Translate

Sunday, April 7, 2013

GERIGI MAHKOTA SIGER

GERIGI MAHKOTA SIGER Lautan terhampar luas. Kupandangi sekelilingku hanya dapat kulihat beberapa pulau-pulau kecil. Aku tak tahu apakah pulau-pulau itu berpenghuni, tetapi nampak ada beberapa perahu nelayan dan gubuk disana. Angin terus berhembus, mengombang-ambingkan rambutku. Kuhanya menatap buih-buih air yang semakin menjauh dan menghilang. Sesaat kupalingkan wajahku. Sudah tampak dari kejauhan bagunan khas, berwarna kuning emas dengan tujuh tanduk besar. Landmark of Lampung, Menara Siger yang menjadi tanda sebagai titik nol pulau Sumatra. Bangunan dengan tinggi sekitar 30 m menjadi tanda bagi para penumpang kapal bahwa mereka sudah mendekati pulau Sumatra. Bangunan yang menjadi icon Lampung saat ini juga menjadi tempat pariwisata. Dari dalam Menara Siger kita bisa melihat luasnya Selat Sunda. Keindahan alam yang diberikan sangat luar biasa. Dari ketingggian 110 diatas permukaan laut. Ya, kalau di Paris ada menara Eiffel, Jakarta ada Monas, Bukittinggi ada Jam Gadang, Palembang ada Jembatan Ampera, Bandung ada Gedung Sate, Kalimantan Barat ada Tugu Khatulistiwa dan Yogyakarta ada Tugu Jogja. Nah, kalau di Lampung inilah iconnya, Menara Siger. Selintas kuingat bahwa Siger merupakan benda yang sangat penting bagi penduduk Lampung, baik yang beradat Saibatin maupun Pepadun. Siger direpresentasikan sebagai mahkota keagungan dalam adat budaya Lampung. Guruku dulu pun pernah berkata bahwa siger bukan hanya sekedar lambang dari daerah Provinsi Lampung, melainkan gambaran dari sikap orang lampung sejak dulu. Jadi, benda ini memiliki makna filosofi yang sangat dalam bagi masyarakat lampung, khususnya pribumi. Lima kembang penghias Siger itu yang melambangkan lima sikap penduduknya, yakni: Pill Pusanggiri, Juluk Adok, Nemui Nyimah, Negah Nyampur dan Sakai Sambayan. Kepulanganku saat ini karena kakak perempuanku akan menggunakan mahkota Siger pada acara pernikahanya. Sungguh merupakan kebanggaan bagi kami. Menurutku tak salah kiranya Siger ini dijadikan icon Lampung, mengingat makna Siger yang sudah melekat erat pada masyarakatnya. Menara yang terlihat dari tengah lautan menunjukan titik nol pulau Sumatra yang dimulai didaerah yang dulu dikenal sebagai sumber Lada Hitam. Dalam perjalanan dari Bakauheni ke Tanggamus. Karena sudah lama tak pulang, ku benar-benar dibuat kagum. Disetiap toko, rumah, pusat perbelanjaan terdapat hiasan Siger diatas pintunya. Benar-benar simbol yang dijadikan ciri khas provinsi ini. Jadi, kalau disebut kata Siger pastilah Lampung yang dituju. Seperti Jakarta dengan Monasnya, pada level internasional seperti New York dengan patung Liberty, Paris menara Eiffel. Dalam perjalanan tak hentinya ku memandangi bangunan-bangunan itu. Hingga rasa lelahku selama perjalanan membuatku terlelap dalam kekaguman. *** Rumah sangat ramai. Kebun-kebun coklat dekat rumah masih terlihat berjejer rapi seperti empat tahun yang lalu saat ku tinggalkan daerahku ini, hanya ada sedikit perubahan, dimana berdiri rumah baru yang masih sangat asing bagiku. Kulihat anak-anak sudah hilir mudik ke sekolah, muda-mudi sudah mulai beraktifitas. “Dimana kakaku?” pikirku Beberapa saat kulihat ia sedang duduk bersama ibu di ruang tengah, ia tampak bahagia, ku pun ikut bahagia. “Kakak akan memakai mahkota Siger itu?” tanyaku padanya. “Iya, tentu” jawab kakak dengan yakin. “Apa kamu ingin mencobanya?” ia balik bertanya seraya tersenyum. “Nampaknya sangat berat, apa kakak mampu memakainya?” candaku padanya. Namun ia hanya tersenyum. “Kami dulu sering bertengkar masalah-masalah sepele. Karena ia anak wanita satu-satunya, terkadang kumerasa iri melihat perhatian lebih padanya. Namun sekararang berbeda. Suaminyalah yang akan membimbingnya. Mungkin kuakan sulit bertemu denganya lagi. Apalagi sekembalinya aku ke kota. Bahkan mungkin tak akan berjumpa lagi” ujarku dalam hati. Sebelum hari pernikahanya, rumah sangat ramai. Bersama masyarakat aku memasang tarub hingga ke daerah tetangga. Membabat rumput-rumput yang sudah mulai meninggi, mempersiapkan segalanya. Acara ini seperti acara mereka sendiri, sikap gotong royong yang hangat yang sudah lama tak kurasakan saat tinggal di kota. Seperti sikap masyarakat yang tercermin dalam lima kembang penghias yang bertengger pada Siger, salah satunya yakni Sakai Sambayan (senang bergotong royong dan saling membantu dengan masyarakat luas). Dihari pernikahan, seperti adat biasanya, kakaku keluar dengan pakaian adat Lampung, ia nampak bagai seorang putri raja, berjalan anggun dengan mahkota Siger dikepalanya. Pipinya kemerah-merahan, kakaku sangat cantik. Ia tersenyum melihatku. Ia berjalan perlahan-lahan. Namun Saat kuperhatikan, nampaknya ada yang aneh. “Mahkota Siger itu, kenapa jumlah tanduknya ada 13?” Tanyaku dalam hati. Kuperhatikan sekali lagi dan kuhitung berulang-ulang, satu, dua, tiga, empat..... tiga belas. Bukankah seharusnya tujuh atau sembilan. Dengan angka tiga belas itu ku mulai berfikir yang aneh-aneh. Angka jelek, angka buruk, angka membawa sial. “Ini pasti karena mataku yang sudah agak rabun” kucoba yakinkan diri. Belum pernah kulihat ada mahkota Siger bertanduk 13. Sambil berfikir kucoba meyakinkan diriku. Kucoba tenang, namun masih saja pikiranku bertanya-tanya. Saat pikiranku masih kacau karena keanehan itu, mendadak suasana hening, hilang, sangat sepi, tak terdengar suara-suara kecil pun ditelingaku. Orang-orang terlihat panik, gugup. Getaran apa ini. Makin lama makin membesar. Tiba-tiba kesunyian itu pecah, suara gemuruh orang-orang dimana-mana, mereka panik. Dari kejauhan terdengar suara yang kian detik terdengar makin jelas. Lindu....lindu...ada lindu... semua orang makin panik, lari tunggang-langgang. Getaran semakin kuat, kucoba tetap berdiri. Gempa ini makin besar, entah berapa skala richter. Tanah seolah naik turun menggoyak isi perutku, sudah tak jelas pandangan ini karena semua sudah bergoyang tak tentu, bangunan-bangunan pun nampaknya ikut bergerak tak tentu. Seperti berada di lautan dengan ombak yang besar, kami semua terombang-ambing. Tarub- tarub yang telah kami pasang semuanya rubuh, panggung pernikahan berantakan. Kepalaku makin pusing. Semua orang berlarian tak tentu mencari tempat berlindung, Semua orang berfikir menyelamatkan diri mereka masing-masing. Gempa ini makin besar, dimana kakak, dimana keluargaku. Semuanya mulai tak tampak, puluhan orang berlarian disekitarku serta berteriak-teriak ketakutan. Sesaat kemudian suasana kembali sunyi, banguanan-bangunan tinggal puing-puing, sudah rata dengan tanah. Semua gelap. *** Saat semua menjadi terang. Kusadar sudah dimana kuberada, tempat yang sangat ramai, mulai dari laki-laki, wanita, anak-anak serta wanita-wanita sepuh berkumpul dalam satu tempat. Tenggorokanku terasa kering. Lemas sekali rasanya tubuh ini. Kulihat sekelilingku semuanya rata, orang-orang meratapi apa yang sudah terjadi. Semuanya berantakan. “Lalu dimana kakak, ibu dan ayahku. Dimana keluargaku? Ku bertanya pada diri sendiri. Segera kucari mereka. Kuperiksa satu persatu barak-barak pengungsian yang penuh dan sumpek itu. Namun tak ada tanda-tanda keberadaan mereka. Setelah beberapa saat mencari, dari kejauhan nampak seperti benda yang membuat pikiranku ingat sesaat sebelum gempa itu datang. Itu... mahkota siger kakaku. Ku yakin itu. Segera ku menghampirinya dan berharap keluargaku berada disana. Iya, ini mahkota Siger kakaku, bertanduk 13, jumlah angka yang membuatku merinding. Kenapa mahkota ini bertanduk 13. kumenoleh ke kanan dan kekiri mencari keluargaku dengan mahkota masih ditangan. Seorang petugas yang melihatku mendekat dan bertanya. “Maaf apa yang sedang abang cari, adakah yang bisa saya bantu?” tanya petugas itu menawarkan bantuan. “Oh, iya, dimana benda ini ditemukan. Aku mencari keluargaku, kakaku yang memiliki mahkota ini”. Ujarku dengan penuh harapan bahwa mereka masih hidup dan bisa berjumpa denganku. “Kalau begitu abang ikut saya” ajak sang petugas. Petugas itu berjalan sangat cepat, aku pun ingin menyusulnya. Kami melewati beberapa barak yang tadi belum sempat kudatangi. “Innalillahi wa inna ilai raji’un,” aku kaget. Setelah melalui beberapa barak-barak itu, kumelihat ada satu barak yang penuh dengan mayat-mayat korban gempa. Rasa ketir dihatiku mulai muncul. Begitu banyak korban, tak kuasa kumelihatnya. Sambil terus mencari, hatiku mulai merasa lemah. Air mataku mengalir seraya menyebut ketiga orang yang kusayangi itu. Bibirku gemetaran. “Ya Allah jika benar diantara mayat-mayat ini ada keluargaku, sungguh tak kuasa ku berdiri tegak menahan berat tubuhku. Air mata ini pun mungkin akan menguras muaranya hingga kering habis” ujarku dalam hati. Dengan rasa sendu dan tangis kecil, kumulai menyusuri satu persatu mayat tersebut. Ketika melihat wajahnya dalam hati kuberharap bukan keluargaku, bukan keluargaku. Hingga akhir, tak kudapati keluargaku terbujur lemas diantara tubuh-tubuh tak berdaya itu. Hatiku merasa lega namun masih timbul kecemasan karena aku belum menemukan mereka. “Salah seorang petugas mengatakan bahwa mahkota itu berada ditangan salah satu mayat saat benda itu temukan” petugas itu berkata dengan mengelus pundakku mencoba memberikan dorongan untuk bersabar. “Apa petugas disini memiliki daftar nama-nama korban yang selamat ataupun meninggal Pak?” dengan masih berbalut kesedihan kubertanya. “Mari ikut saya” ajak petugas itu lagi. Ia berjalan lagi dengan cepat, namun kali ini aku tak bisa mengimbangi jalanya. Kuberjalan lurus dengan kepala menoleh kekiri dan kanan melihat semua kehancuran yang disebabkan beberapa menit gempa dahsyat itu. Sesampainya di post jaga. Kumulai memeriksa nama-nama korban yang meninggal satu persatu. Ku mulai dari daftar itu dan berharap tidak ada daftar nama keluargaku baik ibu, ayah dan kakak perempuanku. Dari lembar pertama kubalik, kedua ketiga hingga lembar terakhir. Total korban tewas mencapai lebih dari 80 orang. Setelah yakin memeriksa daftar tersebut. Kuberalih ke daftar korban selamat. Dengan penuh antusias kuperiksa detail sekali, satu nama bisa kueja berkali-kali. Lembar pertama, lembar kedua, pada lembar ketiga, dibaris ke 13 ada nama Lestari. “Ini nama kakaku. Iya ini nama kakaku. Alhamdulillah” ucapku keras Kucari lagi nama kedua orang tuaku. Lembar demi lembar namun tak ada. “Kenapa tidak ada” ujar ku berbisik. Kembali kuperiksa lembar ke tiga, baris ke 13, Lestari..... “Iya ini nama kakaku,” Tapi,.. dari desa Pejulungan sedangkan desaku Waydalam. Kembali ku berlinang air mata. Apa-apaan ini. Kenapa nama mereka sama, ingin sekali kuganti nama desa Pejulungan itu dengan nama desaku, lalu kurobek-robek kerta itu menjadi serpihan-serpihan kecil. Kembali kududuk tersungkur ke tanah. Tak habis pikir, nama ketiga orang yang kusayangi tidak ada baik didaftar kematian maupun orang selamat. Aku hanya terdiam. Sesaat ku bangkit dan bertanya lagi. “Apakah ada buku daftar lain Pak?” “Ini ada buku daftar nama warga yang belum ditemukan hingga saat ini?” ujar sang petugas Kuambil buku itu, mataku lembab dengan air mata yang sedari tadi mengalir. Kubuka hanya ada satu lembar. Ada tiga orang yang belum ditemukan. Tertulis nama, Ujang Ahmad, Murnia dan Lestari ketiganya dari desa Waydalam. Mataku yang sudah lembab membengkak. Kembali melinangkan air mata. Mereka belum ditemukan, keluargaku menghilang. *** Hari demi hari. Kumasih setia di pengungsian. Menanti petugas menemukan keluargaku yang hilang. Aku tak tahu nasib mereka karena menghilang dan tak ada kabarnya sama sekali. Aku hanya percaya dan yakin mereka masih hidup. Hari ke tujuh setelah gempa. Suasana pengungsian sudah tak seheboh kali pertama. Nampakanya mereka sudah mulai beraktifitas meski masih sebagai pengungsi, mencari puing-puing tersisa, menanti bantuan pemerintah, dan mengharap kemurahan hati orang lain. Anak-anak bermain di sekitar situ, berlari-lari. Mereka tak sekolah karena bangunan sekolah pun ikut rata dengan tanah. Keesokan harinya kuikut bersama petugas berjalan-jalan melihat puing-puing rumah yang runtuh. Kuputuskan untuk pergi kedesaku, melihat kondisi rumah, tarub-tarub dan pangung kebahagiaan yang pastinya porak-poranda. Sementara ini tak ada angkot yang beroprasi. Menuju ke rumah memerlukan waktu dua jam dengna berjalan kaki karena barak pengungsian berada di daerah kota. Selama perjalanan hanya puing-puing yang kulihat, sesekali ada beberapa warga yang mencari barang-barang yang masih bisa digunakan. Sesampainya didesaku. Suasana sepi. Hanya beberapa orang saja yang tampak. Rumahku hancur, tarub, kayu-kayu panggung itu masih berada disana belum dibereskan. Semua nampak sangat luas tak ada yang menghalangi pandanganku. Kucoba duduk beberapa saat di atas puing-puing rumahku. Kutarik nafas panjang. “Dimana keluargaku, selamatkanlah mereka, pertemukanlah kami” air mata itu kembali menetes. Tak ada yang tersisa. Hanya puing-puing. Malam itu kuputuskan untuk bermalam disana. Angin dingin berhembus menjalar tubuh kurusku. Malam ini gelap sekali hanya sinar rembulan yang masih bersinar. Entah ia tersenyum atau ikut sedih bersamaku. Malam itu, hanya doa yang selalu kulantunkan. Harapan, keyakinan bahwa mereka masih hidup dan kami akan bertemu lagi. Kubaringkan tubuhku yang disenari rembulan. Mulutku tak henti berdoa, hatiku terus berharap dan percaya namun mataku pun tak henti-hentinya mencucurkan air mata. Mataku sembab basah. Beberapa saat, ada suara seseorang yang membangunkanku, ia menyentuhku, mengerakan tubuhku. Karena tangis, mataku menjadi lengket dan sulit untuk kubuka. Seseorang berucap, “Hey,.... kenapa matamu, kamu tidur sambil menangis”. Ku kenal suara itu.. itu suara kak Lestari. Allah mengabulkan doaku. Kukucek mataku agar bisa melihatnya. Benar ini kakaku, kak Lestari. Ia selamat, apakah ini hanya mimpi. “Kakak selamat” teriaku kegirangan. Semua orang melihatku heran. Kuterus berteriak, bersyukur, “Ya Allah terimakasih, Engkau selamatkan kakaku”. “Hey, Yan, kamu ini kenapa?” tanya kakak bingung. Ku tersenyum melihat wajahnya. Namun beberapa saat kemudian, kulihat sekelilingku, ada ibu, ayah dan para tetangga melihatku keheranan. Sekarang aku yang heran ada apa ini. Ini desaku, rumahku, kakak, ibu, ayah dan para tetangga serta ini mahkota siger betanduk sembilan bukan tiga belas. Kuberlari keluar. Kulihat sekelilingku semuanya kembali seperti semula. Kumasih heran. Keluargaku ikut keluar dan merasa heran dengan tingkahku. Dengan tersenyum kuberteriak, “Terimakasih ya Allah”. Aku benar-benar tak tahu apakah tragedi gempa itu hanya mimpi ataukah saat ini aku sedang bermimpi dan semuanya saat ini hanyalah mimpi. Entahlah, yang pasti, kubersyukur karena saat ini kuberkumpul dengan keluargaku. Kulihat lagi mahkota Siger kakakku ini, kuyakin tanduknya ada sembilan bukan tiga belas. By : Septian S BIODATA Nama : Septian Saputro Alamat asal : Kuripan, Kotaagung, Tanggamus, Lampung Alamat sekarang : Jl. Ambarukmo. RT 01 RW 02. No. 107 Condongcatur Yogyakarta. No Handphone : NIK : 1806012409900001 Alamat Facebook : ianseptian12 Alamat Twitter : @septiansaputro ianseptian12@yahoo.co.id

No comments: