Translate
Sunday, April 7, 2013
Septian Saputro 09110023 TARJAMAH ARAB-INDONESIA II BALKON
Septian Saputro 09110023
TARJAMAH ARAB-INDONESIA II
BALKON
Ku lihat jam yang hampir mendekati pukul 10, aku tahu bahwa anak-anak akan datang terlambat lagi, ku tarik album foto dan ku mulai membalik setiap lembarnya hingga ku habiskan sisa waktu, lembaran demi lembaran menuntunku ke foto Fatimah, istriku yang wafat setelah diserang kangker 20 tahun lalu tanpa belas kasih, ku ingat betapa kerinduan dan kasih itu, rasa bahagia denganya dan dalam kehidupanya yang singkat namun bahagia. Meskipun hal itu sudah terjadi bertahun-tahun namun bayanganya tidak bisa berlalu dari kenanganku, kata-kata yang ia ucapkan di hari kepergianya masih saja terngiang dalam benak ini, ku tak kan pernah berhenti mendengar suaranya hingga akhir hayatku, seperti kata-kata terkahir yang ia ucapkan : anak-anak itu, jangan kamu hukum mereka, berikanlah mereka perhatian” sejak hari itu ku berjanji pada diri sendiri agar kehidupan merka tidak dicampur istri seorang ayah, tidak akan ada ibu tiri bagi mereka. Tahun demi tahun berlalu, ku lihat mereka tumbuh dengan cepat, hal ini mengantikan apa yang kualami dalam kesendirianku yang sulit. Setelah tahun-tahun itu berlalu mereka memiliki kehidupan yang pribadi, anak yang besar menikah dan memilki tiga anak, anak yang kedua (tengah-tengah) pergi ke Timur, untuk belajar arsitek dan menjadi insinyur seperti yang selalu ia impikan, sedangkan yang kecil yang manja sudah pergi juga ke amerika dalam rangka delegasi study, kini tinggalah saya sendiri, menanti hari kamis, menanti kunjungan Ahmad dan cucu-cucuku yang tak terjadwal secara khusus di hari penantian, bahkan tak satupun teman yang menetap, mayoritas mereka sudah meninggal atau diserang sakit, mereka mulai menasihatiku untuk menikah lagi, akan tetapi bagaimana ku bisa mencintai seorang wanita setelah Fatimah meninggal. Apakah disisa umurku ini, ku bisa memulai kehidupan yang baru?! Ku tarik nafas, ku letakan album itu disamping dan mulai berputar mengelilingi apartemen seperti seekor harimau yang terkungkung, ku mulai berfikir kegiatan apa yang bisa mengsisi waktu, ku letakan arang kedalam api persiapan untuk menghisap syisa dimana dokterku berkata bahwa suatu saat nanti, syisa itu bisa membunuhku, tidak diketahui bahwa kesendirian itu merupakan mayoritas pembunuh dibandingkan dengan racun apapun. Bel pintu berdering, kutahu bahwa itu pasti Ahmad, ku berlari dan membuka pintu, ku mendapatinya namun ia hanya sendiri, dahiku mengerut, ku sambut ia seraya berkata :
selamat datang anakku, dimana anak-anak
Ia menjawab nampak letih :
Ibu anak-anak mendesak mereka untuk pergi bersama anak-anak bibi mereka ke taman bermain. Kepalaku bergoncang, tanpa komentar ku masuk ke ruang duduk, ku tak menatap apa-apa kecuali hanya atap langit . Kami mulai mengakhiri ujung pembicaraan sedang bayangan menanti masanya sepanjang waktu seolah menerangkan bahwa Ahmad harus pergi untuk menemani istri dan anknya, saat ia berjalan keluar ia berkata dengan rona wajah menggambarkan rasa jijik :
Ayah, cobalah membuka jendela untuk penganginan, udara disini hampir seperti seorang pembunuh, ayah merokok di apartemen ini, kenapa ayah tidak menggunakan balkon saja, sebagai ganti utuk menyimpan kenangan-kenangan lama ayah disana.
Kata-kata itu menghadirkan kenangan indah yang pernah bersemi dalam hidupku, masa lalu dimana aku duduk bersama Fatimah di balkon, kemudian kami berhenti melakukan itu setelah Amron meninggkan bangunanan yang berada disebelah, saat itu dengan sedih ku putuskan untuk mengubah kenangan lama itu. Muncul sebuah ide dalam benakku, kenapa tak kubuka jendela itu besok dan membuang semua kenagan lama dan kugunakan tempat itu sebagai tempat untuk mengisap syasya, apalagi udara akhir-akhir ini sangatlah baik. Malam itu ku tidur dalam keadaan bahagia layaknya seorang anak yang memiliki impian baru. Tak ku biarkan matahari terbenam hingga ku minta bantuan security untuk membersihkan balkon, sebelum pertengahan siang balkon sudah harus siap, ku rencanakan untuk tidur siang hingga ku merasa sedikit rilex dan setelah asar ku sudah bangun. Ku masukan batu bara kemudian kucuci kepalaku agar ku bisa menyiraminya dengan madu, setelah itu ku kirim securitiy di sebagain barang import pecah belah hingga bagadang bisa jadi sangat sempurna sebagaimana yang pernah ku dan fatimah lakukan. Kumulai mengisap syasa di udara bebas dan ku merasa hidup sedang mengisi kekosonagnku. Ku mulai memperhatiakn jalan, orang-orang, aku merasa seakan-akan ku dibangkitkan dari kematian, karena ku merasa bahwa setidaknya ku ikut melakukan apa yang mereka perbuat, ku melihat mereka mondar-mandir. Setelah hal itu semua, balkon menjadi bagian keseharian dalam hidupku, ku rawat dengan membersihkan, menatanya dengan tumbuh-tumbuhan begitu pula ku berfikir untuk mengecat ulang dindingnya, kian lama ku mulai tahu aktivitas, waktu-waktu jalan raya, kegiatan serta kebiasaan masyarakat, hingga seakan tak satu wajah barupun atau kebiasaan aneh yang ada sekalipun bisa bersembunyi dari ku.
Disuatu hari, kulihar sebuah mobil yang asing berhenti jalan sebelah bangunan, anak gadis tetangga turun dari mobil itu, ia menolah-noleh sekitar kemudia diikuti seorang pemuda, mereka berdua mojok di kantor lama security yang tidak lagi akan dibangun, mereka berdua berciuman panas. Angin berhembus membawa beberapa percakapan mereka yang sarat akan rindu dan cinta yang mereka tinggalkan. Dengan terburu-buru gadis itu naik ke lantai apartemen sedangkan si pemuda menuju mobilnya.
sungguh cinta itu indah, pertemuan panas mereka terjadi berulang-ulang di tempat bersuara yang memiliki atap terbuka, yang membuatku takjub adalah alangkah hal itu bisa menjadi indah setelah dilanda cinta, ku berjanji pada diriku sendiri untuk memelihara cinta mereka hingga ku mulai mengawasi lingkungan agar tak ada orang lain yang melihat mereka, hingga ku awasi mereka berdua dari mata yang bisa melihat mereka berdua. Kondisi seperti itu berjalan selama kurang lebih satu bulan hingga satu saat gadis itu turun tanpa disusul oleh sang pemuda, ku tidak faham apa yang terjadi. Namun di hari berikutnya pemuda itu datang dari arah ia pergi, cukup lama ia mengitari desa dan bangunan itu dengan mobilnya, tanpa berhenti atau turun dari mobil. Ku perhatikan ia namun ia tak melihatku, saat itu ku ingat “lampu jalan” saat listrik tiba-tiba anjlok kutinggalkan ia, kemudian ku berlari untuk mendapatinya dan ku mulai menghidup matikanya hingga ia melihatku, secara terburu-buru ia berhenti di sekitar pintu hotel. Setelah kupakai sepatu sandal, ku akan berbicara denganya, ku turun, nampak tanda kebingungan di wajahnya, ku tersenyum dan berkata padanya :
santai saja pemuda, saya mengenal kamu dan juga kekasihmu, gadis dari anak tetanggaku. saya sudah pernah melihat pertemuan kalian sekian lama adakah yang bisa saya bantu?
Pada saat yang sama tampak bauran rasa malu dan bingung pada wajahnya, setelah berhenti ia berkata :
Salwa marah padaku karena perbincangan masalah rumah diantara kami semalam, ia tak menjawab telfonku, saya berusaha menyampaikan sumpah setia ini.
Kulihat dalam sebuah kotak kecil yang ia berikan padaku, dengan yakin ku berkata:
Jangan resah. Apa yang kamu inginkan akan terjadi.
Ia sangat berterimaksih padaku, kemudian beranjak menuju mobilnya dan pergi. Sedangkan pikiranku melayang, meluncur seperti sebuah roket berfikir utuk bisa menyampaikan kesetianya itu secepat mungkin. Muncul ide untuk menyampaikan hal itu pada Salwa esok pagi tatkala ia keluar untuk ke kampus. Malam itu ku tak tidur, ku menunggu waktu pagi, ayah dan adiknya tidak akan keluar menuju sekolah kecuali jika supir yang mengantarnya ke kampus sudah dating, lantas ku tunggu ia didepan pintu apartemen. Saat akan menutup pintu ia mendapatiku menghalangi jalanya, ku tidak memberikanya kesempatan utuk bicara karena dengan cepat ku langsung berkata:
Ia masih menunggumu semalaman, ia sangat menyukaimu
Kemudian ku berkata lagi meskipun ia keheranan.
Ini milikmu.
Salwa menerima kotak itu sedangkan aku masuk dalam apartemenku, setelah itu ku sembunyikan cerita tentang mereka berdua untuk beberapa hari hingga suatu saat bel pintu berdering di sore hari, aku dikagetkan dengan kedatangan orang tua Salwa, ku kaget ketika melihatnya merasa takut karena urusanya diungkap dan datang untuk memarahiku, akan tetapi ia bertingkah sebaliknya dan berkata kepadaku:
Kedatangan anda dalam lamaran anak saya Salwa di akhir pekan ini akan sangat membuat saya bahagia.
Ku benar-benar senang dan mengucapkan selamat padanya, ku mulai menanti akhir pekan dalam panasnaya batu bara, ku benar-benar hadir dalam acara lamaran itu yang dihadiri oleh sekelompok keluarga yang sederhana. Kulihat pemuda itu disana lantas ku ucapkan selamat padanya dan darinyalah aku tahu bahwa ia dan salwa bersikeras mengundangku dalam acara keluarga tersebut, mereka mengnggap bahwa ku hidup sendiri setelah ku membantu mereka, khususnya bahwa kotak yang pemuda berikan padanya itu berisi cincin lamaran untuk mengngukuhkan dan memperbaiki niatnya setelah Salwa menyangka bahwa pemuda itu tidak jujur padanya, ku amat sangat bahagia tiada tara. Semenjak anak-anak tumbuh dewasa ku belum pernah merasa memiliki nilai dan hal penting dalam hidup ini, pada hari itu kehidupan bertambah dalam rumah, ku merasa bahwa aku merupakan pahlawan legenda yunani yang mana namaku akan terkenang dalam hati pemuda dan pemudi ini, meskipun apa yang sudah ku perbuat bukanlah sesuatu yang pantas tuk dikenang. Dimalam itu ku tidur nyenyak, tidur yang tak pernah ku rasakan sejak lama, walaupun semua jenis obat-obatan sudah kugunakan untuk tidur.
Bagi ku Setiap hari berlalu seperti petualngan baru, hingga berbagai kearifanku bertambah sebagai hasil dari duduk-duduk di balkon. Setiap pejalan kaki yang lewat menyapa dengan salam dank ku jawab sama seperti salam mereka atau ku jawab lebih baik dari salam mereka, sejalan dengan itu hari- demi hari berlalu dengan kebosanan tak terdapat sesuatu yang dapat dikenang, akan tetapi mayoritas hari-hari merupakan kegembiraan, hari dimana kulihat seseorang menyerang sebuah mobil yang sedang diparkir di samping jalan dimana orang itu memecahkanya dengan kampak yang ia bawa. Ketika suatu hari kulihat pemilik mobil itu berdiri disampingnya dengan sekelompok polisi bagian kriminal, kemudian ku turun dan memberi tahu mereka atas apa yang ku lihat. Ku pergi ke bagian kepolisian bersama mereka dimana ku menyatakan kesaksianku disana. Setelah kejadian itu ku merasa bahwa diriku merupakan seorang yang berguna dalam masyarakat, bukanlah seorang laki-laki tua kesepeian yang dilupakan oleh anak-anaknya. Masa-masa terus melaju, ku memiliki pendengaran yang baik di desa, disetiap kesempatan penduduk desa selalu mengundangku/mengajakku, seperti halnya ku berpartisipasi dalam memimpin pembangunan masjid, pengumpulan dana di hari-hari bulan Romadhon dan pembagian zakat fitri.
Semua ini tidak akan terjadi jika ku tidak memanfaatkan balkon itu dan membuka pintu kehidupan yang belum ku ketahui sebelumnya. Ku bersyukur kepada Allah karena hal itu ku tidak tinggal dalam kesendirian yang menemaniku bahkan anak-anakku, ku tidak lagi merasa kehilangan mereka seperti yang pernah ku rasakan sebelumnya. Balkon memberikanku kehidupan baru, kesibukan dan memperkaya ku dengan kekuatan dan rasa cinta. Aku tahu bahwa kehidupan tidak akan berakhir kecuali dengan adanya kematian, sebagai ganti dari hal itu kehidupan berinovasi dalam bentuk dan model yang berbeda.
Kisah Saudi *
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment