Translate

Monday, January 21, 2013

Teori al-Quran Nasr Hamid: al-Quran adalah produk budaya



Teori al-Quran Nasr Hamid: al-Quran adalah produk budaya
Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) atau Metodologi kritik sastra (literary criticism)[2]. Dalam pandangannya metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Islam, Nasr Hamid menyatakan:
“Oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam.”[3]
Dengan Metode kritik ini Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun al-Quran menggunakan bahasa manusia. Karena itu al-Quran tidak lebih dari teks-teks karangan manusia.
Nasr Hamid mulai mengenal teori-teori hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia pada tahun 1978-1980. Dalam artikelnya di harian Republika (30/9/2004) Dr. Syamsudin Arif mencatat, bahwa Nasr Hamid memang terpesona dengan hermeuneutika, sebagaimana ia ungkap dalam biografinya yang ia beri judul Voice of an Exile: Reflections on Islam. Dalam bukunya tersebut Abu Zaid mengakui bahwa hermeneutika telah membuka cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan:
I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me.
Artinya:
“Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.”
Mengomentari pemikiran Nasr Hamid tersebut, Dr. Syamsudin Arif mengatakan:
“Orang macam Abu Zaid ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri Aladin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir”.[4]
Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid menyelesaikan disertasi Doktornya pada tahun 1980 dengan judul: Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil AI-Qur’an `inda Muhy al-Din ibn `Arabi (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap Hermenutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang pertama kali menulis tentang hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan tulisannya al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981. Di dalam karya tersebut, Nasr Hamid memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Emilio Betti, Hans Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan Eric D. Hirsch.[5]
Setelah akrab dengan literatur hermeuneutika Barat, Nasr Hamid kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan persoalan mendasar dalam hermeuneutika, di antara masalah yang ia dengungkan adalah anggapannya bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya atau konsep al-Quran sebagai produk budaya (Muntaj Tsaqafi) dan memposisikan Nabi Muhammad ` sebagai “pengarang al-Quran”.
Untuk menerapkan konsep Muntaj Tsaqafi-nya, Nasr Hamid mendekonstruksi konsep al-Quran yang telah disepakati oleh umat Islam selama berbad-abad; yaitu konsep bahwa al-Quran adalah ‘kalamullah’ yang lafadz dan maknanya dari Allah I. Namun, kajian Nasr Hamid tersebut lebih mirip kepada Biblical Critism (kritik teks Bible) yang telah berkembang dalam tradisi Kristen, dari pada konsep kemakhlukan al-Quran-nya Muktazilah, Kaum Mu’tazilah memposisikan Al Qur’an sebagai kalam Allah I meskipun kalam Allah I itu di anggap sebagai makhluq yang diciptakan oleh Allah I sebagaimana Allah I menciptakan makhluq lain. Jadi kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an itu adalah tidak Qadim. Tapi Mu’tazilah sama sekali tidak berpendapat bahwa Al Qur’an adalah karya Muhammad sebagai produk budaya dan harapan orang-orang yang ada di sekitarnya seperti yang di kemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Maka salah jika ada yang berpendapat bahwa pemikiran Nasr Hamid berasal dari tradisi Islam.
Dalam tradisi Kristen, studi tentang Kritik Bible dan kritik teks Bible memang telah berkembang pesat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of  Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Critism on the new Testament”.  Reginald H. Fuller, dalam bukunya yang berjudul A Critical Introduction to the New Testament, menulis;
“Itulah mengapa jika kita hendak memahami apa yang dimaksud teks-teks Perjamjian Baru sesuai maksud para penulisnya ketika pertama kali ditulis, kita harus terlebih dahulu memahami situasi historis pada saat ia ditulis pertama kali”.
Setelah itu, kalangan pemuka dan cendekiawan Kristen mulai mengarahkan studi mereka terhadap al-Quran, sehingga mereka menempatkan posisi al-Quran sama dengan posisi Bible. Studi Biblical Critism terhadap al-Quran ini mulai muncul sejak abad ke-19. Di antara sarjana Barat, orientalis dan Islamolog Barat yang menerapkan metode ini adalah; Abraham Geiger, Gustav Weil, William Muir, Theodor Noldeke, W. Montgomery Watt, Kenneth Cragg, John Wansbrough, dan yang masih hidup seperti Andrew Rippin, Christoph Luxenberg, Daniel A. Madigan, Haraid Motzki dan masih banyak lagi lainnya [6]
Orientalis yang termasuk pelopor awal dalam menggunakan Biblical critism ke dalam Al-Qur’an adalah Abraham Geiger (m. 1874), seorang Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Pada tahun 1833, Geiger menulis Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen? (Apa yang telah Muhammad Pinjam dari Yahudi?). Di dalam karyanya tersebut, ia mengkaji AI-Qur’an dari konteks ajaran-ajaran Yahudi. Ia melihat sumber-sumber Al-Qur’an dapat dilacak di dalam agama Yahudi.
Setelah itu, berbodong-bondonglah para orientalis melakukan kajian kritis terhadap teks al-Quran, sebagaimana pada Bible, mereka menyamakan al-Quran dan Bible sebagai sebuah teks saja. Gerd R. Joseph Puin, seorang Orientalis pengkaji al-Quran telah menyarankan perlunya studi ke`sejarahan al-Quran, ia mengatakan:
“Begitu banyak kaum muslimin beranggapan bahwa al-Quran merupakan kata-kata Tuhan yang tidak pernah mengalami perubahan”.  Dan ia juga mengatakan: “Mereka (para cedekiawan) sengaja mengutip karya naskah yang menunjukkan bahwa Bible memiliki sejarah dan tidak langsung turun dari langit, namun sampai sekarang al-Quran masih berada di luar konteks pembicaraan ini. Satu-satunya cara menggempur dinding penghalang ini adalah mengadakan pembuktian bahwa al-Quran memiliki sejarah”.
Pendapat Nasr Hamid bahwa al-Quran adalah ‘produk budaya’ adalah problematik. Kapan al-Quran menjadi produk budaya? Jika al-Quran menjadi produk budaya ketika wahyu selesai, maka dalam rentang waktu wahyu pertama turun hingga wahyu selesai, al-Quran berada dalam keadaan pasif karena ia produk budaya Arab Jahiliyah. Namun, ini pendapat salah, karena ketika diturunkan secara berangsur-angsur al-Quran ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyah saat itu. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena al-Quran bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa budaya baru dengan mengubah budaya yang ada.
Menurut Prof. Naquib al-Attas, bahasa Arab al-Quran adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu, telah di-Islam-kan maknanya.            Al-Quran mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab. Kata-kata penghormatan (muruwwah), kemuliaan (karamah), dan persaudaraan (ikhwah), misalnya, sudah ada sebelum Islam.
Tapi, kata-kata itu di Islamkan dan diberi makna baru, yang berbeda dengan makna zaman jahiliyah. Kata ‘karamah’, misalnya, yang sebelumnya bermakna ‘memiliki banyak anak, harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian’, diubah al-Quran dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa). Contoh lain, juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan. Diubah maknanya oleh al-Quran, dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.
Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran
Studi Nasr Hamid selanjutnya adalah analisa terhadap corak sebuah teks yang dengan hal itu dapat diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Pendapat Nasr Hamid ini ia adopsi dari tokoh hermeneutika modern, Frederich Schleirmacher yang merumuskan teori hermeuneutikanya berdasarkan pada analisa terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya dan kejiwaan) pengarangnya.
Karen Armstrong telah meresume pandangan Schleirmacher terhadap Bibel sebagai berikut:
Bahwa Bibel adalah sangat penting bagi kehidupan kaum Kristen, karena ia adalah satu−satunya sumber informasi tentang Yesus. Tapi, karena penulis−penulis Bibel terkondisi dalam lingkungan sejarah dimana mereka hidup, maka adalah sah−sah saja untuk mengkritisi dengan cermat karya mereka.
Schleirmacher mengakui bahwa kehidupan Yesus adalah wahyu suci, tetapi para penulis Bibel adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa terjebak dalam dosa. Karena itulah, mereka mungkin saja berbuat kesalahan. Karena itulah, menurut Schleirmacher, tugas para sarjana Bibel adalah membuang aspek−aspek kultural dari Bibel dan menemukanintisarinya yang bersifat abadi. Tidak setiap kata dalam Bibel adalah otoritatif, karena itu, kata Schleirmacher, seorang penafsir harus mampu membedakan mana ide−ide yang marginal dan ide inti dalam Bibel.[7]
Dari sini kita dapat dengan mudah mengetahui pengaruh penafsiran kaum Liberal Yahudi dan Kristen terhadap Nasr Hamid. Setelah itu Nasr Hamid tampil cerdik, dengan menempatkan Nabi Muhammad ` sebagai penerima wahyu pada posisi semacam “pengarang al-Quran”, dia menulis dalam bukunya Mafhum al-Nash:
“Bahwa al-Quran yang diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Makkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Dengan demikian, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya”.[8]
Pendapat Nasr Hamid Abu Zayd  ini merusak konsep dasar Al Qur’an yang dianut sebagian besar umat Islam, bahwasanya Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu saja, beliau tidak merubah sedikitpun yang diterimanya dari Allah I. Beliau pun Ma’shum artinya terjaga dari kesalahan. Al Qur’an menyebutkan:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3)
Artinya:
“Dan Dia (Muhammad `) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang di wahyukan kepadanya”. (QS. Al Najm:3)
Dengan menyebut al-Quran sebagai cultural product dan menempatkan posisi Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran, maka Nasr Hamid telah melepaskan posisi al-Quran sebagai kalamullah yang suci dan menghilangkan sakralitas al-Quran dan menjadikan al-Quran hanya teks manusiawi atau hasil pengalaman individual yang diperoleh nabi Muhamamad ` dalam waktu dan tempat tertentu yang latar belakang sejarah sangat mewarnai pemikirannya.
Dalam buku terbitan PT Gramedia yang ditulis oleh tiga personel Islam Liberal yaitu Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie, dan Ulil Abshar Abdalla yang berjudul “Metodologi Studi al-Quran” disebutkan secara jelas tentang penolakan mereka terhadap pemahaman dan keyakinan  umat Islam bahwa al-Quran adalah kalamullah. Kaum Liberal menganggap bahwa al-Quran adalah kata-kata Muhammad `, ditulis dalam buku tersebut:
“Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang yang cerdas, maka tatkala menerima wahyu, Muhammad ikut aktif memahami dan kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya sendiri. Karena itu, menurut Nasr Hamid Abu Zaid tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).”
Menurut Dawam Raharjo, perbedaan pandangan terhadap konsep al-Quran apakah kalamullah atau kata-kata Muhammad merupakan perbedaan utama antara metode Tafsir klasik dengan metode Hermeuneutika, ia mengatakan: “Metode Hermeuneutika ini berbeda dengan penekanan tafsir al-Quran tradisional yang bertolak dari kepercayaan bahwa al-Quran itu adalah kalam  ilahi. Dalam pengertian itu, Tuhan tidak dipandang sebagai pengarang, sebagaimana manusia yang mengarang puisi atau prosa. Dalam menafsirkan al-Quran, para penafsir tidak melihat latarbelakang social Tuhan yang memengaruhi perkataan Tuhan. Sedangkan dalam hermeuneutika, penafsir teks berusaha memahami teks dengan mempelajari pengarangnya, bahkan pembacanya, ketika teks itu diciptakan atau ditafsirkan kemudian.”
Ia juga menyatakan: “Disinilah perlunya metode hermeuneutika, yang mencoba memahami teks berikut dengan mempelajari konteks, sehingga para penafsir bisa menemukan esensi makna suatu ayat yang mungkin saja keliru sebagaimana pernah diwacamakan oleh Muhamamad Abduh.”[9]
Pendapat-pendapat Nasr Hamid juga banyak diikuti oleh IAIN, banyak dosen dan mahasiswa UIN yang secara terang-terangan mengusung pendapat Nasr Hamid, seperti seorang dosen di IAIN Surabaya bernama Suhalwi Ruba, dihadapan mahasiswanya ia menuliskan lafal Allah I pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu, sambil mengatakan: “al-Quran dipandang sakral secara substansi,tapi tulisannya tidak sakral”. Menurut Suhalwi, al-Quran sebagai kalam Allah I adalah makhluk ciptaan-Nya, sedangkan al-Quran sebagai mushaf adalah budaya karena bahasa Arab, huruf hijaiyah dan kertas merupakan hasil cipta manusia.

[1] Henri Shalhuddin, al-Quran dihujat, (Jakarta: al-Qalam, 2007), cet. Ke-2, hal. 9
[2] Sebelum Nasr Hamid, beberapa Intelektual Muslim Mesir seperti Thha Husain, Amin al-Khuli (1895-1966), Muhammad Ahmad Khalaf Allah (1916-1998) dan Shukri Muhammad ‘Ayyad (1921-1999) sudah mengaplikasikan metode kritik sastra terhadap AI-Qur’an. Lihat Adnin Armas, MA, Metodologi Bible dalam Studi al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2005) cet. Ke-1, hal. 22 menukil dari Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd: An Analytical Study of Nis Method of lnterpreting the Qur’an (Montreal: Disertasi Doktoral di Institute of Islamic Studies, Universitas McGill, 2001). Kritik sastra ini ketika diterapkan dalam Bible, menggunakan satu pendekatan khusus yang disebut studi sumber (source critism). Kritik sumber pertama kali muncul pada abad ke-17 dan ke-18 M ketika para sarjana Bibel menemukan berbagai kontradiksi, pengulangan perubahan di dalam gaya bahasa, dan kosa kata Bibel. Mereka menyimpulkan kandungan Bibel akan lebih mudah dipahami. jika sumber-sumber yang melatarbelakangi teks Bibel diteliti.
[3] Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nas: Dirasah fi ‘Ulum AI-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-’Arabi, 1994), cet.ke-2, hal. 27
[4] Adian Husaini, MA dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeuneutika dan Tafsir al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), hal. 36-38
[5] Adnin Armas, MA, Metodologi Bible dalam Studi al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2005) cet. Ke-1, hal. 30
[6] Adnin Armas, MA, Metodologi Bible dalam Studi al-Quran, (Jakarta: Gema Insani, 2005) cet. Ke-1, hal. 36
[7] DR. Adian Husaini, Murid−murid Nasr Hamid Abu Zayd di Indonesia, http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia, diakses 6/6/2010
[8] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1997 M), hal. 59
[9] Dr. Adian Husaini, Hermeuneutika dan cara berfikir Muslim dalam Majalah ar-Risalah (Vol. IX no 12, Juni 2010) hal. 33

No comments: