Translate

Monday, January 21, 2013

NASIR HAMID ABU ZAID Karena aku berpkir, maka aku Muslim”



NASIR HAMID ABU ZAID
Karena aku berpkir, maka aku Muslim” (Nasr Hamid)
Naser Hamid Abu Zaid merupakan salah satu pemikir kontemporer yang banyak menyita perhatian, baik dari kalangan pemikir Liberal maupun oleh kalangan konserpatif. Untuk kalangan Liberal, pemikiran Abu Zaid merupakan pemikiran yang menjadi sumber atau presfektip baru dalam melihat sebuah permasalahan (khususnya dalam membaca teks Al-Qur’an), namun bagi kaum konserpatif pemikiran abu Zaid merupakan pemikiran yang nyeleneh dan berbahaya karena dianggap akan menjadi “pengganggu” “iman” kaum muslim.

Latar Belakang Sosial Dan Akademis
Nasir Hamid Rizk Abu Zaid dilahirkan di desa Qafaha dekat kota Thanta di Mesir pada tanggal 10 juli 1943. ia tumbuh berkembang ditengah keluarga yang agamis. Sejak usia 4 tahun, ia sudah mulai belajar dan menulis Al-Qur’an dan ia berhasil menghapal seluruhnya sejak usia 8 tahun. Pada tahun 1954 ia telah menjadi anggota resmi gerakan ikhwanul muslimin yang saat itu telah memiliki posisi yang kuat dan menyebar hampir diseluruh wilayah di Mesir pada saat usianya baru 11 tahun.
Riwayat pendidikanya terbaca sejak menjadi pelajar sekolah teknik Thanta yang diselesaikan pada tahun 1960. delapan tahun kemudian, pada tahun 1968 sambil bekerja sebagai teknisi dibidang teknisi dibidang elektronik pada organisasi komunikasi nasioanal Kairo. Ia masuk fakultas sastra jurusan bahasa dan sastra arab Universitas Kairo dan lulus dengan nilai cumloud pada tahun 1972, lalu ia diterima sebagai asisten dosen pada almamaternya. Lima tahun kemudian ia berhasil menyelesaikan gelar magisternya.sedangkan gelar Ph.D. didapat pada tahun 1981 dengan judul disertasi : The Philosophy of Interpretation: A Study of Ibn Araby’s Hermeneutics of Al-qur’an selama periode 1976-1987, Nasr Hamid Abu Zaid juga memilki aktivitas mengajar bahasa arab untuk orang asing di pusat diplomat dan menteri pendidikan.
Kecemerlangan Nasr Hamid Abu Zayd diperlihatkan dari berbagai prestasi yang pernah dicapainya, antara lain :
1. Meraih beasiswa dari ford foundation untuk studi di universitas Amerika, Kairo, tahun 1975-1977.
2. Meraih beasiswa yang sama untuk studi pada Center For Middle East Studies Universitas Pennsylvania-Phildelpia, USA tahun 1978.
3. Tahun 1982 ia mendapat penghargaan Abd Al-Aziz Al-Ahwani Prize For Humanities.
4. Menjadi professor tamu di Osaka University Of Foreign Studies , Jepang. Selama tahun 1985-1989.
5. Memperolaeh pengakuan pada tahun 1995 sebagai professor penuh dibidang studi islam yang diampunya sejak tahun 1982.
6. Menjadi professor tamu di Leiden, Netherlands, dari tahun 1995-1998.
Nasr Hamid Abu Zayd telah banyak menghasilkan karya tulis ilmiah baik yang berupa buku maupun artikel. Diantaranya adalah:
- Al-Ittijahad Al-Aql Fi Tafsir : Dirasat Qadiyat Al-Majaz Índ Al-Ma’tazilat.
- Al-Nas, Al-Sultat, Al-Haqiqat : Al-Fikr Al-Dini Bayn Iradat Al-Haymanat.
- Al-tafkir Fi Zaman Al-Takfir : Dlid Al-Jahl Wa Al-Khurafat.
- Falsafat Al-Takwil : Dirasat Fi Takwil Al-Qurán Índ Muhy Al-Din Ibn Árabi
- Ishkaliyat Al-Qiraat Waáliyat Al-Ta’wil.
- Mafhum Al-Nas : Dirasat Fi Ulum Al-Qurán.
Nasr Hamid Abu Zayd adalah murid atau penerus Amin Alkhuli (1895-1966). Amin Alkhuli dikenal sebagai cendikiawan penafsir Al-Qurán yang menggunakan pendekatan sastra (al-tafsir al-adabi). Ada seorang sarjana Indonesia yang menelaah pemikiran Amin Khuli, dibawah bimbingan Nasr Hamid Abu Zayd di Belanda dan Stefan Wild di Jerman. Namanya, Mohammad Nur Kholis Setiawan. Beliau lahir di Kebumen Jateng. 10 november 1970. kini ia mengajar difakultas syariáh. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kali Jaga, Yogyakarta.
Kontroversi yang melekat pada diri Nasr Hamid Abu Zayd dimulai ketika tahun 1992 ia mengajukan karya ilmiah kepada panitia penilai untuk memeperolah pangkat guru besar. Karya nya terdiri dari dua buku dan sebelas artikel yang dihasilkan selama 5 tahun terakhir. Dua buku tersebut adalah Naqd Al-Khitab Al-Dini Dan Al-Imam Al-Shafií Al-Aidiulujiyyah Al-Wasatiyah. Dari sinilah klaim dan tuduhan kekafiran dan kemurtadan atas diri Nasr Hamid Abu Zayd berawal. Sehingga memicu agar ia dipecat dari jabatan akademiknya, dipaksa bercerai dengan isterinya, dan disuruh segera bertobat, sebab jika tidak maka halal darahnya• .
Pemikiran terbuka memang belum familiar di Mesir, namun seperti ditandaskan oleh Abu Zaid, “Eksekusi pemurtadan terhadap dirinya adalah urusan politik.” Ujarnya. Abu Zaid mensinyalir bahwa penolakan pengangkatan dirinya dari gelar Profesor; dikeluarkanya fatwa murtad; serta difonis bercerai dengan istrinya, itu semua karena problem politik. “penyebab vonis itu adalah isu politik. Bukan karena karya saya. Buku saya sudah terbit sejak 1990. Vonis itu baru muncul tahun 1993” tandasnya.

Kritik-kritik yang dilontarkan oleh Abu Zaid kepada ulama-ulama yang berlindung dalam selimut agama ternyata menuai masalah. Salah satu ulama besar yang tak luput dari kritikan Abu zaid adalah Prof. Dr. Abdu al-Sabur Syahin Imam masjid Amr ibn Ash. Syahin mengangkat isu dengan mempertentangkan pemikiran Abu Zaid dengan memparadoksikan kalangan Islamis di satu sisi dan orang-orang liberal di sisi yang lain. Kalangan Islamis ingin mengembangkan isu penyimpangan pandangan Nasr mengenai pembacaan teks ini dan mengangkatnya ke pengadilan.

Abu Zaid mengatakan bahwa kelompok mereka menggunakan hukum untuk memecahkan masalah politik. Sejak itulah saya mengatakan ini adalah keputusan Politik. Bila dirunut lebih jauh, permasalahan yang menimpa Abu Zaid ini tidak akan pernah lepas dari siapapun yang memiliki pandangan berbeda dari mainstream. Abu Zaid menganggap bahwa ortodoksi telah mengekang kebebasan bahkan kemerdekaan berpikir.
Pandangan Abu Zaid yang dianggap paling menyimpang dari Ortodoksi adalah keberanianya mengungkapkan pandangan-pandangan baru mengenai identitas al-Qur’an yang dianggap oleh Abu Zaid sebagai produk budaya Arab, dan pandangan lain mengenai ihwal kenabian yang dianggap suci oleh ortodoksi.

Selama ortodoksi masih dikuasai oleh kalangan esklusif, maka pandangan-pandangan yang bertentangan dengan pakem yang telah ada akan senantiasa dijegal bahkan diesklusi keberadaanya dengan dalih “menjaga iman” orang muslim. Bahkan ortodoksi agama, baik Islam, Kristen, maupun Yahudi pada dasarnya dibangun untuk mempertahankan ajaran-ajaran yang mapan dari pengaruh heretisme, yakni pemikiran-pemikiran yang dianggap menyimpang. Cap heretisme diberikan kepada pembaru dan pemikir yang memiliki pandangan berbeda dari ortodoksi. (Luthfie, 2007:236)

Peta Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd menyebutkan peradaban yang terbangun dalam tradisi Arab-islam sebagai peradaban teks. Hal itu dimaksudkan sebagai suatu peradaban yang landasan epistimologinya dibangun melalui dialektika manusia dengan realitas sejarahnya disatu sisi dan proses dialog kreatif manusia dengan teks disisi lain.
Dalam kajiannya terhadap Al-Qur’an Nasr banyak menggunakan kaidah hermeneutic. Maka tahap terpenting dalam malakukan kajian terhadap makna teks adalah malakukan analisis terhadap corak teks itu sendiri. Hanya dengan penggunaan kaidah yang sedemikian, maka petunjuk-petunjuk tentang pengarang teks tersebut dapat diketahui.
Nasr yang telah terpengaruh oleh teori hermeneutic Frederich Schimarler (1768-1834) mengaplikasikan teori tersebut dengan melontarkan satu teori bahwa Al-Qurán telah diturunkan melalui malaikat Jibril AS kepada Muhammad SAW yang manusiwi. Muhammad SAW, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah seorang manusia sejati dengan segala sifat kemanusianya.
Tentang konsep wahyu dan Muhammad SAW versi Nasr, ia memandang bahwasanya Al-Qurán berada hanya dalam tingkat perkataan bukan wahyu yang turun dari langit dalam bentuk kata-kata yang benar sebagaimana pernyataan klasik yang masih dipegang oleh berbagai kalangan tetapi merupakan suatu subtansi yang disaring melalui Muhammad SAW dan sekaligus diekspresikan dalam batas intelek dan kemampuan linguistic Muhammad sendiri•.
Nasr mengkritik para mufasir ternama Ahlus Sunnah Wal-Jamaah. Dia mengatakan bahwa autoriti tafsir adalah milik para mufasirin terdahulu adalah salah. Dia beranggapan bahwa kesalahan mereka adalah suatu kesalahan yang mendasar dikalangan mereka yang suka mengkaitkan makna teks dan dalalahnya dengan makna kenabian, risalah dan turunya wahyu. Menurutnya, kaum aswaja akan menyusun sumber-sumbeer utama penafsiran dalam empat hal yaitu: Rasullah SAW, Tabiín, penafsir bahasa.
Bagi Nasr Al-Qurán bukan lagi merupakan sebagai wahyu Allah SWT kepada Muhammad SAW. Melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi). Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional sudah tidak sesuai dengan zaman.

Metode Berfikir
Nasr Hamid menggunakan metode Historic-Literary-Critic dengan menggunakan pendekatan hermeneutic linguistic yang memanfaatkan analisa mikro structural dan analisa makro structural. Dengan landasan konsep teks ini beliau dapat merumuskan pemahaman ilmiah atas teks primer agama setelah itu.
Kritik wacana agama memperoleh criteria yang jelas dalam membongkar teks-teks sekunder yang menumpuk disekitar teks primer tadi. Adapun dua analisa yang dimaksud adalah :
1. Analisa Mikro Stuktural : yaitu analisa tehadap system intern wacana itu sendiri yang menyangkut status literernya. Pada pada pemikiran dan pengungkapan pengertian tekstualnya. Sebelum beralih kesignifikasi sosio-politik-kritik ideology. Hal ini digunakan untuk menghindari kesalahan kesalahan anlisa mekanis-reflektif yang gerak metodologisnya dari luar kedalam.
2. Analisa Makro Structural : yaitu upaya untuk memfokuskan perhatian kritik wacana yang ditujukan guna mengunkap signifikasi eksternal dari wacana itu. Signifikasi itu merupakan berupa konteks bagi kelahiran wacana itu sendiri. Dengan maka setiap wacana realitas dapat dirujukan pada seting histories dan lingkungan sosial budaya tertentu. Dengan demikian maka menurut Nasr kritik wacana itu sendri terdapat dua fungsi. Yang pertama, berupaya membuktikan bahwa setiap wacana merupakan bagian dari kesatuan pemikiran yang lebih dimana ia hanya menjadi bagian dari penggal sejarah tertentu. Kedua harus dapat merekonstruksi wacana yang diam sehingga dapat menempatkan dalam konteks idiologis yang membentuk dan dengan kata lain kritik wacana harus dapat menampilkan signifikasi sosio-politik dari setiap produksi dan praksis kekuasaan yang tengah dijalani dan dijalankan.


1 comment:

Unknown said...

Thanks for the information,,
www.7fairuz.com