Translate
Tuesday, March 17, 2015
KHILAFAH DAN ULAMA DALAM PEMERINTAHAN
SEJARAH PERADABAN ISLAM
Oleh: Septian Saputro
KHILAFAH DAN ULAMA DALAM PEMERINTAHAN
Kata khilafah,
begitu kita membacanya ataupun mendengarnya maka secara langsung kata ini
mengacu pada sebuah sistem dalam pemerintahan politik yang identik dengan
sebuah agama yaitu Islam. Berbicara mengenai khilafah ada hal yang sangat
berkaitan satu dengan lainya seperti sebuah mata uang yakni antara agama Islam
dan sebuah negara. Sistem khilafah merupakan termasuk sebuah sistem
pemerintahan religius dimana pelaksanaan dan penyelenggaraannya berlandaskan
pada syariat islam[1].
Kata khilafah
sendiri secara bahasa diambil dari kata kerja khalafa yang berarti mengganti
atau memberi ganti, sementara kata khilafah bermakna an-niyabatu an al-gahairi
atu pergntian[2].
Kata ini di gunakan sebab sepeninggal nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat
atau kepala pemerintahan islam pada saat itu akan dicarikan penggantinya yang
dalam islam disebut khalifah (pengganti). Secara istilah, khilafah memiliki
arti sebagai:
Menurut
Ginai: Khilafah adalah lembaga pemerintahan Islam yang berdasarkan pada
Al-Qur’an dan Sunah[3].
Secara umum
bisa dikatakan bahwa khilafah sudah berlangsung sejak masa setelah Rosul wafat.
Ira Lapidus dalam Sejarah Sosial Ummat Islam menggolongkan sistem khilafah pada
beberapa fase yakni : fase Rsyidun, fase dinasti Umayya, Fase awal Imperium
Abasiyyah dan Fase Kemunduran Imperium Abasiyyah[4].
Muncul
pertanyaan, jadi seperti apa sistem khilafah itu dimasa Rosul, Khulafa Rosyidin
dan masa setelahnya, lalu disebut apakah negara yang dalam praktiknya memiliki
dasar -dasar syariat islam atau bisa dibilang berjalan sesuai nilai-nilai yang
islami sementara sistem pemerintahanya di luar khilafah?
Rasanya agak
sulit menjawab pertanyaan itu karena banyak terjadi perdebatan mengenai praksis
khilafah dilapangan dikarenakan tidak ada wujud pasti bagaimana bentuk khilafah
islamiyah yang pada dewasa ini digembor-gemborkan oleh sebagian kelompok.
Mereka mencoba merujuk pada sistem pemerintahan dimasa khulafa ar-rasyidin,
menyebut pemimpin sebagai khalifah lalu merujuk pada masa-masa dinasti Umayah
dan Abasiyah dan lain sebagainya. Namun yang sebenarnya adalah menurut Muhammad
Husein Haikal bahwa sistem pemerintahan pada masa Khulafa rasyidin serupa dengan
sistem republik dalam konsep politik modern[5]
, namun dalam menjalankan pemerintahan tetap berlandaskan pada syariat islam.
Sementara itu sistem pemerintahan islam pada masa selanjutnya, yakni masa
daulah bani Umayyah dan Abasiyah sampai Turki Utsmani menganut sistem kerajaan
atau monarki. Begitupula halnya yang tercatat dalam History of the Arabs karya
Philip K Hitti dimana ia menyatakan bahwa masa kekhalifahan Abu Bakr hingga Ali
dapat disebut sebagai pemerintahan kekhalifahan republik[6].
Dari hal ini saya
memandang bahwa yang harus dijalankan atau dituntut dalam sebuah pemerintahan
dalam hal ini islam adalah adanya penyelenggaraan nilai-nilai keislaman dan
dijalankanya syariat islam adapun bentuk
ataupun model dalam kelangsungan pemerintahan itu sebagaimana yang disepakati
dan dipilih oleh penduduknya. Bentuk khilafah yang ada pada masa sahabat adalah
berbentuk republik yang diselenggaarakan dengan nilai-nilai Islam dan bentuk
khilafah pada masa Umayyah, Abasiyyah hingga Turki Utsmani adalah berbentuk monarki
atau kerajaan yang juga diselenggarakan dengan nilai-nilai islam.
Dalam sejarah
Islam sendiri Nabi Muhammad pada masanya bukan hanya dipandang sebagai toko
sentral agama melainkan juga sebagai pemimpin dalam peperangan, politik dan
kepala pemerintahan. Begitu seterusnya hingga pada masa sahabat. Keadaan yang
demikian karena peran mereka memang masih tampak, dimana sahabt merupakan
orang-orang yang dekat dengan Rosul dalam artian mereka belajar Islam langsung
dari Rosul hingga pengalaman kegamaan mereka, keilmuan mereka bisa dibilang
mumpuni.
Dalam
perjalanan selanjutnya, dimasa-masa dinasti yang bercorak monarki ataupun
kerajaan -baik di wilayah Timur Tengah maupun wilayah kerajaan Islam Nusantara-
mulai tampak pembagian tugas dalam pemerintahan. Dalam hal kegamaan atau fatwa
agama disini ada peran tersendiri bagi tokoh yang memiliki pengetahuan agama
yang luas yakni ulama atau disebut juga kadi. Ada banyak pengertian yang
diberikan para pemikir muslim mengenai istilah ulama, disini saya mengutip pendapat
Syeikh Nawawi al-Bantani yang saya rasa cuku mewakili peran ulama dalam
pemerintahan.
Ulama
adalah orang-orang yang menguasai segala hukum syara’ untuk menetapkan syahnya
agama, baik penetapan sah i’tiqad maupun amal syariat lainya.[7]
Sementara ada pengetian
lain yang akan saya cantumkan sebagai pembanding yang dalam hal ini lebih
mengarah kepada kriteria ulama.
Imam Mujtahid: Ulama adalah orang
yang hanya takut kepada Allah SWT.
Asan
Basri : Ulama adalah orang yang hanya takut kepada Allah disebabkan perkara
ghaib, suka kepada setiap sesuatu yang disukai Allah dan menolak segala sesuatu
yang dimurkaiNya[8].
Adanya lembaga
kadi membuat fungsi dan peran ulama menjadi begitu penting dalam sebuah sistem pemerintahan. Melalui
lembaga ini hukum dan syariat Islam dirumuskan dan dijadikanya sebuah fatwa
hingga peran ulama menjadi sangat penting dalam menentukan kehidupan kegamaan
umat Islam pada wilayah tertentu[9].
Sumber:
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir (Surabaya: Pustaka
Progressife) 361-363
Ajat Sudrajat, , Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY. PDF Khilafah
Islamiyah Dalam Perspektif Sejarah
Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid satu dan dua
terjemahan 1999 (Jakarta: Rajawali
Press)
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, 2012 (Bandung: Mizan)
K.H Drs. Badruddin Hsubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman,1995
(Jakarta: Gema Insani Press)
Philiph K. Hitti, History Of The Arabs, terjemahan 2008
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta)
[1] Ajat Sudrajat, Khilafah Islamiyah Dalam Perspektif Sejarah, Prodi Ilmu
Sejarah FISE UNY. PDF 1
[2] Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir (Surabaya: Pustaka Progressife)
361-363
[3] Ajat Sudrajat, Khilafah Islamiyah Dalam Perspektif Sejarah, Prodi Ilmu
Sejarah FISE UNY. PDF hal 3
[4] Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid satu dan dua terjemahan
1999 (Jakarta: Rajawali Press)Hal 81
[5] Ajat Sudrajat, Khilafah Islamiyah Dalam Perspektif Sejarah, Prodi Ilmu
Sejarah FISE UNY. PDF hal 5
[6] Philiph K. Hitti, History Of The Arabs, terjemahan 2008 (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta) Hal 229
[7] K.H Drs. Badruddin Hsubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman,1995
(Jakarta: Gema Insani Press) hal 46
[8] Ibid, hal 45
[9] Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, 2012 (Bandung: Mizan) hal 37
SEJARAH PERADABAN ISLAM (BAHASA ARAB, ISLAMISASI DAN ARABISME)
PAPER
Oleh
:SeptianSaputro (1420510025)
BAHASA ARAB, ISLAMISASI DAN ARABISME
Bahasa Arab adalah bahasa yang bisa dibilang berkembang
dengan pesat.Salah satu faktor utamanya adalah karena pengaruh agama yakni
agama Islam. Hubungan antara Islam dan Arab khususnya bahasa Arab saling
berkaitan satu sama lain ditilik dari akar sejarahnya. Agama Islam yang dibawa
nabi besar Muhammah SAW lahir di tanah dan wilayah Arab yang notabenenya para
penduduk berkomunikasi dengan bahasa Arab, begitupula kitab suci yang
diwahyukan kepada beliau yang mana menggunakan bahasa Arab, bahasa Nabi dan
kaumnya, bahasa dimana wahyu Al-qur’an diturunkan. Semua itu ada faedahnya.
Bahasa Arab sendiri menurut para ulama bahasa merupakan rumpun
bahasa semit, dan diantara bahasa semit yang ada terdahulu, bahasa Arab lah
yang berkembang karena berbagai macam faktor. Disini penulis mendapatkan
referensi (referensi internet) terkait fase penyebaran bahasa Arab yang terdiri
dari enam fase[1]:
1. Masa Jahiliyah
Pada masa ini dikatakan sudah mulai tampak adanya
benih-benih bahasa Arab fusha atau yang bersifat formal. Hal ini diperkuat
dengan adanya kegiatan-kegiatan yang menyangkut perihal kebahasaan yakni adanya
semacam kegiatan adu syair dikalangan bangsa Arab yang saat itu biasanya di
adakan di wilayah ramai seperti pasar Ukaz, Majanah, dan zul majah. Kegiatan
ini membawa dampak positif terhadap bahasa Arab yakni dikenalnya bahasa Arab
secara luas dengan benih-benih standarisasi Arab fusha. Karena menurut sebagian
ulama, syair adalah salah satu sumber kebahasaan bahasa Arab. Termasuk
Al-qur’an sebagai sumber teratas lalu bacaan Qur’an, Hadis nabi, syair dan
prosa.[2]
2.Masa Shadru Islam
Pada masa ini tak terlepas dengan adanya pengaruh Islam
terhadap perkembangan bahasa Arab. Islam sebagai agama dengan kitab suci
Al-Qur’an yang berbahasa Arab yang indah menjadi salah satu rujukan kebahasaan
Arab fusha. Al-Qur’an dianggap memiliki
tingkat kebahasaan fusha yang paling tinggi dan menjadi contoh terbaik dalam
bahasa kesastraan[3].
3.Masa bani Ummayah
Dalam masa ini, terjadi percampurn antara bangsa Arab
dengn penduduk pribumi karena ekpansi Islam ke berbagai wilayah baik wilayah Asia
Tengah, India dan Eropa. Saat Islam berhasil menduduki wilyah tersebut, Islam
sebagai agama berkembang, menyebar dan dipeluk sebagai agama sebagian pribumu
yang mengakibatkan bahasa Arab pun dipelajari sebagai bahasa ibadah agama dan
bahasa pergaulan.
Pada masa ini terjadi Arabisasi yang diprakarsai Abd
al-Malik dan Al-walid terhadap bahasa administrasi publik. Semisalnya di
Damascus dimana terjadi perubahan bahasa administrasi dari Yunani ke bahasa
Arab dan di Irak provinsi bagian timur dari bahasa Persia ke bahasa Arab serta
adanya penerbitan uang logam Arab[4].
4. Masa bani Abasiyah
Pada masa ini pemerintahan Abasiyah memiliki motivasi
tersendiri terhadap kelangsungan kejayaan Abasiyah yakni menggantungkan
pemerintahan kepada agama Islam dan bahasa Arab. Islam sebagai agama
dilestarikan denan kegiatan-kegiatan keagamaan sepeti kajian l-Qur’an terhadapap
ilmu agama maupun ilmu lainya. Pada masa inilah berkembang aliran-aliran atau
sekte-sekte pemikiran Islam serta masa dimana kemajuan ilmiah dan sastra
berkembang. Bahasa Arab sendiri masih dipertaankan kemurnianya dan diwajibkan
bagiputra-putri bani Abas untuk dikuasai. Bahasa Arab disini meluas karena
sudah dipakai dalam urusan administrasi, penulisan-penuliasn buku.
5.Masa ke lima
Atau saya sebut dengan masa peralihan, dimana bahasa Arab
yang dahulunya dipakai sebagai bahasa resmi, bahasa administrasi dan bahasa
politik pemerinthan sudah beralih dengan hanya menjadi bahasa agama dan hanya dipakai
dalam sarana keagamaan. Bani Saljuk yang menjadi pemerintahan saat itu
mengganti bahasa Arab menjadi bahasa Persia sebagai bahasa resmi negara Islam
di wilayah Timur. Begitupula kerajaan
Turki yang diprakarsai Mustafa Kamal At-Turk yang mengganti bahasa resmi Arab
menjadi bahasa Turki di semua bidang.
6. Masa bahasa arab di zaman baru/ moderen
Pada masa ini geliat perkembangan bahasa Arab muncul kembali
ditandai dengan adanya :
a Penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar di
sekolah-sekolah.
b Adanya upaya pelestarian budaya lama atau menghidupkan
kembali budaya lama dengan menggunkan kosakata asli dari bahasa fusha.
c Munculnya buku-buku percetakan dengan menggunakan bahasa
Arab, dan penerbitn ulang khazana buku klasik secara besar. Serta adanya
penerbitan buku dan kamus bahasa Arab. Ditambah lagi perkembangan surat kabar,
majalah dan sebagai macamnya yang menggunakan bahasa Arab.
Lalu untuk menjaga kemurnian
bahasa Arab fusha dan upaya pengembangan kebahasaan agar menjadi bahasa yang
dinamis dan bisa memahami perkembangan keilmuan dunia maka didirikan Majmal
Al-Lughah aAl-Arabiyah pada tahun 1934. Serta menghadirkan keilmuan pendidikan
bahasa Arab di universitas Al-Azhar Mesir.
Di wilayah lain pula bahasa Arab
sudah mulai dijadikan bahasa kedua, dipelajari dan dijadikan alat komunikasi.
Di Indonesia sendiri sudah banyak lembaga yang mencoba melestarikan bahasa Arab
dengan mendirikn lembaga pengajaran bahasa Arab atau fakultas-fakultas
pendidikan dan bahasa Arab serta lembaga pengembangan bahasa seperti yang ada
di Pare Jawa Timur, kampung bahasa. Belum lagi berbagai upaya pelestarian yang
dilakukan di wilayah lain baik Asia maupun Eropa.
Di masa modern, bahasa Arab kian berkembang dengan
menyerap bahasa Asing seperti bahasa Inggris, Perancis dll karena dominasi
bahasa tersebut ataupun diserap oleh bahasa lain. Hingga memunculkan istilah
At-Ta’rib, Ad-Dakhil dan sebagainya.Dewasa ini bahasa Arab sendiri sudah
digunakan oleh banyak negaradidunia termasuk Indonesia meskipun intensitas
penuturnya belum merata namun bahasa ini menduduki peringkat ke enam di dunia
sebagai bahasa yang paling banyak digunakan. Sekitar ada 25 negara yang
menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resminya. Begitupula, karena banyak
penutur,bahasa inidijadikan salah satu bahasa komunikasi di organisasi PBB
selain Inggris, China (mandarin), Perancis,Rusia dan Spanyol, sejak tahun 1974.[5]
Dalam Islam sendiri, sebagaimana disinggung diatas, bahwa
bahasa Arab sebagai bahasa dimana agama Islam lahir menjadi ciri khas atau
identitas khusus. Dikatakan khusus karena dalam hal pranata ibadah atau ritual,
bahasa Arab digunakan oleh umat Islam diseluruh penjuru dunia. Namun hal ini
bukan berarti bahwa Islam haruslah Arab. Akan tetapi, bahasa yang digunakan
dalam Al-Qur’an, kitab suci kaum muslimin menjadikanya identitas khusus terkait
bahasanya.
Sebagaimana Indonesia dengan bahasa kesatuan Indonesia
yang menyatukan seluruh bahasa atau dialek nusantara, bahasa yang menyatukan
ide, pikiran dan perasaan penduduk indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Maka
bahasa Arab pula oleh sebagian orang dijdikan identitas pemersatu karena
berlandaskan kebahasaan.Seperti halnya Liga Arab, organisasi yang terhimpun
dari berbagai negara Arab sebagai penutur bahasa Arab[6].
Islam sebagai agama yang lahir di wilayah Arab dan
menggunakan bahasa Arab berkembang ke segala penjuru wilayah. Islam sebagai
agama dan Arab sebagai wilayahnya sering disangkut pautkan dengan adanya model
arabisasi atau arabisme, dimana adanya pembingkaian bebrapa praktek ritual
ibadah yang bernuansa Arab atau pengaruh budaya Arab terhadap Islam. Ulil Absor
dan Muqsith misalnya menyebutkan bahwa Imam Syafii adalah seorang yang ikut
andil dalam melakukan arabisasi terhadap ajaran Islam. Arabisme sendiri sudah ada sejah permulaan
abad ke dua Hijriah.[7]Menurut mereka memang harus
dipisahkan antara Islam dan budaya Arab/arabisme, agar tidak terbentuk Islam
yang berwajah Arab.Dewasa ini perbincangan mengenai Arabisme semakin marak.
Islam bukanlah Arab atau Islam bukan berwajah Arab begitulah kata-kata yang
tertuang. Ada istilah yang mengungkapkan bahwa untuk menjadi Islam
tidak harus menjadi Arab. Hal ini berarti bahwa menjadi Islam
tidak berarti harus berbudaya Arab. Namun demikian apa yang
sudah dijadikan syariat haruslah tetap dijalankan.
Referensi :
Ahmad Mukhtar Amr, Al-Bahtsu
Al-Lugawi Inda Al-Arabi , (2010, Kairo :Alim Al-Kutub)
Ibnu Burdah, Bahasa Arab
Internasional, (2008,Yogyakarta: Tiara Wacana)
Philiph K. Hitti,
History OF The Arabs, Terjemahan(2002, Jakarta: SerambiIlmuSemesta)
http://akhmadrowi.blogspot.com/2014/04/pengaruh-peradaban-arab-terhadap_18.html
http://shofighter.tumblr.com/post/51710031769/bahasa-arab-di-dunia-internasional
[1]
http://marihanafiah.wordpress.com
[2]Lihat Ahmad
Mukhtar Amr, Al-Bahtsu Al-Lugawi Inda Al-Arabi , (2010, Kairo :Alim
Al-Kutub)17-50
[3]Ibid, , Al-Bahtsu
Al-Lugawi Inda Al-Arabi, hal 17
[4] Philiph K.
Hitti, History OF The Arabs, Terjemahan(2002, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta)
hal 270-271
[5]
http://shofighter.tumblr.com/post/51710031769/bahasa-arab-di-dunia-internasional
[6]Lihat
selengkapnya di Ibnu Burdah, Bahasa Arab Internasional, (2008,Yogyakarta: Tiara
Wacana) hal 87
[7]
http://akhmadrowi.blogspot.com/2014/04/pengaruh-peradaban-arab-terhadap_18.html
Monday, March 16, 2015
PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM
Oleh : Septian Saputro
Kajian terhadap
islam dan keislaman makin berkembang pesat. Dalam kajian islam terdahulu sudah
mulai banyak corak pola pikir yang berkembang. Pada masa daulah bani Abassiyah,
misalnya, setelah era penerjemahan, dan masuknya berbagaimacam keilmuan yang
berasal dari luar Islam, mulai bermunculan kelompok-kelompok yang berlandaskan
pada aspek teksual wahyu dan digunakanya rasionalitas dalam memahami wahyu.
Berbagai keilmuan mulai bermunculan begitupula para ulama dan intektual muslim.
Dalam Islam sendiri misalnya dikenal empat
Imam madzhab yang pemikiranya sangat berpengaruh di seluruh penjuru dunia.
Mereka dikenal empat imam madzhab fiqih, meskipun mereka memiliki keahlian
lain. Perkembangan intelektual muslim di era-era awal lebih cendrung kepada
keilmuan yang bersifat mengembangkan Al-qur’an dan hadis. Hasil-asil upaya
pemikiran tersebut dapat berupa produk tafsir, fiqh dan lain sebagainya.
Setelah islam
bersinggungan dengan daerah lain. Keilmuan Islam muali berkembang. Adanya
penggunaan rasionalitas disinyalir sebagai salah satu faktor perkembangan
pemikiran Islam. Tasawuf yang dianggap menjumudkan pemikiran karena menerima
segala hal sebagaimana mestinya, terlalu berpaku pada aspek tekstual sementara
Islam terus berinteraksi dengan budaya, sosial dari daera yang berbeda.
Diera modern
ini sudah banyak tokoh-tokoh yang berperan dalam pembaharuan pemikiran Islam.
Banyak dari mereka yang diterima dalam kalangan Islam dan wilayah mereka namun
diantara mereka ada pula yang mendapat pertentangan. Diantaranya adalah Nasir
Hamid Abu Zayd yang dikultuskan kafir oleh para ulama Mesir karena uangkapanya
bahwa Al-qur’an adalah produk dengan konsep hermeunetika al-Qur’an.
Lalu pemikiran
pembaharuan islam ahmad abid aljabiri misalnya, yakni bayani, burhani dan
irfani. Konsep double movement Fazlur Rahman dalam menaggapi problematika
keislaman. Lalu ada khaled abou el-fadl dengan rekonstruksi nalar Arab. Dan
lain sebagainya.
Hal ini
menandai berkembangnya pemikiran islam dan studi keislaman. Dengan dipetakanya
konsep, bayani, burhani dan irfani oleh Abid al-Jabiri atau konsep, ulumud din,
al-fikr al-islami dan dirasah Islamiyah oleh Prof. Amin Abdullah merupakan
salah satu perwujudan adanya pembaharuan dalam pemikiran Islam. Islam tidak
hanya melulu dikaji dalam aspek teologis saja melainkan aspek sosial, budaya,
kemasyarakatan dan aspek bkeberagaman dalam beberagamaan itu menjadi aspek
dalam kajian Islam.
Pembahasan
islam dan keislaman menjadi lebih luas karean bersinggungan dengan masyarakat.
Berbagai pendekatan pun bermunculan dan digunakan oleh sebagian intelektual
muslim. Semisal hermeunetik, historis, sosiologi, antropologi dan
sebagaimacamnya. Disinilah pentingnya
pembaharuan pemikiran islam, agar Islam tidak jumud hanya terpaku pada aspek
teologis saja dengan mengesampingkan aspek-aspek lain, seperti historis, sosial
dan budaya.
Dalam pemetaan
pemikiran Islam, disini penulis memetkan varian pemikiran Islam menjadi:
Pemikiran Islam
dalam perspektif teologis dimana varian pemikiran ini dimotifasi untuk
memajukan Islam, mengembangkan keilmuan Islam dengan dalil-dalin Al-Qur’an,
Hadis. Dalil Al-Qur’an dan hadis menjadi pokok utama. Lalu pemikiran islam yang
rasional, dimana pemikiran ini mengutamakan akal sebagai alat berfikir,
menentukan sesuatu, baik buruknya dengan akal. Dan wahyu ada pada posisi kedua.
Varian ketiga adalah pemikiran islam yang menelaah islam dengan
pendekatan-pendekatan modern diantaranya sosiologi, antropologi, sejarah dan
lain-lain. Dan pemikiran Islam yang varianya bersumber dari intuisi, pengalaman
pribadi seseorang.
REVIEW PENDEKATAN DALAM STUDI TEKS HERMEUNETIKA HADIS GENDER (TELAAH PEMIKIRAN KHALED ABOE EL FADL DALAM KITAB SPEAKING IN GOD’S NAME : ISLAMIC LAW, AUTHORITY AND WOMAN) OLEH : ABDUL MAJID
REVIEW PENDEKATAN DALAM STUDI TEKS
Septian Saputro (1420510025)
HERMEUNETIKA HADIS GENDER
(TELAAH PEMIKIRAN
KHALED ABOE EL FADL DALAM KITAB SPEAKING
IN GOD’S NAME : ISLAMIC LAW, AUTHORITY AND WOMAN)
OLEH : ABDUL MAJID
Jurnal Al-Ulum V 13 No 2 Desember 2013 Hal 293-320
Dalam kajian ini objek materialnya adalah fatwa CRLO yang berangkat
dari teks hadis gender, sementara objek formal yang digunakan adalah
hermeunetika khaled aboe el fadl.
Telaah ini lahir setelah beliau merasa ada hal yang tidak pas pada keputusan-keputusan
atau fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh CRLO (Council for Scientific Research
and Legal Opinion) yang dalam pandanganya sebagai tindakan yang merendahkan
Wanita misalnya : larangan wanita untuk mengemudi mobil sendiri, larangan
wanita untuk memimpin sebuah negara dan lain-lain.
Ada tiga hal yang diperhatikan dalam hermeunetika Khaled Aboe El
Fadl yakni : penulis/pengarang, teks (dalam hal ini berupa hadis) dan pembaca.
Sebagai contoh hadis yang diriwayatkan nufay bin harits atau yang
dikenal dengan Abu Bakrah al-Tsaqafi. (sejumla ulama memandang hadis tersebut
autentik termsuk Imam Bukhari)
“Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada
perempuan”
Pada tahap awal Aboe Fadl meneliti tentang kepengarangan hadis ini
yakni apakah bersumber dari Rosul atau si periwayat Abu Bakrah. Dalam
penelusuranya beliau mendapatkan bahwa:
1. Abu Bakrah baru masuk Islam di akhir-akhir kehidupan Nabi
.
2. Abu Bakrah sebagai penyebar fitnah dan Umar bin Khatab menolak
kesaksianya dalam kasus-kasus hukum. Ia menuduh Mughirah bin Syu’bah –gubernur
Basrah pada masa Umar- dimana ia sering mengunjungi wanita yang sudah bersuami
Ummi Jmil bint Amr. Abu Bakrah bersama saudara tirinya menyaksikan mereka dalam
keadaan tidak berpakaian dan terlibat aktifitas seksual.
3. memutuskan hubungan silaturahmi, contoh kepada Ziyah saudara
tirinya. Ia tak berbicara sepanjang hidupnya dan berwasiat agar saudaranya itu
dilarang mensolati jenazahnya kala ia meninggal. Begitupula ia memutuskan
silaturahmi pada anak-anaknya yang menerima jabatan politik dari pemerintah
muawiyah.
Dari hal tersebut diatas. Menurut Aboe Fadl bahwa cukuplah menjadi
alasan untuk menolak hadis ini, karena tidak terpenuhinya unsur “adalah pada
Abu Bakrah dan ia diragukan oleh sahabt nbi Umar bin Khatab.
Dalam kaitanya dengan teks hadis dimana da proses panjang mengenai
pembukuan hadis walaupun terbukti otentitasnya namun kebenarn hadisnya perlu
ditinjau ulang. Pada proses kepengarangan selanjutnya kemudian berubah menjadi
sederet nama periwayat. Aboe Fadl melihat beberapa al yang akan muncul:
1. Pemalsuan
2. Daya ingat perawi
3. Subjektifitas dalam menerima dan memahami hadis. Dimana mereka
tidak meposisikan nabi dalam kerangka objektif. Mereka berinteraksi dalam
kerangka subjektif dan subjektifitas ini mempengaruhi apa yang mereka lihat dan
dengar. Hal ini memungkinkan terjadinya distorsi makna.
Aboe Fadl menduga bahwa Abu Bakrah keliru dalam mendenagrkan hadis tersebut.
Bisa jadi nabi berkomentar tentang situasi yang berkembang di Persia dengan
mengatakan “orang-orang yang dipimpin oleh perempuan ini tidak akan
sukses” lalu pernyataan ini ditngkap
oleh Abu Bakrah melalui subjektifitasnya.
Dari hal diatas Aboe Fadl Menawarkan konsep Proposionalitas
dan penolakan berbasis iman. Proposionalitas adalah
keterpercayaan kita terhadap sebuah riwayat harus dihubungkan terhadap dampak
hukum, teologis, sosial dan moral yang ditimbulkan. Sementara penolakan
berbasis iman adalah ketidak setujuan terhadap hadis tertentu yang meskipun
otentik (shahih tetapi ahad) namun
memiliki dampak teologis, sosial, hukum dan moral yang sangat serius.
Hadis tersebut merupakan salah satu contoh yang diberikan Aboe Fadl
dimana dalam analisis hermeunetikanya (hermeunetika dialektika) melibatkan tiga
unsur yakni pengarang (dalam hal ini periwayat) lalu teks (hadis) dan pembaca.
Ketiganya harus bersifat dialektis.
METODE PENELITIAN KUALITATIF
Oleh : Septian Saputro
Pengantar
Metode
Kualitatif= metode baru karena popularitasnya belum lama.
Metode
Kualitatif= metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat
positifistivisme. Metode Kualitatif= metode artistik karena proses penelitian
lebih bersifat seni (kurang berpola).
Metode
Kualitatif= metode interpretative karena data yang dihasilkan berkenaan dengan
penafsiran terhadap data yang ditemukan di lapangan.
Metode
Kualitatif = metode penelitian naturalistik karena penelitian dilakukan dalam
kondisi yang alamiah (natural setting).
Metode
Kualitatif = metode etnografi karena kebanyakan digunakan pada penelitian
bidang antropologi budaya.
Filsafat
postposifistik disebut juga paradigma interpretif dan konstruktif, yang
memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik/utuh, kompleks,
dinamis, penuh makna dan hubungan gejala yang bersifat interaktif.
Langkah-langkah
penelitian:
v Identifikasi masalah
Masalah dan Rumusan Masalah
Fokus penelitian
v Teori Dalam
Penelitian Kualitatif
v Populasi dan
Sampel
v Instrumen
Penelitian
Human Instrumen (peneliti itu sendiri)
v Teknik
Pengumpulan Data
Natural Setting
Sumber Data Primer
Observasi
Wawancara
Dokumentasi
Triangulasi
v Analisis Data
v Penyusunan
Hasil Penelitian
A. Identifikasi
Masalah
Masalah pada penelitian kualitatif
berbeda dengan kuantitatif. Pada kuantitatif,
masalah yang akan dipecahkan melalui penelitian harus jelas, spesifik
dan dianggap tidak berubah. Sementara dalam kualitatif, masalah yang dibawa
oleh peneliti masih remang-remang bahkan komplek dan dinamis, jadi masalah
dalam kualitatif masih bersifat sementara, dan bisa berubah saat peneliti
berada dilapangan.
Masalah dan Rumusan Masalah
Masalah
adalah : penyimpangan antara yang seharusnya dengan yang terjadi. Sementara
rumusan masalah adalah : pertanyaan penelitian yang disusun berdasarkan masalah
yang harus dicarikan jawabanya melalui
pengumpulan data.
Fokus Penelitian
Kuantitatif
– gejala bersifat tunggal dan parsial. Sementara kualitatif- gejala bersifat
holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisah), keseluruhan situasi sosial
yang diteliti meliputi : place, actor, activity yang berinteraksi secara
sinergis.
B
Teori Dalam Penelitian Kualitatif
Pada
Kaitanya dengan teori, pada penelitian kuantitatif bersifat menguji hipotesis
atau teori, sedangkan pada kualitatif bersifat menemukan teori. Dalam
kualitatif akan lebih profesional jika peneliti menguasai semua teori, teori
bagi peneliti kualitatif akan berfungsi sebagai bekal untuk dapat memahami
konteks sosial secara lebih luas dan mendalam. Dalam kualitatif menggunkan
“perspektif emik” artinya memperoleh data buakan bagaimana seharusnya, bukan
berdasarkan apa yang dipikirkan peneliti, tetapi berdasarkan sebagaimana adanya
yang terjadi di lapangan, yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan oleh
partisipan/ sumber dat/masyarakat yang diteliti.
C.
Populasi dan Sampel
Dalam
istilah kuantitatif, populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang
terdiri atas; objek atau subjek yang mempuanyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik
kesimpulanya, lalu sampel adalah sebagian dari populasi itu.
Dalam
kualitatif dikenal dengan istilah social situation/ situasi sosial yang terdiri
dari tempat, pelaku dan aktifitas. Sampel pada penelitian kualitatif tidak
dinamakan responden, tetapi sebagai nara sumber, partisipan, informan, teman
dan guru dalam penelitian.
D.
Instrumen Penelitian
Pada
kualitatif, instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri atau
disebut human instrument. Peneliti kualitatif sebagai human instrument,
berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data,
melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsirkan data dan membuat
kesimpulan atas temuanya.
Ada
istilah “ the researcher is the key instrument” peneliti merupakan
instrumen kunci/utama dalam penelitian kualitatif.
Setelah
penelitian sudah tampak jelas maka dibantu isntrumen lain yang bisa berupa,
buku catatan, tape recorder, kamera dll
E.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data secara umum:
Bila
dilihat dari Settingnya, maka data dapat dikumpulkan pada setting alamiah
(natural setting), pada laboratorium dengan metode eksperimen, di rumah dengan
berbgai responden, pada seminar, diskusi dll.
Bila
dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber
primer dan sumber sekunder.
Bila
dilihat dari segi cara atau teknik pengumpulan data, maka pengumpulan data
dapat dilakukan dengan observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner
(angket), dokumentasi dan gabungan.
Pada
penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting, sumber
data primer, dan pada teknik lebih banyak menggunakan observasi, wawancara dan
dokumentasi.
F.
Analisis Data
Analisis
data dilakukan semenjak awal penelitian. Sifat analisis kualitatif adalah
induktif.
G.
Menyusun Laporan hasil Penelitian
Hasil
penelitian kualitatif berupa data-data kualitatif, deskripsi dengan kata-kata.
Sumber
:
Prof.
DR. Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, 2011,
Bandung: Alfabeta.
Subscribe to:
Posts (Atom)