By : Septian Saputro
Aku Mengabdi kepada Allah bukan karena takut pada api neraka
Bukan pula karena ingin masuk surga
Tetapi aku mengabdi
Karena cintaku kepadaNya
Penggalan
syair tersebut sudah tidak asing ditelinga para kaum sufi. Syair tersebut
menyatakan mahabah seorang penyair Rabia’ah al-Adawiyah yang tidak lain
mengharapkan hal lain kecuali karena kecintaan terhadap Rabnya.
Berbicara
tentang sufisme dalam Islam, dalam perkembanganya pada zaman Rosul dan khulfaur
Rasyidin tidak didapati istilah sufisme tersebut atau sufi sebutan bagi pelaku.
Namun dalam ranah praktik hal ini sudah tampak, sebagaimana yang dilakukan
Rosul Muhammad yang bertahanus di gua Hira dimana beliau menyendiri, merenung,
mendekatkan diri pada Allah. Dilain sisi beliau hidup sederhana bersikap sabar,
qana’ah dan lain sebagainya yang bisa dibilang itu merupakan praktik dari para
sufi.
Kata
sufisme bisa disamakan dengan tasawuf, dikalangan para peneliti barat kata
tasawuf biasa disebut dengan sufisme[1]. Sementara asal kata sufisme atau sufi sendiri
memiliki berbagai perbedaan, diantaranya :
Sufi
berasal dari Shaf, karena
orang disebut sufi karena berada dibarisan yang dinilai pada barisan pertama
yang dekat dengan Allah. Sufi juga dikatakan berasal dari Shuffah, orang bisa
disebut sufi karena memiliki sifat yang sama dengan ahli suffah yakni para
sahabat yang berada di masa Rosul[2].
Namun As-sufah juga secara lebih khusus juga dinisbatkan kepada orang-orang
Makah yang hijrah ke Madinah bersama nabi, mereka hidup sederhana dalam keadaan
miskin, mereka tinggal di masjid nabi dengan memakai alas berupa pelana yang
disebut suffah[3].
Lalu ada yang
menisbatkan kata sufi yang berasal dari kata “shuf” yang berarti kain wol kasar
yang dipakai oleh para kaum miskin, lalua ada yang menisbatkan kata sufi pada
kata “safa” yang berarti suci, lalu kata sufi menurut para intelektual barat berasal
dari bahasa Yunani, “sophos” yang berarti hikmah[4].
Sementara
sufi dapat diartikan pula sebagai orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari
hal-hal yang bersifat keduniaan, lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan
jalan berupaya mendekatkan diri kepada Khalik dengan cara-cara yang melebihi
cara kaum awam dalam beribadah. Atau Muh Iham Usman dalam abstraksinya
mengatakan sufisme dalam perjalananya menekankan upaya purifikasi/pemurnian
spiritual menuju nilai-nilai ketuhanan[5].
Tasawuf atau Mistisisme
Dr. Abu al-Wafa’ al-Gahanimi dalam bukunya Madkhal ila
al-Tashawwuf al-Islam yang diterjemhakan
dengan judul Sufi dari Zaman ke Zaman, beliau mengatakan bahwa Tasawuf
terbagi menjadi dua, yakni tasawuf yang bercorak religius dan tasawuf yang
bercorak filosofis.
Tasawuf yang bercorak religius menurutnya adalah suatu bentuk
gejala yang ada pada semua jenis agama, baik agama samawi maupun agama ardhi
atau beliau sebut agama purba[6].
Sementara tasawuf filosofis adalah tasawuf yang mana memadukan unsur-unsur visi
mistis dan visi rasional penggasnya.
Ibnu khaldun merumuskan dalam Muqadiamah, ada empat objek utama
yang menjadi fokus para sufi filosofis[7]:
a. Penggunaan rasa/ Dzauq, intuisi dan intropeksi diri sebagai
bentuk latihan rohaniah.
b. hal-hal yang tersingkap dari hal ghaib.
c. peristiwa atau gejala-gejala alam yang memiliki pengaruh
terhadap berbagai bentuk hal yang kramatatau hal yang luar biasa.
d. membuat istilah-istilah atau ungkapan yang sifatnya samar.
Sumber :
Abu Bakar M Kalabazi, Ajaran-Ajaran Sufi , 1985, Bandung: Pustaka
Anonim, Perkembangan Pemikiran
Sufisme/Mistisisme Dalam Islam, PDF
Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi
al-Taftazami, Sufi Dari Zaman ke Zaman, Terjemahan,1958, Bandung:
Pustaka
Muh.
Ilham Usman, Sufisme dan Neo Sufisme Dalam Pusaran Cendikiawan Muslim, Jurnal Al-Fikr vol 17 No 2 Tahun 2013
[1] Muh. Ilham Usman, Sufisme dan Neo Sufisme Dalam Pusaran
Cendikiawan Muslim, Jurnal Al-Fikr vol
17 No 2 Tahun 2013
[2] Abu Bakar M Kalabazi, ajaran-ajaran Sufi , 1985, Bandung: Pustaka,
Hal 1
[3] Anonim, perkembangan Pemikiran Sufisme/mistisisme dalam Islam, PDF
[4] Muh. Ilham Usman, Sufisme dan Neo Sufisme Dalam Pusaran
Cendikiawan Muslim, Jurnal Al-Fikr vol
17 No 2 Tahun 2013
[5] Ibid.
[6] Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi Dari Zaman ke Zaman,
Terjemahan,1958, Bandung: PustakaHal 2
[7] Ibid
No comments:
Post a Comment