Translate

Sunday, April 7, 2013

Cerpen : Harapan sang lilin kecil

kalau nulis aja mungkin mudah tapi hasilnya belum tentu baik. semua orang bisa menulis tapi ngak semua orang bisa menulis dengan baik. ada baiknya mengikuti saran ini kalau pengen nulis "kalau mau nulis-nulis aja jang dipikir dulu" ini baik buat kita biar gak terlalu pusing mau nulis apa yang dipikir baru nanti hasil tulisanya. namun baiknya jika dibuat kerangka biar tulisanya gk lari ngalor ngidul. so friend... nulis itu kebiasaan. Harus banyak prakteknya selain itu juga harus banyak baca. jadi yuk kita sama-sama belajar menuangkan pikiran bukan hanya dengan celotehan tapi dengan tlisan. HARAPAN SANG LILIN KECIL Tok.. tok.. tok tok tok … inilah suara ketukan pintu yang setiap harinya ku dengar pukul 03.00 dini hari, ketukan lemah lembut dari jari-jari mungil seorang anak wanita, adikku yang tiga hari lagi akan menginjak usia delapan tahun. Nadia Salwa Nisa, suaranya yang agak serak basah ditengah campuran suara guyuran hujan membuat suaranya makin sayu melembut, gadis mungil belahan hatiku, bidadari dan malaikatku, satu-satunya wanita yang ku miliki setelah dua tahun lalu keluargaku menghilang. Kami tinggal bersama bu Yanti, pembantu orang tua kami yang masih mau setia menemani kami. Hingga saat ini tidak sekelumit informasi pun ku dapatkan mengenai keluargaku, hingga putus asaku mencarinya. Lebih-lebih lemahnya hatiku juga membuat cibiran orang-orang itu makin menciutkan hati. Namun berbeda dengan Nadia, ia hanya bersandar dengan keluarga tidak kurang dari enam tahun, keyakinanya yang tak wajar bagiku selalu memacuku untuk terus optimis dan tersenyum. Terkadang ku berfikir di umur yang akan menginjak delapan tahun ini, ia bisa bersikap dewasa jauh melebihi diriku. Tok…tok..tok.”.Kak.”.sapa Nadia membangunkanku lagi, sekejap ku tersadar dari lamunan persekian detik tadi, ku lihat jarum jam sudah akan mengunjungi angka tiga tepat. Seperti biasa saya harus bangun, ucapku dalam hati. “Iya Nadia..” selaku seraya melangkah kearah pintu, ku buka perlahan, tampak wajah penuh keceriaan berseri-seri memancar, rautnya yang manis menambah semangtku, kemudian ku kecup keninganya seraya berkata “Kakak akan ambil wudhu dulu, Nadia tunggu diruang shalat ya”. “Iya kak” jawab Nadia sembari tersenyum. Setelah shalat tahajud kami berdoa, seperti biasa Nadia yang memimpin, ketulusan hatinya membuatku seolah-olah bisa menentukan takdir bahwa nantinya ia akan menjadi panutan. Amin... seru Nadia. Tanpa sadar ia telah usai berdoa, kali ini ku melewatkan doa bersamanya dalam lamunan. Ku tarik ia kepangkuanku, kupeluk erat sekali seakan kami akan berpisah jauh.. beberapa detik hening menyelimuti kami. Kak,, “suara Nadia terlontar. “Ia Nadia”. ku jawab perlahan. Nadia melanjutkan “Kita akan berjupa ayah dan ibu”. Ku peluk ia makin erat. “Nadia janji” tambah Nadia meyakinkanku. Mendengar kata-kata itu tak tahan ku bendung tangis ini, ku peluk erat Nadia, ku sapu linangan air matanya yang sedari tadi mengalir tersendat-sendat, makin erat pelukanku, semakin erat. Senduku lapisi dengan senyum lantas ku berkata “Iya Nadia benar, kita akan bertemu ayah dan ibu, ditempat yang indah dimana ada Nadia-Nadia mungil lain dan kak Diana lain”. “Tidak kak” sangah Nadia. “Mereka akan menghampiri kakak dirumah ini, mereka akan membawa seorang anak laki-laki sementara Nadia akan menemui ayah dan ibu”. Ku turut dalam tangisan bersama Nadia, kata-kata itu menyelinap masuk ke hatiku menyentuh muara yang terselubung kerinduan akan ayah dan ibu. *** Pukul tujuh kurang lima belas menit, setelah berpamitan dengan bu Yanti yang sedang berada di dapur, ku antar Nadia ke sekolah dasar, tidak jauh dari tempat kami tinggal hanya 100 M. Nadia dikenal oleh guru-guru, sebagai anak yang cerdas, pemberani, santun dan bersemangat, mereka menilai Nadia lebih dewasa dari teman-temannya. Satu bulan yang lalu, saat diadakan lomba pidato dengan tema; Orang Tua, Anak dan Masa Depan, secara mendadak ia diminta menggantikan Rudi teman sekelasnya yang tiba-tiba sakit saat akan berlomba. Tanpa pikir panjang dan persiapan apapun, ia mengangguk lantas berkata., “Iya, dan saya bisa bu”.. yang membuat para guru takjub yakni ia mampu berpidato dengan semangat membara tanpa terputus-putus, seakan-akan piawai berpidato seperti bapak Soekarno, Bung Hata, Bu Kartini, ia berkata-kata seindah mutiaranya Imam Gahazali dan Imam syafi’i. Diujung pidatonya ditengah ribuan mata menyaksikan, ia berdiri tegak agak condong ke kanan, tangan kanannya menggenggam dan tangan yang lain ia dekapkan di dada kanan, dengan semangat ia berucap “ Teman-teman, hidup optimis, hidup yang punya masa depan, pesimis akan suramkan hal-hal bahagia yang ada dihadapan kita”. “Untuk teman-teman yang masih berbalut kehangatan kasih sayang papa-mama” suara Nadia makin meredup. Seketika Nadia memandang sekelilinganya, ia memandang langit dan berkata dalam hati “Tuhan, tak lama saya merasa hangat pelukan mama, kasih sayangnya saat ini ingin ku persembahkan untuk kakakku tercinta, kak Diana. Tetesan air mata Nadia, mulai mengalir menemani akhir pidatonya.. ia masih memandang langit, matanya terus berlinang air mata. Penonton terbawa hanyut kesedihan Nadia, mereka ikut menangis, dari kejauhan dipojok kursi belakang ku saksikan sendiri adik kecilku, andai ayah dan ibu ada, mereka akan bangga. **** Pagi hari sedikit cerah, bayangan pepohonan tak tampak karena matahari dipunggungi awan. Rumah sepi, namun tiba-tiba Nadia berteiak..”Kak Diana……” ia berlari, berteriak-teriak. Kekanak-kanaknya tampak. “Ada apa Nadia..?” “doa Nadia akan segera terkabul kak ?. “Doa “?? Dahi ku mengerut bingung. Nadia hanya tersenyum, ia berlari mendekatiku dan mencium pipi kananku, sebelum ku berucap ia langsung pergi ke kamarnya lagi. “Ada apa Diana?” Tanya bu Yanti heran. “Tidak bu, itu Nadia tampaknya bahagia sekali, doanya kan terkabul, doa yang mana ya bu?”.. “Entahlah” jawab bu Yanti. “Apapun doa Nadia, ibu rasa itu hal yang baik buat dia dan kamu”. “Nadia bisa memahami keadaan dan ingin merubahnya, ia calon wanita yang hebat, dan tegar Din” Bu Yanti melanjutkan, “Kamu juga harus bahagia Din, bukankah keluarga Rio akan datang melamarmu malam ini”, senggol bu Yanti agak genit. Aku hanya tersenyum dan berkata : “Iya bu…” Jantungku berdebar kencang, darah cepat melaju mengitari tubuhku, namun tanganku terasa dingin kaku. Ku ambil segelas air putih, ku teguk. Ku bahagia karena malam ini akan ada yang melamarku. Nadia sejak tadi mengamatiku, ia tercengang melihat kakanya yang modar-mandir mengambil air minum. “Kak Diana, duduk sini..” ia mengulurkan tanganya mengajakku duduk. “Tenang kak.” mutiaraku berucap. Ia merangkulku. “Kakak akan hidup bahagia dengan kak Rio” Bisik kecil Nadia. “Nadia akan ikut kakak” kataku pada Nadia. “Tinggal bersama kakak dan kak Rio”. “Tidak kak” sanggah Nadia. “Nadia tidak ingin merepotkan dan menjadi beban kakak, Nadia punya tujuan, cita-cita tinggi, Nadia ingin menjadi seorang yang bisa memberi kehangatan kepada orang lain. Nadia ingin jadi lilin meskipun terang redup tapi ia masih bisa menerangi sekitarnya, kakak kuat, Nadia pun kuat, kita wanita kuat kak”. “Nadia…” keluh ku. “Kamu satu-satunya keluarga yang kakak punya, haruskah kita berpisah?, kakak tak sanggup Nadia”. Nadia melepas pelukanya dariku ia menggenggam tanganku kemuadian berkata “Nadia akan selalu bersama kakak, meskipun tidak dalam satu tempat kak. Jiwa Nadia selalu ada jika kakak menyadarinya”. Perbincangan kakak dan adik tersebut berlangsung lama hingga keluraga Rio datang, proses lamaran berjalan lancar, dan langsung menentukan tanggal pernikahan. *** Dua hari lagi halalku, debar-debar ini tidak hanya karena aku akan memiliki pendamping hidup tetapi juga karena akan berpisah dengan adikku yang tak ingin tinggal bersama. Untuk beberapa saat aku akan sering mengunjunginya. Hari H (hari pernikahan) berjalan lancar. Sehari, dua hari, tiga hari dan berhari-hari ku selalu mengunjungi Nadia tiap sore. 21 April 2012, sore hari tak seperti biasanya, rumah sepi. Nadia tak tampak, bu Yanti juga tak tampak. “Kemana mereka?” pikirku resah. Diluar ada suara mobil menderum dan berhenti didepan rumah, Rio suamiku kembali, ia tergesa-gesa masuk kerumah hingga lupa mengucapkan salam. Dengan terengah-engah ia berkata “Dek... kita kerumah sakit Mitra sekarang, Nadia dirawat”. Sontak ku kaget, wajahku memucat pasi, tanganku gemetar tak karuan, kedua kakiku rasanya tak kuat menopang hingga ku seperti akan jatuh. Suamiku menuntunku masuk kedalam mobil. Kami meluncur cepat ke rumah sakit Mitra, dengan rasa cemas, ku berlinangan air mata, mengucur deras. Rumah sakit Mitra tak seramai pasar malam dengan kegembiraan, banyak isak tangis dipojok ruangan yang beberapa tulisanya sudah hilang (KA AR M YAT) . Namun hal itu tidak menafikan kegembiraan sekelumit orang yang bersyukur karena keluarganya sudah bisa dibawa pulang. Didepan ruangan khusus yang saya tak tahu namanya, bu Yanti tampak duduk sendiri, kami langsung menemuinya. Dari luar kamar ku bisa melihat Nadia berbaring. Ku masuk dan menemuinya, Nadia tampak sehat, tak terbalut perban, tak ada luka ditubuhnya, tak ada tanda-tanda ia harus berbaring di ranjang besi, ia diselimut kain hitam putih memanjang. Nadia tersenyum. Ku bertanya dan memegang tanganya “Kenapa Nadia bisa berada disini?” Ia tak menjawab pertanyaan ku, justru kata-kata yang keluar dari dua bibir tipisnya adalah “Ini jalan menuju terkabulnya doaku kak, doa yang sudah hampir dua tahun ini kita lantunkan, dalam selubung kain putih bertali diatas hamparan sajadah”. Nadia melanjutkan “Ibu ayah sudah datang kerumah dengan seorang anak laki-laki, Nadia juga akan menjemput ibu dan ayah. Kita akan hidup bahagia kak, meskipun tidak dekat, jiwa Nadia akan ada bersama kakak. Nadia sayang kakak..”.. Semua terdiam, Nadia juga terdiam senyap, keharuan masuk dalam ruangan ukuran 4 X 5 M itu. Literan air mata mungkin sudah ku keluarkan, hingga rasanya kering tak kumiliki lagi. Namun malam itu semua tersapu suasana haru, untuk terakhir kalinya ku peluk erat tubuh adik ku, air mataku mengalir kembali, air mata yang berasal dari sumberku yang terdalam yang menjadi saksi perpisahan kami. Ku sudah bertemu dengan ayah ibu yang menjadi orang tuaku, dan anak-lakinya menjadi suamiku, Nadia pergi, menjemput ayah dan ibu... “Tidak” ! ia tidak pergi. Semangatnya, cita-citanya, tekadnya, pikiranya, dan senyumannya selalu ada mendampingiku. Setahun kemudian seorang anak wanita hadir kedunia, ia merupakan pencerah, lilin baruku. Ku namai ia Nadia Putri Diana anak ku jiwa adik ku.

No comments: