Oleh : Septian Saputro
Ketika Islam
hadir dan dipimpin oleh Rosullullah SAW
maka di sini Islam tidak hanya sebagai sebuah keyakinan semata melainkan juga
sebagai bentuk peradaban baru dimana kita dapati sistem-sistem kepemimpinan,
politik, sosial. Hal ini dapat ditinjau karena latar belakang lahirnya Islam
yang berada di tengah-tengah kehidupan Arab jahiliah yang sudah memiliki
peradaban sendiri baik dalam ranah kepemimpinan, politik, sosial dan lain-lain.
Maka jika kita
lihat pola yang ada pada masa Rosul
antara agama dan urusan selain agama tidak bisa terlepas dari peran
Rosul, Rosul
sebagai pemimpin agama, juga sebagai pemimpin umat. Begitupula pola hubungan
agama dengan selain agama pada masa sahabat dan khilafah-khilafah setelahnya.
Tampak pola hubungan yang ada adalah integrasi, antara agama dan yang selain
agama saling membaur, saling melengkapi. Antara agama dan selain agama berada
dalam satu bingkai yang saling berhubungan.
Maka munculah
istilah sekularisasi yang secara sederhana dimaknai sebagai pemisahan antara
urusan agama dan selain agama. Kata sekulrisasi berasal dari kata sekuler yang
berasal dari bahasa Latin saeculum. Kata sekuler atau sekularisme atau
sekularisasi pada intinya adalah bentuk pemisahan antara yang bersifat agamawi
dengan hl yang bersifat duniawi.[1]
Dalam dunia
Islam sendiri ada satu tokoh yang menjadi sentral pembahasan terkait dengan
sekularisasi ini. Mustafa Kemal at-Turk adalah tokoh dibalik sekularisasi dalam
Islam. Pada masanya ia berupaya memisahkan agama dengan urusan kepemerintahan
yang akhirnya mengakhiri sistem pemerintahan khilafah islamiyah dan berganti menjadi negara. Mustafa Kemal
At-turk melakukan sekularisasi besar-besaran di Turki diantaranya adalah pelarangan
jilbab, merubah lafadz adzan dengan bahasa Turki, pelarangan shalat di masjid
Hagia Sophia, pelarangan syariat Islam, hari libur sabtu dan minggu dan penghapusan
sistem khilafah islamiyah.[2]
Perkembangan
Islam di era modern ini memang sudah pasti bercampur dengan berbagai pola-pola
pemikiran yang berbau barat. Runtuhnya sistem khilafah islamiyah pada masa
at-turk saya duga menjadi titik tolak berkembangya sekularisme di interen
Islam, meskipun Nurcholis Madjid mengatakan bahwa sebenarnya munculnya Islam
dimulai dengan proses sekularisasi dan ia menambahkan bahwa ajaran tauhid
merupakan titik tolk sekularisasi secara besar-besaran. Namun hal tersebut juga
dipandang sebagai pernyataan yang kontroversial.
Pada masa
at-turk pula semboyan-semboyan dari barat mulai masuk dalam tubuh Islam, adanya
nasionalisme dikatakan pula sebagai salah satu bentuk guna menghapuskan
kesatuan umat islam yang tersebar ke penjuru dunia sementara nasionalisme hanya
mencangkup satu kawasan tertentu atau negara tertentu saja. Rasa nasionalisme hanya akan tumbuh pada satu
bangsa. Hal ini merupakan perwujudan untuk kembali ke fanatisme kesukuan
sebagaimana yang terjadi pada bangsa Arab jahiliah. Pada masa jahiliah satu
suku memiliki ikatan yang sangat kuat, mereka akan salaing membantu dan tolong
menolong, sementara dengan suku lain mereka saling berperang. Bisa dikatakan
bawa mereka memiliki sifat layaknya nasionalisme namun dalam wilayah suku
mereka. Kemudian Rosul datang dan menyatukan semua suku yang ada dibawah payung
Islam, menjadi satu bukan karena suku tetapi karena Islam. Sekerang di Era
modern, Islam pun terkotak-kotak dalam wilayah-wilayah tertentu dalam
sekat-sekat bangsa dan negara. Faham nasionalisme inilah yang juga dipandang
sebagai ide peleburan kesatuan Islam[3].
Namun sekiranya
faham nasionalisme ini pun penting kita tanamkan sebagai warga negara, agar
memiliki sikap yang peduli dengan bangsa dan negara, karena negara kita yang
plural, bercorak etnis, budaya dan agama harus hidup saling berdampingan,
menjaga kedamaian negara, bersama-sama mengembangkan semangat kebangsaan agar
tercipta satu kesatuan negara yang harmonis. Disini bukan berarti faham
tersebut menggantikan kesatuan umat Islam, Justru di tengah era modern dan umat
islam yang tersebar keseluru penjuru dunia kita juga harus sadar akan kesatuan
umat Islam, menanamkan nasionalisme pada negara kita yang plural dan menjunjung
kesatuan umat Islam secara universal.
Maka menurut
penulis, kita ambil positif faham yang ada guna meningkatkan kesadaran kita
tentang kesatuan. Lalu menyadari pula esensi kesatuan umat Islam secara
Universal, tentunya dimulai dari satu wilayah kecil, karena tidak jarang kita
temui adanya perselisihan internal Islam di wilayah kecil tertentu, maka
bagaimana bisa kita membangun kesatuan secara universal jika terhambat dengan
perselisahan internal umat Islam sendiri.
Islam adalah
agama yang humanis, tidak ada perbedaan antara satu umat dengan umat lainya kecuali ketakwaan. Islam menghapuskan
perbudakan, menghapuskan sistem kastra, menggalakan persamaan derajat antara
kaya dan miskin. Untuk itu perlunya kita renungkan nasionalisme dan kesatuan
umat Islam dalam bingkai menjaga kesatuan pada ranah bangsa yang plural dan
Islam yang humanis.
[1] Prof. Dr. H. Faisal Ismail, M.A, Sekularisasi, membongkar
kerancuan pemikiran Nurcholish Madjid, 2008, Yogyakarta: Nawesea Press, Hal 26
[2] https://ayok.wordpress.com/2014/03/07/berakhirnya-khilafah-bagaimana-kemal-ataturk-mengubah-turki-menjadi-sekular/ diambil Sabtu 09.38
Prof.
Dr. H. Faisal Ismail, M.A, Sekularisasi, membongkar kerancuan pemikiran
Nurcholish Madjid, 2008, Yogyakarta: Nawesea Press Lihat pula hal 39
[3] Lihat
m.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/14/10/09/nd6cab3-haji-dan-persatuan-umat
dan lihat hizbu-tahrir.or.id/2013/03/31/nasionalisme-dan- separatisme-haram
No comments:
Post a Comment