya-karyanya dinilai kurang memiliki bobot sastra (Esposito, tt:157, As-Sa’dawi, 2003:x-xiii). Feminis Arab lainnya adalah Bint al-Huda yang dikenal dengan Aminah Shadr. Ia terlibat aktif dalam gerakan pembaruan Islam di Najaf dan pada 1980, rezim Ba’s mengeksekusinya. Ia menulis beberapa novel (diantaranya Liqa’ fi al-Mustasyfa, 1970), cerita pendek, dan sajak yang mencitrakan model ideal bagi perempuan Muslim: bersikap anti Barat, berorientasi rumah tangga, menerapkan hijab (jilbab), tidak patuh buta pada laki-laki, serta boleh bekerja di ruang publik sepanjang mengikuti ketentuan Islam yang benar, bahkan dapat mengangkat senjata, jika misi Islam menghendakinya. Di Arab Saudi yang tradisional sekalipun, sastra feminis juga lahir, yaitu dari Samirah binti al-Jazirah al-’Arabiyyah. Dalam salah satu novelnya, Qatharat min ad-Dumu’, ia menceritakan tokoh Z|ikra yang orang tuanya, Syekh Mahjub, seorang otoriter, Ia memaksa dirinya kawin dengan Amir, sepupunya, tetapi Amir menolaknya. Amir kemudian terbunuh karena diangap berselingkuh, walaupun tanpa bukti kuat dengan istrinya. Istrinya mati lewat hukum rajam (dilempar batu hingga mati). Z|ikra kemudian jatuh cinta pada ‘Ashim, seorang dokter. Namun, hubungannya tidak disetujui oleh orang tua ‘Ashim, karena perbedaan status sosial. Penolakan ayahnya membuat ‘Ashim marah dan pergi membawa sebuah mobil dengan laju kecepatan tinggi yang membawanya pada kematian. Di akhir cerita, Dzikra mengbadikan diri pada sebuah lembaga pendidikan Islam (Al-‘Arabiyah, 1979:172). Adalah Jibran Khalil Jibran (1883-1931) yang di Indonesia dikenal dengan Kahlil Gibran, selain Najib Mahfudz, prosais Arab yang sastranya paling universal diakui Dunia. Dalam khazanah sastra Indonesia, sebagaian besar karyanya telah diterjemahkan. Prosa fiksinya mayoritas berbentuk cerpen, meski ada dari sebagiannya dalam bentuk puisi, baik puisi bebas sebagai karya domiannya maupun puisi tradisionalnya seperti al-Mawakib. Kumpulan cerpennya sebagian ditulis dalam bahasa Arab dan sebagiannya dalam bahasa Inggris. Yang ditulis dalam bahasa Arab misalnya al-Arwah al-Mutamarridah (Jiwa-Jiwa Durhaka), al-Ajnihah al-Mutakassirah (Sayap-sayap Patah), Dam’ah Wa Ibtisamah (Air Mata dan Senyuman). Dalam Bahasa Inggris antara lain al-Majnun (Yang Gila), an-Nabi (Sang Nabi), Ramal wa Zabad (Pasir dan Buih), dan Hadiqah an-Nabi (Taman Sang Nabi). Dalam cerpen-cerpennya, ia membicarakan persoalan kemasyarakatan, hukum, politik, agama, dan terutama cinta. Baginya cinta merupakan inti eksistensi manusia. Yang dimaksudnya cinta, bukan saja cinta yang penuh perasaan yang bisa diungkapkan lewat seks (eros), melainkan juga terutama cinta kemanusiaan atau spiritual (agape). Dalam salah satu cerpennya, ia mengungkapkan bahwa jagad adalah negerinya dan keluarga manusia adalah sukunya. Baginya, kecintaanya pada jagad sebagaiamana kecintaan pada negerinya dan manusia adalah saudaranya, karena sebagai sesama manusia yang tercipta dari tanah (Jibran, 1975:77, Ghougassian, 2001:44, Hasan, 2001:49-51). Saat ini, sastra arab tampaknya sedang mengalami perubahan besar. Kisah metafiksi dan kaya intertekstualitas menyerbu prosa kontemporer, sebagaimana terjadi di Barat. Nama yang paling sering dikaitkan dengan perkembangan ini adalah dan Jamal Al-Githani (Lahir 1945). al-Githani yang menulis novel antara lain Nihayah as-Sakir (Akhir Sang Pemabuk, tahun 1959) dan sekitar 50 cerpen telah memanfaatkan warisan tekstual Arab-Islam yang kaya, termasuk teks-teks sejarah, biografis, dan mistis yang membuatnya banyak mendapatkan penghargaan sastra. Corak sastranya menuntut pembaca untuk mengaitkan dunia sastranya secara intertekstual dengan dunia para pendahulu abad klasik dan pertengahan. Kecenderungan Jamal al-Githani ini menjadi kecenderungan juga penulis Palestina yang cemerlang, Emile Habibi, dan pengarang inovatif Tunisia, al- Mis’adi. Dilihat dari sisi orsinalitas, al-Githani yang berkecenderungan seperti itu sesungguhnya bukanlah pelopor, tetapi melanjutkan kecenderungan seniornya, yaitu Najib Mahfudz (1911-2006) dan Najib al-Kailani (1931-1995). Najib Mahfudz misalnya telah menulis novel Aulad Haratina yang telah disinggung di atas. Dengan memanfa’atkan sumber-sumber keagamaan, Mahfudz dalam novel ini telah melakukan upaya kontekstualisasi sejarah hidup para Nabi dan ajarannya dengan tuntutan kekinian. Ia juga dalam novel ini memandang bahwa yang ditekankan semua agama adalah keadilan politik dan ekonomi (Mahfudz, 1986:89). Sementara Najib al-Kailani sering dinilai pelopor fiksi Islami. Dari tangannya paling tidak telah lahir 23 novel dan 5 kumpulan cerpen. Salah satunya adalah novel ‘Azra Jakarta (Gadis Jakarta, 1974) dan kumpulan cerpen Dumu’ al-Amir (Air Mata Penguasa, 1980). Dalam Azra Jakarta, ia mengisahakan seorang tokoh komunis Aidit yang mencintai seorang gadis bernama Fatimah, putri seorang tokoh Masyumi yang menjadi pejuang Islam sebagai sebuah ideologi. Setting-nya adalah situasi politik Jakarta pada tahun 1965-an. Perbedaan ideologi membuat keduanya berseberangan baik dalam cinta maupun perjuangan politiknya. Ending novel ini adalah dihukum matinya Aidit dan kemenangan bagi Masyumi, partai yang dibela tokoh utamanya. Dalam salah satu cerpen yang ada dalam Dumu’ al-Amir, yaitu Cerpen al-Qalb al-Kabir, al-Kailani mengisahkan seorang tokoh bernama ‘Abdullah bin Mubarak. Ia membawa rombongan haji dari daerah Khurasan. Ketika hampir sampai ke Mekah, bertemu dengan dua orang anak perempuan miskin yang tidak makan selama dua hari. Uang persediannya dan juga milik rombongannya untuk haji kemudian diserahkan kepada dua anak perempuan itu, dan ia pulang, menunda hajinya untuk musim haji akan datang (Al-‘Arini, 1304:18, Al-Kailani, 1981:112, Al-Kailani, 1980:47-50). Selain prosais di atas, prosais Arab yang cukup dikenal di luar tanah airnya adalah penulis cerpen Irak, Malik Nuri (1923), Fuad Tajerli (1927), dan Syakir Khusybak. Dari yang terakhir ini beberapa cerpennya sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Cerpen-Cerpen mereka diwarnai suasana revolusi sosialisme di Irak. Prosais lainnya yang sebagian cerpennya juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah Abdu as-Salam (l. 1918), cerpenis Suriah. Dari Sudan, yang agak menonjol dapat disebut nama penyair dan penulis cerpen, Thayyib Shalih. Dari Maroko, Abd al-Qadir as-Samihi termasuk pengarang yang cerpennya sering muncul dalam majalah sastra terkemuka semisal al-Adab dan al-Majallah (Esposito, tt:157, Hadi, 2004:364-367). Penutup Kesimpulannya, bahwa meski tradisi sastra Arab klasik bukan prosa, tetapi prosa imaginatif (prosa fiksi) Arab mulai berkembang sejak masa akhir Dinasti Umayyah (661-750). Faktor yang mempengaruhinya tampaknya adalah Qur’an sendiri yang mengandung banyak cerita dan juga penerjemahan fiksi asing dari bahasa Persia. Dengan diawali lahirnya folklor semisal Laila Majnun, lalu penerjemahan Kalilah wa Dimnah oleh Ibn al-Muqaffa, prosa fiksi Arab kemudian berkembang pesat. Kitab al-Bukhala yang berisi sejenis cerpen realis karya al-Jahidz adalah fiksi pertama yang lahir dan diikuti kemudian oleh lahirnya kumpulan novel-novel pendek Alf Lailah wa Lailah yang abadi hingga kini. Selanjutnya, muncullah jenis fiksi maqamat di tangan al-Hamz|ani dan al-Hariri. Sebagaimana Alf Lailah wa Lailah, maqamat ini ungul dengan bentuk cerita berbingkainya. Hanya saja, bedanya adalah bahwa sejenis cerpen yang dikandungnya bersifat realis, berisi kritik individual dan sosial, diselingi hal-hal lucu, dan gaya bahasanya yang penuh dengan sajak pendek. Fiksi Arab yang muncul belakangan pada masa klasik di dunia Arab bagian Timur adalah fiksi romantis Risalah al-Gufran karya al-Ma’arri. Di belahan dunia Arab bagian Barat, perkembangan sejarah fiksi klasik Arab ditandai dengan lahirnya fiksi romantis at-Tawabi’ wa az-Zawabi’ karya Ibn as-Syahid dan fiksi romantis filosofis Hayy bin Yaqdzan karya Ibn Thufail. Setelah pada masa pertengahan mengalami kemandekan, pada masa modern fiksi Arab berkembang dengan diawali munculnya karya terjemahan dari at-Thahtawi. Sejak itu, berkembanglah fiksi Arab dengan ditandai munculnya Hadis Isa bin Hisyam karya al-Muwallihi dalam bentuk maqamat. Setelah itu, fiksi Arab berkembang lebih lanjut di tangan al-Manfaluthi, sastrawan aliran klasik dan romantis. Karyanya banyak sekali. Magnum opus-nya, an-Nazarat, berisi banyak esai dan cerpen. Ia juga menerjemahkan beberapa karya sastra Barat seperti al-Majdulin. Namun, jika novel realis yang jadi ukuran, maka novel Zainab karya Husein Haikal menandai lahirnya novel yang banar-benar modern. Ia kemudian diikuti oleh sastrawan besar dan kaliber dunia seperti Taufik Hakim dengan novel seperti ‘Audah ar-Ruh-nya dan Mahmud Taimur dengan novel antara lain Kliyubatrah Fi Khan Khalili-nya dimana karya keduanya umumnya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Thaha Husein dengan antara lain al-Ayyam-nya mengembangkan fiksi Arab kemudian yang karyanya hingga kini masih dibaca. Namun, lewat Najib Mahfudz dengan berbagai ragam karyanya, dari novelnya yang bercorak romantis historis, lalu realis, hingga simbolis filosofis, fiksi Arab mendapatkan pengakuan dunia. Pada Tahun 1988, Mahfudz memperoleh hadiah Nobel. Selain Mahfudz, penulis fiksi Arab modern yang mendapatkan pengakuan dunia adalah Jibran Khalil Jibran lewat cerpen-cerpen romantisnya, Nawal as-Sa’dawi dengan novel-novel feminisnya, dan Najib al-Kailani dengan fiksi Islamnya. Kecenderungan yang paling mutakhir dari fiksi Arab belakangan ini adalah munculnya novel-novel metafisik dan intertekstualis seperti yang lahir dari tangan Jamal al-Ghithani dan Emile Habibi. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Muhammad Hasan. 2005. al-Waqi’iyyah fi ar-Riwayah al-Arabiyyah, Kairo: Maktabah al-Usrah. Ahmad, Aba ‘Aush dan al-Farabi ‘Abd al-Lathif. 1983. Al-Harakat Al-Fikriyyah Wa Al-Adabiyyah Fi Al-‘Alam Al-‘Arabi Al-Hadits, Rabath: Dar al- Tsaqafah. Al-‘Aqiqi, Najib. 1976. Min al-Adab al-Muqaran. Kairo: Maktabah al-Anjalau. Al-‘Arini, Abdullah Shalih. 1304 H. Al-Ittijah Al-Islami Fi A’mal Najib Al-Kailani Al-Qishashiyyah. Ttp: Mathabi’ ad-Dira’iyyah. Al-’Arabiyyah, Samirah binti al-Jazirah. 1979. Qatharat min ad-Dumu. Beirut: Mansyrat Zuhair Ba’labaki. Al-Ahwani, Ahmad Fuad. 1988. Falsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus. Al-Basathi, Mutawwalli Muhammad. 1982. Al-Qishshah fi al-Adab al-‘Arabi. Kairo: Mathba’ah as-Sa’adah. Al-Faisal, Abd al-Aziz bin Muhammad. 1405 H. Al-Adab Al-‘Arabi Wa Tarikhuhu: Al-Ashr Al-Jahili Wa ‘Ashr Shadr Al-Islam Wa Al-‘Ashr Al-Umawi. Riyadh: Mamlakah Saudi Arabia. Al-Faruqi, Lois Lamya. 1998. Atlas Budaya Islam, Menjelajahi Peradaban Gemilang, terj. Ilyas Hasan The Cultural Atlas of Islam. Bandung: Mizan. Al-Hamid, Muhammad Muhiddin ‘Abd. 1962. Syarah Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamdzani. Kairo: Maktabah Muhammad Ali Shubh. Al-Hasyimi, Ahmad. Tanpa tahun. Jawahir al-Adab fi Adabiyyat wa Insya Lughah al-‘Arab. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Husaini, Al-Masyhad. Tanpa tahun. Alf Lailah wa Lailah. Kairo: Masyhad al-Husaini. Al-Jahidz, Abu ‘Usman bin Bahr. Tanpa tahun. Al-Bukhala. Kairo: al-Maktabah at-Taufiqiyah. Al-Kailani, Najib. 1982. ‘Adzra Jakarta. Beirut: Dar an-Nafais. Al-Kailani, Najib. 1980. “al-Qalb al-Kabir” dalam Dumu’ al-Amir. Kairo: Muassasah ar-Risalah. Al-Muqaffa’, Ibn. 1987. Kalilah wa Dimnah. Beirut: Dar an-Nubula. Al-Qa’ud, Hilmi Muhammad. 1986. Madrasah al-Bayan fi al-Natsar al-Hadits. Riyadh: Dar al-Qafilah. Al-Zayyat, Ahmad Hasan. Tanpa tahun. Tarikh al-Adab al-‘Arabi. Kairo: Dar al-Nahdhah. Ar-Rabi’, Muhammad bin abd Rahman. 1410 H. al-Adab al-Arabi wa Tarikhuhu (al-‘Ashr al-‘Abbasyi, Adab al-Harub al-Shalibiyah, ‘Ashr a-Duwal al-Mutatabi’ah, al-Adab al-Andalusi). Riyadh: Jami’ah Muhammad bin Sa’ud. As-Sa’dawi, Nawal. 2003. Perempuan di Titik Nol, terjemahan Women at Point Zero, Jakarta Yayasan Obor. At-Taranji, Muhammad. 1992. al-Mu’jam al-Mufashshal fi al-Adab. Beirut: Dar al-Kutub al’-Ilmiyyah. Barakat, Iqbal. 2004. Kisah-Kisah Cinta Awal Islam, terj. Taufiq Damas al-Hubb fi Shadr al-Islam, Jakarta: Qisthi Press. Dhaif, Syauqi. 1980. al-Fann wa Mazahibuhu fi an-Nastr al’Arabi. Kairo: Dar al-Ma’arif. Dzihni, Mahmud. Tanpa tahun. Tadzawwuq al-Adab, Thuruquh wa Wasailuh. Ttp: Al-Anjalau Al-Mishriyyah. Esposito, John L. Tanpa tahun. Ensiklopedi Oxpord Dunia Islam Modern, Bandung: Mizan. Fang, Liau Yock. 1991. Sejarah Kesusasteraan Melayu Kalsik I. Jakarta: Erlangga. Ghougassian, Joseph Peter. 2001. Sayap-Sayap Pemikiran Gibran, terjemahan Kahlil Gibran: Wing of Tought, Jakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001 Glasses, Cyrell. 1990. Ensiklopedi Islam, Ringkasan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Goumbeih, G. Tanpa tahun. Shulasiyyah Najib Mahfudz. Kairo: Maktabah Misr. Hadi WM, Abdul. 2004. “Sastera” dalam Taufik Abdullah dkk., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Hadi WM., Abdul. 2000. Islam, Cakrawala Estetik dan Budaya. Jakarta: Pustaka Firdaus. Hakim, Taufik. 2003. Malam Pengantin, terjemahan Lailah az-Zafaf. Yogyakarta: Navila. Hasan, Fuad. 2001. Menapak Jejak Khalil Gibran. Jakarta: Pustaka Jaya. Hilal, Muhammad Gunaimi. Tanpa tahun. Al-Adab Al-Muqaran. Kairo: Dar an-Nahdah. Hitti, Philip K. Tanpa tahun. Dunia Arab, Sejarah Ringkas, terjemahan The Arab, A Short History. Bandung: Sumur Bandung. Husein, Taha. 2004. Min Hadis as-Syi’r wa an-Nasr. Kairo: Dar al-Ma’arif. Jibran, Jibran Khalil. 1975. al-Majmu’ah al-Kamilah Limu’allafat Jibran Khalil Jibran al’Arabiyyah, Beirut: Tanpa penerbit. __________. Tanpa tahun. al-Majmu’ah al-Kamilah Limu’allafat Jibran Khalil Jibran al-Mu’arabah ‘an al-Inkliziyyah, terj. Irsmandret Antonius Basyir. Ttp: Tanpa penerbit. Khafaji, Muhammad ‘Abd al-Mun’im. Tanpa tahun. Abu ‘Usman al-Jahidz. Kairo: Dar at-Thiba’ah al-Muhammadiyah. Mahayana, Maman S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia, Sebuah Orientasi Kritik. Jakarta: Bening. Mahfudz, Najib. 1983. Baina al-Qashrain. Kairo: Maktabah Mishr. __________. 1984. As-Sukkariyah. Kairo: Maktabah Mishr. __________. Tanpa tahun. Kisah Seribu Satu Siang dan Malam, terjemahan Arabian Nights and Days. Yogyakarta: Bintang Budaya __________. 1984. Qashr as-Syauq. Kairo: Maktabah Mishr. McGlynn dkk., John H. 1998. Indnesian Heritage, Bahasa dan Sastra, terj. Tonny Gautama-Johan. Jakarta: Grolier International Inc. Muja’sh, Salim (Ed.). 1999. Risalah Gufran Abi al-‘Ala al-Ma’ari. Beirut: Amwaj. Muthahhari, Murtadha. Tanpa tahun. Tema-Tema Penting Filsafat Islam, terjemahan dari Fundamental of Islamic Thought: God, Man, and The Universe. Bandung: Mizan. Nidzami. 2002. Laila Majnun, Roman Cinta Paling Popular dan Abadi, terjemahan Qais bin al-Mulawwah, Majnun Laila, Yogyakarta: Navila, 2002 Sai’d, Fathimah Az-Zahra Muhammad. 1981. ar-Ramziyyah Fi Adab Najib Mahfudz. Beirut: al-Muassasah al-‘Arabiyyah li ad-Dirasat wa an-Nasyr. Salam, Muhammad Zaglul. Tanpa tahun. Dirasat fi al-Qishshah al-Hadisah, Ushuluha, Ittijahatuha, A’lamuha. Iskandaria: Mansyat al-Ma’arif. Shalih, Rusydi. 1813 H. Alf Lailah wa Lailah, Kairo: Dar as-Sya’b. Shiddiqi, Bachtiar Husein. 1996. “Ibn Thufail” dalam MM. Syarif, Para Filosuf Muslim, Bandung: Mizan. Sumardjo dan Saini KM, Jakob. 1997. Apresiasi kesusasteraan, Jakarta: Gramedia. Taimur, Mahmud. 1952. Kleobatra fi Khan Khalili. Kairo: Kitab Al-Hilal. Thufail, Ibn. 1997. Hayy bin Yaqdzan, Anak Alam Mencarai Tuhan, terj. Ahmadie Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus. Yatim, Badri. 1997. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.