Translate

Sunday, March 22, 2015

MEMORI FLASHDISK HILANG-TERPANGKAS-BERKURANG, SPACE FULL??




Kenapa ini??  Flasdisk space kosong 14,3GB,  namun hanya bisa dipakai 2,5 GB

Pernah mengalami hal serupa, dimana flasdisk yang kita miliki dengan kapasitas yang besar namun hanya bisa memuat sebagian file saja space full atau sederhananya  memori kapasitas memori terpangkas. Inilah yang saya alami. Sekedar berbagi atau sharing kepada teman-teman yang mungkin bingung karena mnegalami hal serupa.

Pengalaman terjadi pada flash Tos**** 16 GB dengan kapasitas 14, 3 GB. Sebelumnya, saya mengcopy file film dengan total memori 12 GB lebih, namun yang terjadi setelahnya, ketika saya ingin mengcopy file lain yang besarnya hanya 4 GB,  yang terjadi adalah flashdisk saya tidak bisa mengcovernya dengan alasan space full, space kurang padahal flasdisk dalam keadaan kosong space 14 gb. Pastinya rasa heran muncul, ada apa dengan flashdis kini, upaya format sudah saya lakukan hingga tiga kali namun tidak ada perubahan. Beruntung banyak rekan-rekan bloger yang sudi dan ikhlas membagi pengalaman mereka mengenai masalah ini.

Usb Format (download disini) bisa membantu saya memecahkan masalah ini. Dalam format flashdik tertulis FAT32. Beberpa blog yang membicarakan masalah ini, menyarankan untuk mengembalikan memori yang hilang dengan cukup merubah file system ke FAT32 lalu format. Namun kasus saya adalah file system  flashdisk yang bermasalah sudah FAT32. Setelah saya format tetap saja tidak bisa. Namun tak ada salahnya merubah ke file system  NTFS lalu format. Setelah itu alhamdulillah flashdisk kembali normal free space 14,3 GB dan semuanya bisa digunakan.

Cara mengunakan usb format pun tidak begitu sulit, cukup :

Downloadfile usb format, extrak file. Klik dua kali usb format. Exe
Lalu ganti file system ke FAT32 atau NTFS  dan format. 
Semoga masalah anda  bisa langsung teratasi. Tulisan ini dibuat berdasarkan penglaman dan semoga bisa membantu teman-teman.

By: Septian Saputro

Cantaka Parwa : septiannhw.blogspot.com

Tuesday, March 17, 2015

( ANTROPOLOGI SIMBOLIK CLIFFORD GEERTZ) Pendekatan Dalam Studi Islam


Model Pendidikan Tinggi Islam Klasik


GENEOLOGI TRADISI KEILMUAN ISLAM


KHILAFAH DAN ULAMA DALAM PEMERINTAHAN


SEJARAH PERADABAN ISLAM
Oleh: Septian Saputro 

KHILAFAH DAN ULAMA DALAM PEMERINTAHAN

Kata khilafah, begitu kita membacanya ataupun mendengarnya maka secara langsung kata ini mengacu pada sebuah sistem dalam pemerintahan politik yang identik dengan sebuah agama yaitu Islam. Berbicara mengenai khilafah ada hal yang sangat berkaitan satu dengan lainya seperti sebuah mata uang yakni antara agama Islam dan sebuah negara. Sistem khilafah merupakan termasuk sebuah sistem pemerintahan religius dimana pelaksanaan dan penyelenggaraannya berlandaskan pada syariat islam[1].

Kata khilafah sendiri secara bahasa diambil dari kata kerja khalafa yang berarti mengganti atau memberi ganti, sementara kata khilafah bermakna an-niyabatu an al-gahairi atu pergntian[2]. Kata ini di gunakan sebab sepeninggal nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat atau kepala pemerintahan islam pada saat itu akan dicarikan penggantinya yang dalam islam disebut khalifah (pengganti). Secara istilah, khilafah memiliki arti sebagai:

Menurut Ginai: Khilafah adalah lembaga pemerintahan Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah[3].

Secara umum bisa dikatakan bahwa khilafah sudah berlangsung sejak masa setelah Rosul wafat. Ira Lapidus dalam Sejarah Sosial Ummat Islam menggolongkan sistem khilafah pada beberapa fase yakni : fase Rsyidun, fase dinasti Umayya, Fase awal Imperium Abasiyyah dan Fase Kemunduran Imperium Abasiyyah[4].

Muncul pertanyaan, jadi seperti apa sistem khilafah itu dimasa Rosul, Khulafa Rosyidin dan masa setelahnya, lalu disebut apakah negara yang dalam praktiknya memiliki dasar -dasar syariat islam atau bisa dibilang berjalan sesuai nilai-nilai yang islami sementara sistem pemerintahanya di luar khilafah?

Rasanya agak sulit menjawab pertanyaan itu karena banyak terjadi perdebatan mengenai praksis khilafah dilapangan dikarenakan tidak ada wujud pasti bagaimana bentuk khilafah islamiyah yang pada dewasa ini digembor-gemborkan oleh sebagian kelompok. Mereka mencoba merujuk pada sistem pemerintahan dimasa khulafa ar-rasyidin, menyebut pemimpin sebagai khalifah lalu merujuk pada masa-masa dinasti Umayah dan Abasiyah dan lain sebagainya. Namun yang sebenarnya adalah menurut Muhammad Husein Haikal bahwa sistem pemerintahan pada masa Khulafa rasyidin serupa dengan sistem republik dalam konsep politik modern[5] , namun dalam menjalankan pemerintahan tetap berlandaskan pada syariat islam. Sementara itu sistem pemerintahan islam pada masa selanjutnya, yakni masa daulah bani Umayyah dan Abasiyah sampai Turki Utsmani menganut sistem kerajaan atau monarki. Begitupula halnya yang tercatat dalam History of the Arabs karya Philip K Hitti dimana ia menyatakan bahwa masa kekhalifahan Abu Bakr hingga Ali dapat disebut sebagai pemerintahan kekhalifahan republik[6].

Dari hal ini saya memandang bahwa yang harus dijalankan atau dituntut dalam sebuah pemerintahan dalam hal ini islam adalah adanya penyelenggaraan nilai-nilai keislaman dan dijalankanya syariat islam  adapun bentuk ataupun model dalam kelangsungan pemerintahan itu sebagaimana yang disepakati dan dipilih oleh penduduknya. Bentuk khilafah yang ada pada masa sahabat adalah berbentuk republik yang diselenggaarakan dengan nilai-nilai Islam dan bentuk khilafah pada masa Umayyah, Abasiyyah hingga Turki Utsmani adalah berbentuk monarki atau kerajaan yang juga diselenggarakan dengan nilai-nilai islam.

Dalam sejarah Islam sendiri Nabi Muhammad pada masanya bukan hanya dipandang sebagai toko sentral agama melainkan juga sebagai pemimpin dalam peperangan, politik dan kepala pemerintahan. Begitu seterusnya hingga pada masa sahabat. Keadaan yang demikian karena peran mereka memang masih tampak, dimana sahabt merupakan orang-orang yang dekat dengan Rosul dalam artian mereka belajar Islam langsung dari Rosul hingga pengalaman kegamaan mereka, keilmuan mereka bisa dibilang mumpuni.

Dalam perjalanan selanjutnya, dimasa-masa dinasti yang bercorak monarki ataupun kerajaan -baik di wilayah Timur Tengah maupun wilayah kerajaan Islam Nusantara- mulai tampak pembagian tugas dalam pemerintahan. Dalam hal kegamaan atau fatwa agama disini ada peran tersendiri bagi tokoh yang memiliki pengetahuan agama yang luas yakni ulama atau disebut juga kadi. Ada banyak pengertian yang diberikan para pemikir muslim mengenai istilah ulama, disini saya mengutip pendapat Syeikh Nawawi al-Bantani yang saya rasa cuku mewakili peran ulama dalam pemerintahan.

Ulama adalah orang-orang yang menguasai segala hukum syara’ untuk menetapkan syahnya agama, baik penetapan sah i’tiqad maupun amal syariat lainya.[7]

Sementara ada pengetian lain yang akan saya cantumkan sebagai pembanding yang dalam hal ini lebih mengarah kepada kriteria ulama.

            Imam Mujtahid: Ulama adalah orang yang hanya takut kepada Allah SWT.
Asan Basri : Ulama adalah orang yang hanya takut kepada Allah disebabkan perkara ghaib, suka kepada setiap sesuatu yang disukai Allah dan menolak segala sesuatu yang dimurkaiNya[8].

Adanya lembaga kadi membuat fungsi dan peran ulama menjadi begitu penting  dalam sebuah sistem pemerintahan. Melalui lembaga ini hukum dan syariat Islam dirumuskan dan dijadikanya sebuah fatwa hingga peran ulama menjadi sangat penting dalam menentukan kehidupan kegamaan umat Islam pada wilayah tertentu[9].

Sumber:
Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir (Surabaya: Pustaka Progressife) 361-363
Ajat Sudrajat, , Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY. PDF Khilafah Islamiyah Dalam Perspektif Sejarah
Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid satu dan dua terjemahan 1999  (Jakarta: Rajawali Press)
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, 2012 (Bandung: Mizan)
K.H Drs. Badruddin Hsubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman,1995 (Jakarta: Gema Insani Press)
Philiph K. Hitti, History Of The Arabs, terjemahan 2008 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta)



[1] Ajat Sudrajat, Khilafah Islamiyah Dalam Perspektif Sejarah, Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY. PDF 1
[2] Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir (Surabaya: Pustaka Progressife) 361-363
[3] Ajat Sudrajat, Khilafah Islamiyah Dalam Perspektif Sejarah, Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY. PDF hal 3
[4] Ira Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Jilid satu dan dua terjemahan 1999  (Jakarta: Rajawali Press)Hal 81
[5] Ajat Sudrajat, Khilafah Islamiyah Dalam Perspektif Sejarah, Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY. PDF hal 5
[6] Philiph K. Hitti, History Of The Arabs, terjemahan 2008 (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta) Hal 229
[7] K.H Drs. Badruddin Hsubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman,1995 (Jakarta: Gema Insani Press) hal 46
[8] Ibid, hal 45
[9] Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, 2012 (Bandung: Mizan) hal 37

SEJARAH PERADABAN ISLAM (BAHASA ARAB, ISLAMISASI DAN ARABISME)

PAPER

Oleh :SeptianSaputro (1420510025)
BAHASA ARAB, ISLAMISASI  DAN ARABISME
Bahasa Arab adalah bahasa yang bisa dibilang berkembang dengan pesat.Salah satu faktor utamanya adalah karena pengaruh agama yakni agama Islam. Hubungan antara Islam dan Arab khususnya bahasa Arab saling berkaitan satu sama lain ditilik dari akar sejarahnya. Agama Islam yang dibawa nabi besar Muhammah SAW lahir di tanah dan wilayah Arab yang notabenenya para penduduk berkomunikasi dengan bahasa Arab, begitupula kitab suci yang diwahyukan kepada beliau yang mana menggunakan bahasa Arab, bahasa Nabi dan kaumnya, bahasa dimana wahyu Al-qur’an diturunkan. Semua itu ada faedahnya.

Bahasa Arab sendiri menurut para ulama bahasa merupakan rumpun bahasa semit, dan diantara bahasa semit yang ada terdahulu, bahasa Arab lah yang berkembang karena berbagai macam faktor. Disini penulis mendapatkan referensi (referensi internet) terkait fase penyebaran bahasa Arab yang terdiri dari enam fase[1]:

1. Masa Jahiliyah

Pada masa ini dikatakan sudah mulai tampak adanya benih-benih bahasa Arab fusha atau yang bersifat formal. Hal ini diperkuat dengan adanya kegiatan-kegiatan yang menyangkut perihal kebahasaan yakni adanya semacam kegiatan adu syair dikalangan bangsa Arab yang saat itu biasanya di adakan di wilayah ramai seperti pasar Ukaz, Majanah, dan zul majah. Kegiatan ini membawa dampak positif terhadap bahasa Arab yakni dikenalnya bahasa Arab secara luas dengan benih-benih standarisasi Arab fusha. Karena menurut sebagian ulama, syair adalah salah satu sumber kebahasaan bahasa Arab. Termasuk Al-qur’an sebagai sumber teratas lalu bacaan Qur’an, Hadis nabi, syair dan prosa.[2]

2.Masa Shadru Islam

Pada masa ini tak terlepas dengan adanya pengaruh Islam terhadap perkembangan bahasa Arab. Islam sebagai agama dengan kitab suci Al-Qur’an yang berbahasa Arab yang indah menjadi salah satu rujukan kebahasaan Arab fusha. Al-Qur’an dianggap  memiliki tingkat kebahasaan fusha yang paling tinggi dan menjadi contoh terbaik dalam bahasa kesastraan[3].

3.Masa bani Ummayah

Dalam masa ini, terjadi percampurn antara bangsa Arab dengn penduduk pribumi karena ekpansi Islam ke berbagai wilayah baik wilayah Asia Tengah, India dan Eropa. Saat Islam berhasil menduduki wilyah tersebut, Islam sebagai agama berkembang, menyebar dan dipeluk sebagai agama sebagian pribumu yang mengakibatkan bahasa Arab pun dipelajari sebagai bahasa ibadah agama dan bahasa pergaulan.

Pada masa ini terjadi Arabisasi yang diprakarsai Abd al-Malik dan Al-walid terhadap bahasa administrasi publik. Semisalnya di Damascus dimana terjadi perubahan bahasa administrasi dari Yunani ke bahasa Arab dan di Irak provinsi bagian timur dari bahasa Persia ke bahasa Arab serta adanya penerbitan uang logam Arab[4].

4. Masa bani Abasiyah

Pada masa ini pemerintahan Abasiyah memiliki motivasi tersendiri terhadap kelangsungan kejayaan Abasiyah yakni menggantungkan pemerintahan kepada agama Islam dan bahasa Arab. Islam sebagai agama dilestarikan denan kegiatan-kegiatan keagamaan sepeti kajian l-Qur’an terhadapap ilmu agama maupun ilmu lainya. Pada masa inilah berkembang aliran-aliran atau sekte-sekte pemikiran Islam serta masa dimana kemajuan ilmiah dan sastra berkembang. Bahasa Arab sendiri masih dipertaankan kemurnianya dan diwajibkan bagiputra-putri bani Abas untuk dikuasai. Bahasa Arab disini meluas karena sudah dipakai dalam urusan administrasi, penulisan-penuliasn buku.

5.Masa ke lima

Atau saya sebut dengan masa peralihan, dimana bahasa Arab yang dahulunya dipakai sebagai bahasa resmi, bahasa administrasi dan bahasa politik pemerinthan sudah beralih dengan hanya menjadi bahasa agama dan hanya dipakai dalam sarana keagamaan. Bani Saljuk yang menjadi pemerintahan saat itu mengganti bahasa Arab menjadi bahasa Persia sebagai bahasa resmi negara Islam di wilayah Timur. Begitupula  kerajaan Turki yang diprakarsai Mustafa Kamal At-Turk yang mengganti bahasa resmi Arab menjadi bahasa Turki di semua bidang.

6. Masa bahasa arab di zaman baru/ moderen

Pada masa ini geliat perkembangan bahasa Arab muncul kembali ditandai dengan adanya :
a        Penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah.

b      Adanya upaya pelestarian budaya lama atau menghidupkan kembali budaya lama dengan menggunkan kosakata asli dari bahasa fusha.

c     Munculnya buku-buku percetakan dengan menggunakan bahasa Arab, dan penerbitn ulang khazana buku klasik secara besar. Serta adanya penerbitan buku dan kamus bahasa Arab. Ditambah lagi perkembangan surat kabar, majalah dan sebagai macamnya yang menggunakan bahasa Arab.
Lalu untuk menjaga kemurnian bahasa Arab fusha dan upaya pengembangan kebahasaan agar menjadi bahasa yang dinamis dan bisa memahami perkembangan keilmuan dunia maka didirikan Majmal Al-Lughah aAl-Arabiyah pada tahun 1934. Serta menghadirkan keilmuan pendidikan bahasa Arab di universitas Al-Azhar Mesir.

Di wilayah lain pula bahasa Arab sudah mulai dijadikan bahasa kedua, dipelajari dan dijadikan alat komunikasi. Di Indonesia sendiri sudah banyak lembaga yang mencoba melestarikan bahasa Arab dengan mendirikn lembaga pengajaran bahasa Arab atau fakultas-fakultas pendidikan dan bahasa Arab serta lembaga pengembangan bahasa seperti yang ada di Pare Jawa Timur, kampung bahasa. Belum lagi berbagai upaya pelestarian yang dilakukan di wilayah lain baik Asia maupun Eropa.

Di masa modern, bahasa Arab kian berkembang dengan menyerap bahasa Asing seperti bahasa Inggris, Perancis dll karena dominasi bahasa tersebut ataupun diserap oleh bahasa lain. Hingga memunculkan istilah At-Ta’rib, Ad-Dakhil dan sebagainya.Dewasa ini bahasa Arab sendiri sudah digunakan oleh banyak negaradidunia termasuk Indonesia meskipun intensitas penuturnya belum merata namun bahasa ini menduduki peringkat ke enam di dunia sebagai bahasa yang paling banyak digunakan. Sekitar ada 25 negara yang menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resminya. Begitupula, karena banyak penutur,bahasa inidijadikan salah satu bahasa komunikasi di organisasi PBB selain Inggris, China (mandarin), Perancis,Rusia dan Spanyol, sejak tahun 1974.[5]

Dalam Islam sendiri, sebagaimana disinggung diatas, bahwa bahasa Arab sebagai bahasa dimana agama Islam lahir menjadi ciri khas atau identitas khusus. Dikatakan khusus karena dalam hal pranata ibadah atau ritual, bahasa Arab digunakan oleh umat Islam diseluruh penjuru dunia. Namun hal ini bukan berarti bahwa Islam haruslah Arab. Akan tetapi, bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an, kitab suci kaum muslimin menjadikanya identitas khusus terkait bahasanya.

Sebagaimana Indonesia dengan bahasa kesatuan Indonesia yang menyatukan seluruh bahasa atau dialek nusantara, bahasa yang menyatukan ide, pikiran dan perasaan penduduk indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Maka bahasa Arab pula oleh sebagian orang dijdikan identitas pemersatu karena berlandaskan kebahasaan.Seperti halnya Liga Arab, organisasi yang terhimpun dari berbagai negara Arab sebagai penutur bahasa Arab[6].

Islam sebagai agama yang lahir di wilayah Arab dan menggunakan bahasa Arab berkembang ke segala penjuru wilayah. Islam sebagai agama dan Arab sebagai wilayahnya sering disangkut pautkan dengan adanya model arabisasi atau arabisme, dimana adanya pembingkaian bebrapa praktek ritual ibadah yang bernuansa Arab atau pengaruh budaya Arab terhadap Islam. Ulil Absor dan Muqsith misalnya menyebutkan bahwa Imam Syafii adalah seorang yang ikut andil dalam melakukan arabisasi terhadap ajaran Islam.  Arabisme sendiri sudah ada sejah permulaan abad ke dua Hijriah.[7]Menurut mereka memang harus dipisahkan antara Islam dan budaya Arab/arabisme, agar tidak terbentuk Islam yang berwajah Arab.Dewasa ini perbincangan mengenai Arabisme semakin marak. Islam bukanlah Arab atau Islam bukan berwajah Arab begitulah kata-kata yang tertuang. Ada istilah yang mengungkapkan bahwa untuk menjadi Islam tidak harus menjadi Arab. Hal ini berarti bahwa menjadi Islam tidak berarti harus berbudaya Arab. Namun demikian apa yang sudah dijadikan syariat haruslah tetap dijalankan.




Referensi :
Ahmad Mukhtar Amr, Al-Bahtsu Al-Lugawi Inda Al-Arabi , (2010, Kairo :Alim Al-Kutub)
Ibnu Burdah, Bahasa Arab Internasional, (2008,Yogyakarta: Tiara Wacana)

Philiph K. Hitti, History OF The Arabs, Terjemahan(2002, Jakarta: SerambiIlmuSemesta)

http://akhmadrowi.blogspot.com/2014/04/pengaruh-peradaban-arab-terhadap_18.html

http://shofighter.tumblr.com/post/51710031769/bahasa-arab-di-dunia-internasional

http://marihanafiah.wordpress.com




[1] http://marihanafiah.wordpress.com
[2]Lihat Ahmad Mukhtar Amr, Al-Bahtsu Al-Lugawi Inda Al-Arabi , (2010, Kairo :Alim Al-Kutub)17-50
[3]Ibid, , Al-Bahtsu Al-Lugawi Inda Al-Arabi, hal 17
[4] Philiph K. Hitti, History OF The Arabs, Terjemahan(2002, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta) hal 270-271
[5] http://shofighter.tumblr.com/post/51710031769/bahasa-arab-di-dunia-internasional
[6]Lihat selengkapnya di Ibnu Burdah, Bahasa Arab Internasional, (2008,Yogyakarta: Tiara Wacana) hal 87
[7] http://akhmadrowi.blogspot.com/2014/04/pengaruh-peradaban-arab-terhadap_18.html

Monday, March 16, 2015

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM


Oleh : Septian Saputro

Kajian terhadap islam dan keislaman makin berkembang pesat. Dalam kajian islam terdahulu sudah mulai banyak corak pola pikir yang berkembang. Pada masa daulah bani Abassiyah, misalnya, setelah era penerjemahan, dan masuknya berbagaimacam keilmuan yang berasal dari luar Islam, mulai bermunculan kelompok-kelompok yang berlandaskan pada aspek teksual wahyu dan digunakanya rasionalitas dalam memahami wahyu. Berbagai keilmuan mulai bermunculan begitupula para ulama dan intektual muslim.

 Dalam Islam sendiri misalnya dikenal empat Imam madzhab yang pemikiranya sangat berpengaruh di seluruh penjuru dunia. Mereka dikenal empat imam madzhab fiqih, meskipun mereka memiliki keahlian lain. Perkembangan intelektual muslim di era-era awal lebih cendrung kepada keilmuan yang bersifat mengembangkan Al-qur’an dan hadis. Hasil-asil upaya pemikiran tersebut dapat berupa produk tafsir, fiqh dan lain sebagainya.

Setelah islam bersinggungan dengan daerah lain. Keilmuan Islam muali berkembang. Adanya penggunaan rasionalitas disinyalir sebagai salah satu faktor perkembangan pemikiran Islam. Tasawuf yang dianggap menjumudkan pemikiran karena menerima segala hal sebagaimana mestinya, terlalu berpaku pada aspek tekstual sementara Islam terus berinteraksi dengan budaya, sosial dari daera yang berbeda.

Diera modern ini sudah banyak tokoh-tokoh yang berperan dalam pembaharuan pemikiran Islam. Banyak dari mereka yang diterima dalam kalangan Islam dan wilayah mereka namun diantara mereka ada pula yang mendapat pertentangan. Diantaranya adalah Nasir Hamid Abu Zayd yang dikultuskan kafir oleh para ulama Mesir karena uangkapanya bahwa Al-qur’an adalah produk dengan konsep hermeunetika al-Qur’an.

Lalu pemikiran pembaharuan islam ahmad abid aljabiri misalnya, yakni bayani, burhani dan irfani. Konsep double movement Fazlur Rahman dalam menaggapi problematika keislaman. Lalu ada khaled abou el-fadl dengan rekonstruksi nalar Arab. Dan lain sebagainya.

Hal ini menandai berkembangnya pemikiran islam dan studi keislaman. Dengan dipetakanya konsep, bayani, burhani dan irfani oleh Abid al-Jabiri atau konsep, ulumud din, al-fikr al-islami dan dirasah Islamiyah oleh Prof. Amin Abdullah merupakan salah satu perwujudan adanya pembaharuan dalam pemikiran Islam. Islam tidak hanya melulu dikaji dalam aspek teologis saja melainkan aspek sosial, budaya, kemasyarakatan dan aspek bkeberagaman dalam beberagamaan itu menjadi aspek dalam kajian Islam.

Pembahasan islam dan keislaman menjadi lebih luas karean bersinggungan dengan masyarakat. Berbagai pendekatan pun bermunculan dan digunakan oleh sebagian intelektual muslim. Semisal hermeunetik, historis, sosiologi, antropologi dan sebagaimacamnya.  Disinilah pentingnya pembaharuan pemikiran islam, agar Islam tidak jumud hanya terpaku pada aspek teologis saja dengan mengesampingkan aspek-aspek lain, seperti historis, sosial dan budaya.

Dalam pemetaan pemikiran Islam, disini penulis memetkan varian pemikiran Islam menjadi:


Pemikiran Islam dalam perspektif teologis dimana varian pemikiran ini dimotifasi untuk memajukan Islam, mengembangkan keilmuan Islam dengan dalil-dalin Al-Qur’an, Hadis. Dalil Al-Qur’an dan hadis menjadi pokok utama. Lalu pemikiran islam yang rasional, dimana pemikiran ini mengutamakan akal sebagai alat berfikir, menentukan sesuatu, baik buruknya dengan akal. Dan wahyu ada pada posisi kedua. Varian ketiga adalah pemikiran islam yang menelaah islam dengan pendekatan-pendekatan modern diantaranya sosiologi, antropologi, sejarah dan lain-lain. Dan pemikiran Islam yang varianya bersumber dari intuisi, pengalaman pribadi seseorang.

REVIEW PENDEKATAN DALAM STUDI TEKS HERMEUNETIKA HADIS GENDER (TELAAH PEMIKIRAN KHALED ABOE EL FADL DALAM KITAB SPEAKING IN GOD’S NAME : ISLAMIC LAW, AUTHORITY AND WOMAN) OLEH : ABDUL MAJID

REVIEW PENDEKATAN DALAM STUDI TEKS
Septian Saputro (1420510025)

HERMEUNETIKA HADIS GENDER
 (TELAAH PEMIKIRAN KHALED  ABOE EL FADL DALAM KITAB SPEAKING IN GOD’S NAME : ISLAMIC LAW, AUTHORITY AND WOMAN)
OLEH : ABDUL MAJID

Jurnal Al-Ulum V 13 No 2 Desember 2013 Hal 293-320

Dalam kajian ini objek materialnya adalah fatwa CRLO yang berangkat dari teks hadis gender, sementara objek formal yang digunakan adalah hermeunetika khaled aboe el fadl.

Telaah ini lahir setelah beliau merasa ada hal yang tidak pas pada keputusan-keputusan atau fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh CRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinion) yang dalam pandanganya sebagai tindakan yang merendahkan Wanita misalnya : larangan wanita untuk mengemudi mobil sendiri, larangan wanita untuk memimpin sebuah negara dan lain-lain.

Ada tiga hal yang diperhatikan dalam hermeunetika Khaled Aboe El Fadl yakni : penulis/pengarang, teks (dalam hal ini berupa hadis) dan pembaca.

Sebagai contoh hadis yang diriwayatkan nufay bin harits atau yang dikenal dengan Abu Bakrah al-Tsaqafi. (sejumla ulama memandang hadis tersebut autentik termsuk Imam Bukhari)
“Tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”
Pada tahap awal Aboe Fadl meneliti tentang kepengarangan hadis ini yakni apakah bersumber dari Rosul atau si periwayat Abu Bakrah. Dalam penelusuranya beliau mendapatkan bahwa:

1. Abu Bakrah baru masuk Islam di akhir-akhir kehidupan Nabi
.
2. Abu Bakrah sebagai penyebar fitnah dan Umar bin Khatab menolak kesaksianya dalam kasus-kasus hukum. Ia menuduh Mughirah bin Syu’bah –gubernur Basrah pada masa Umar- dimana ia sering mengunjungi wanita yang sudah bersuami Ummi Jmil bint Amr. Abu Bakrah bersama saudara tirinya menyaksikan mereka dalam keadaan tidak berpakaian dan terlibat aktifitas seksual.

3. memutuskan hubungan silaturahmi, contoh kepada Ziyah saudara tirinya. Ia tak berbicara sepanjang hidupnya dan berwasiat agar saudaranya itu dilarang mensolati jenazahnya kala ia meninggal. Begitupula ia memutuskan silaturahmi pada anak-anaknya yang menerima jabatan politik dari pemerintah muawiyah.

Dari hal tersebut diatas. Menurut Aboe Fadl bahwa cukuplah menjadi alasan untuk menolak hadis ini, karena tidak terpenuhinya unsur “adalah pada Abu Bakrah dan ia diragukan oleh sahabt nbi Umar bin Khatab.

Dalam kaitanya dengan teks hadis dimana da proses panjang mengenai pembukuan hadis walaupun terbukti otentitasnya namun kebenarn hadisnya perlu ditinjau ulang. Pada proses kepengarangan selanjutnya kemudian berubah menjadi sederet nama periwayat. Aboe Fadl melihat beberapa al yang akan muncul:

1. Pemalsuan
2. Daya ingat perawi
3. Subjektifitas dalam menerima dan memahami hadis. Dimana mereka tidak meposisikan nabi dalam kerangka objektif. Mereka berinteraksi dalam kerangka subjektif dan subjektifitas ini mempengaruhi apa yang mereka lihat dan dengar. Hal ini memungkinkan terjadinya distorsi makna.
Aboe Fadl menduga bahwa Abu Bakrah keliru dalam mendenagrkan hadis tersebut. Bisa jadi nabi berkomentar tentang situasi yang berkembang di Persia dengan mengatakan “orang-orang yang dipimpin oleh perempuan ini tidak akan sukses”  lalu pernyataan ini ditngkap oleh Abu Bakrah melalui subjektifitasnya.

Dari hal diatas Aboe Fadl Menawarkan konsep Proposionalitas dan penolakan berbasis iman. Proposionalitas adalah keterpercayaan kita terhadap sebuah riwayat harus dihubungkan terhadap dampak hukum, teologis, sosial dan moral yang ditimbulkan. Sementara penolakan berbasis iman adalah ketidak setujuan terhadap hadis tertentu yang meskipun otentik (shahih tetapi ahad)  namun memiliki dampak teologis, sosial, hukum dan moral yang sangat serius.

Hadis tersebut merupakan salah satu contoh yang diberikan Aboe Fadl dimana dalam analisis hermeunetikanya (hermeunetika dialektika) melibatkan tiga unsur yakni pengarang (dalam hal ini periwayat) lalu teks (hadis) dan pembaca. Ketiganya harus bersifat dialektis.