Makalah dipresentasikan pada
mata kuliah Studi Naskah Pemikiran Bahasa Arab Oleh
Mamat Zaenuddin
03.3.00.1.06.01.0059
Dosen Pembimbing Prof. Dr.
HD. Hidayat, M.A
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA
ARAB PROGRAM PASCASARJANA (S3) UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2004
Beberapa Istilah Ushul Nahwu yang
dipengaruhi oleh Ushul Fikih
Pengaruh ulama ushul fikih terhadap ulama
ushul nahwu tampak pada pengertian ilmu. Para ulama ushul nahwu meniru ulama
ushul fikih dalam pengertian ushul dan dalil-dalilnya.
1. Istishhab al-Hal Istishhab al-hal
adalah suatu istilah dalam ushul fikih yang digunakan oleh para ulama ushul
nahwu. Istilah ini lahir pada periode terakhir ulama ushul nahwu, yaitu setelah
abad ke 4 H. Ibn Jinni tidak menggunakannya, sekalipun ada pemahaman yang sama
dengan istilah ini. Ini yang kita temukan dalam “Al- Khashaish”, juz 2, halaman
459, suatu bab dalam menetapkan ucapan-ucapan menurut posisi awal sebelum ada
usaha untuk meninggalkan dan merubahnya. Inilah yang diistilahkan dengan
“istishhab al-hal”, istilah fikih yang didefinisikan oleh para ahli fikih
dengan : “Penetapan hukum atas sesuatu dengan keadaan yang berlaku sebelumnya
sampai ada dalil yang merubah keadaan itu”, atau “Pemberlakuan hukum yang
berlaku pada masa lalu untuk masa kini sampai ada dalil yang merubahnya” (Ilmu
Ushul Fikih, hal. 91)
Ibn al-Anbari berbeda dengan Ibn Jinni,
beliau menggunakan istilah ini dan mendefinisikannya. Katanya : Ketahuilah
bahwa istishhab al-hal termasuk dalil yang mu’tabar, sedangkan yang dimaksud
dengannya adalah menetapkan keadaan asal dalam ism yaitu i’rab, dan menetapkan
keadaan asal dalam fi’il yaitu bina sampai ada yang mewajibkan bina pada ism
dan mewajibkan i’rab pada fi’il. Adapun yang mewajibkan bina pada ism adalah
serupa harf atau yang mengandung makna harf. (al-Lam’u, hal 141)
2. Al-Qiyas bi ilghai al-Fariq Di antara
istilah fikih yang terdapat pada ulama ushul nahwu adalah istilah “alqiyas bi
ilgha al-fariq” (qiyas dengan mengabaikan yang berbeda), yaitu tidak boleh ada
perbedaan di antara dua bentuk yang berpengaruh dalam Syara’ (Al- Qiyas fi
al-Syar’i al-Islami : 6).
Al-Suyuti membicarakan istilah ini pada
saat berbicara tentang masalik al-‘illah, dia mengemukakan “ilgha al-fariq”
dalam pernyataannya bahwa ilgha al-fariq itu ialah penjelasan bahwa furu’ tidak
boleh berbeda dengan asal, kecuali pada halhal yang tidak ada pengaruhnya.
(Al-Iqtirah : 88)
3. Istilah-istilah yang berhubungan
dengan Hukum Pengaruh ushul fikih terhadap ushul nahwu juga terdapat pada
hal-hal yang berhubungan dengan hukum, yaitu salah satu rukun qiyas. Para ahli
nahwu menggunakan istilah-istilah (wajib, wujub, jaiz, jawaz, hasan, qabih,
hasan qabih, dan sebagainya) yang kesemuanya merupakan istilah-istilah fikih.
4. Istilah Istihsan termasuk istilah
ushul fikih yang berpengaruh terhadap ushul nahwu. Istilah ini bagi imam
Syafi’i dalam bukunya al-Risalah, salah satu sumber rujukan ushul fikih yang
paling maju, seperti yang dia katakan : “Selain Rasulullah saw. tidak ada yang
berhak memberi dalil terhadap suatu yang terjadi, keadilan dan pahala seorang
hamba, dan tidak boleh menggunakan istihsan, karena dengan istihsan berarti
mengada-ada, tidak seperti contoh yang lalu”. (Al-Risalah : Masalah 70)
Ibn Jinni menggunakan istilah istihsan
dalam bukunya “Khashaish” dan menjadikannya satu bab, yaitu “Bab fi al-istihsan
wa jama’ihi), bawa ‘illahnya lemah tidak memberikan hukum selain sekedar bagian
dari ittisa’ dan ta’arruf.
Bentuknya ada beberapa macam, di
antaranya adalah (istihsan dan isti’dzab) Wawu diganti dengan ya karena istihsan,
bukan karena kuatnya ‘illah, seperti ن____ dan ن____ . Pemindahan pada __ dan ن__ ,
semata-mata karena istihsan dan itsar, bukan karena wujub ‘illah. Istihsan
karena darurat ‘illah, istihsan bukan karena kuatnya ‘illah dan bukan karena
istimrar, dan ucapannya : Perkataan mereka __ dan ___ ر semuanya adalah istihsan bukan karena
istihkam ‘illah.
Istilah istihsan juga digunakan oleh Ibn
al-Anbari, dia berkata : Ada yang berkata bahwa istihsan itu adalah
meninggalkan qiyas ushul karena membingungkan. Ada juga yang berkata bahwa
istihsan itu merupakan pengkhususan ‘illah, Dan ada juga yang diceriterakan
dari beberapa orang bahwa istihsan itu adalah apa-apa yang dianggap baik oleh
manusia tanpa dalil. Ibn al-Albari di sini hanya menunjukan batasan istihsan
menurut para ulama bukan memberi batasan.
5. Tarkib Madzahib Di antara pengaruh
ilmu ushul fikih terhadap ilmu ushul nahwu adalah ungkapan “tarkib madzahib”.
Ungkapan ini menyerupai ushul fikih “ihdatsu qaulin tsalits wa al-talfiq baina
al-madzahib” (mengadakan pendapat ketiga dan talfiq di antara madzhab-madzhab).
Apabila para ahli di satu masa berselisih faham menjadi dua pendapat, maka
diperbolehkan bagi yang datang kemudian mengeluarkan pendapat ketiga. Hal ini
sudah ma’lum dalam ushul syari’ah. Ushul lughah diberlakukan seperti ushul
syari’ah.
Bagian ke III Pengaruh Istilah Ilmu Hadis
terhadap Istilah Ilmu Ushul Nahwu Berhubung ushul nahwu merupakan ilmu bahasa
Arab yang berhubungan dengan kebudayaan Arab, maka seharusnya ilmu ini
berhubungan dengan berbagai ilmu dari kebudayaan Arab. Sebagaimana para ahli
hadis memanfaatkan nahwu dan lughah, maka para ahli nahwu pun memanfaatkan ilmu
hadis dan istilah-istilahnya. Adapun istilah-istilah ilmu hadis yang terdapat
pada buku-buku ushul nahwu adalah sebagai berikut :
1. Isnad, Matan dan Mursal. Di antara
istilah hadis yang menjadi istilah ushul nahwu, malah Ibn al-Anbari sudah
menjadikannya tersendiri dalam fasal delapan dengan judul “Fi qabul almursal wa
al-majhul” dengan kata-katanya : “Ketahuilah bahwa mursal itu ialah yang
terputus sanadnya seperti Ibn Duraid meriwayatkan dari Abi Zaid”.
2. Majhul Majhul adalah salah satu
istilah ushul hadis yang digunakan oleh Ibn al- Anbari dalam pernyataannya
tentang istilah naql dengan kata-katanya : Majhul adalah yang tidak dikenal
naqilnya, seperti kata “Abu Bakr” Ibn al-Anbari, Seseorang telah berceritera
kepadaku dari Ibn al-A’rabi. Majhul dalam istilah ahli hadis dan ahli ushul
adalah rawi yang tidak dikenal, atau tidak dikenal ta’dil dan tajrih tertentu.
3. Munawalah Bagian keempat dalam
pembagian metode pemindahan hadis dan mengajarkannya ada dua macam: Salah
satunya adalah munawalah (penyerahan) yang dibarengi dengan ijazah. Model ini
merupakan model ijazah yang paling tinggi. Bentuknya banyak, di antaranya,
seorang Syaikh mengajari muridnya dengan sima’ asli, atau furu’ yang dibandingkan dengannya, selanjutnya
dia berkata : “Ini sima’ku atau periwayatanku dari seseorang, maka
riwayatkanlah dia dari aku, atau “Aku ijazahkan kepadamu periwayatannya dari
aku”. Lalu dia menyerahkannya dan berkata : Ambillah dia, dan salinlah dan
bandingkanlah dengannya, kemudian kembalikanlah dia kepadaku, dan sebagainya.
Dan ada juga cara lain, yaitu seorang murid datang kepada Syaikh membawa
tulisan atau sebagian dari hadisnya, maka ia kemukakan kepada Syaikh, lalu
Syaikh menelitinya, dan ternyata benar, kemudian Syaikh kembali kepadanya dan
berkata : Aku tahu semua ini, itu adalah hadisku dari seseorang atau
periwayatanku dari Syaikhku, maka riwayatkanlah dari aku atau aku ijazahkan
kepadamu periwayatannya dari aku.
4. Ijazah Ijazah adalah salah satu
istilah ushul hadis yang digunakan oleh para ulama ushul nahwu. Istilah ini
ditemukan dalam buku-buku ahli nahwu abad ke 4 H., di antaranya adalah Ibn
Khalawiyah. Suatu kaum berkata, apa-apa yang dibacakan kepada Syaikh, engkau
katakan “akhbarana”, dan apa-apa yang ia diktekan kepadamu, engkau katakan
“haddatsana”. Dan ia berkata : “Engkau tidak boleh mengatakan “haddatsana”
untuk semua itu. Dalam hal ini sebaiknya engkau katakan seperti yang engkau
dengar, maka katakanlah : “Dia telah mengijazahkan kepadaku dalam ijazah, aku
telah membacakan kepadanya dan dia telah membacakan kepadaku”.
5. Tarjih dalam Isnad Ibn al-Anbari telah
menggunakan istilah itu tanpa memberikan definisi terhadap isnad. Dia berkata :
Tarjih dalam isnad ialah bahwa salah seorang dari dua sanad lebih banyak
periwayatannya dari yang lainnya atau lebih ‘alim dan lebih hafdz. Hal itu
seperti berdalilnya madzhab Kufi terhadap nashab dengan ( __ ), jika bermakna (
___ ), seperti kata penyair : ___ ____ __ إذا ___ __ ظ
__ ___ _ __!" __ _#"_$ %_ ا Penyanggah
berkata : Para rawi telah bersepakat bahwa periwayatan __!" __ ___ _
dengan rafa’, tidak ada satupun dengan nashab kecuali al-Mufdhi bin Salamah.
Rawi yang meriwayatkan dengan rafa’ itu lebih ‘alim, lebih hafidz dan lebih
banyak. Maka mengambil periwayatan dengan rafa’ lebih utama dari pada mengambil
periwayatan dengan nashab. Tarjih dalam isnad terpulang kepada banyak dan ilmu
pada rawi.
6. Naql Ibn al-Anbari menggunakan istilah
naql sebagai salah satu asal dalam ushul nahwu yaitu asal yang pertama dari
ushul nahwu. Dia memberikan definisi dalam I’rab dengan : “Adapun naql, maka
perkataan yang fasih dan manqul, naql yang benar adalah yang keluar dari
batasan sedikit kepada banyak. Dan di dalam buku “al-Lam’u” dia merinci
definisi dengan : “Maka keluar dari padanya, apabila ada dalam perkataan orang
Arab dari para muwallid dan yang syadz dari perkataan mereka, seperti jazm
dengan إن
, dan nashab dengan &' dibaca dalam kategori syadz : ح__) &' أ dengan
menfathahkan ح , dan seperti jar dengan _+' , seperti _"__ ,-_ ار !.' ا /0 أ
_+' .
Naql menurut al-Suyuti Istilah naql pada
al-Suyuti terdapat ketika menuturkan teks Imam al-Razi, pada saat berbicara
tentang dalil-dalil hukum. Dia berkata : Mengetahui dalil-dalil itu bergantung
kepada pengetahuannya tentang nahwu, lughah dan tashrif.
7 apa yang bergantung kepada yang wajib
dicari yang ada dalam batas kemampuan mukallaf, hukumnya adalah wajib. Oleh
karena itu, mengetahui nahwu, lughah dan tashrif adalah wajib. Dia berkata :
Kemudian jalan untuk mengetahuinya baik dengan naqly mahdhi, seperti lughah,
atau dengan aqly. Naqly Mahdhi ada yang mutawatir, ada juga yang ahad. Di
antara syarat mutawatir adalah istiwa altharafain wa al-wasithah. Yang aneh
dari para ahli ushul, mereka berdalil dengan hadis ahad sebagai hujjah dalam
Syara’, tetapi tidak tidak berdalil dengannya dalam lughah, padahal itu lebih
utama. Kewajiban mereka adalah memeriksa halihwal jarh dan ta’dil mereka
seperti yang mereka lakukan dalam periwayatan hadis. Namun mereka
meninggalkannya sekalipun sangat dibutuhkan, karena lughah dan nahwu keduanya
memberlakukan asal untuk berdalil dengan nashnash. Bukti bahwa al-Suyuti
menggunakan istilah sima’ dan memperhatikan naql adalah bahwa dia setelah
selesai dari babnya, dia berkata : Setelah aku menyelesaikan bab ini, aku
dapati Ibn al-Anbari bertutur bahwa dalil-dalil nahwu adalah naql, qiyas dan
istishhab al-hal. Kemudian ia menjelaskan yang dimaksud dengan naql, tapi tidak
menoleh terhadap qiyas dan istishhab al-hal. Kita dapati al-Suyuti telah
menggunakan istilah sima’ sebagai sinonim untuk istilah naql. Hal itu jelas
dari kata-katanya : Adapun Alquran, maka semua bacaannya boleh menjadi hujjah
dalam bahasa Arab, baik mutawatir, ahad maupun syadz. Orang-orang sudah setuju
untuk berhujjah dengan qiraat syadz dalam bahasa Arab selama tidak menyalahi
qiyas yang terkenal, bahkan sekalipun menyalahinya, tetap bisa berhujjah
dengannya dalam penyimpangan seperti itu, sekalipun qiyas tidak berlaku,
seperti berhujjah terhadap jamak menurut wurudnya.
8 Istilah Naql menurut Ibn al-Anbari sama
dengan istilah sima’ menurut Ibn Jinni. Hal itu dipahami dari perkataan al-Suyuti
dalam al-Iqtirah: Ibn Jinni telah bertutur bahwa dalil-dalil nahwu ada tiga,
yaitu sima’, ijma’dan qiyas. Ibn al-Anbari bertutur bahwa dalil-dalil nahwu ada
tiga, yaitu naql, qiyas dan istishhab al-hal. Dia menambahkan istishhab, tapi
tidak menyebut ijma’. Al-Suyuti menjadikan sima’ sebagai al-ashlu al-awwal dari
ushul nahwu mengikuti Ibn Jinni. Dia mendefinisikan sima’ dengan : “Sima’
adalah perkataan yang diyakini kefasihanya, meliputi firman Allah Ta’ala yaitu
Alquran, sabda nabi-Nya dan ucapan orang Arab sebelum bi’tsah Nabi, pada
zamannya dan sesudahnya, sampai rusaknya bahasa dengan banyaknya para muwallid,
baik natsar maupun nadzham, baik dari seorang muslim atau dari kafir.
Bagian ke IV Istilah-Istilah Ushul Nahwu
yang dipengaruhi oleh para Ahli Ilmu Kalam, Ahli Jadal dan Ahli Mantik
1. Al-Sibr wa al-Taqsim Sibr dalam lughah
adalah asal, laun, haiah dan mandzhar, jamaknya asbar. Sibr adalah mengeluarkan
substansi masalah, seperti /' _1_ ه أى ا _-_ __ /'_ _ وأ Sibr
merupakan kesempurnaan perkataan, artinya disebut dulu penolakan dalil pada
saat ada keragu-raguan, tidak disambungkan ke sana, sehingga mahal kalam tidak
membingungkan, setelah itu dilanjutkan dengan menunjukkan ungkapan bentuk demi
bentuk. Sibr disebut juga taqsim, yaitu hanya menyebutkan sifat-sifat yang
asal, membuang keyakinan lama karena ada ‘illah. Ibn Jinni dalam bukunya
“al-Khashaish” mendahului Ibn-al-Anbari dalam menggunakan taqsim.
Istilah itu terdapat dalam teks yang ia
katakan di sana : Bab 9 fi al-Iqtishar, fi al-taqsim ‘ala ma yaqrubu wa yahsunu
la ‘ala ma yab’udu wa yaqbuhu. Suatu bab yang dianggap kurang, dalam
pengkategorian kepada yang dekat dan baik, bukan kepada yang jauh dan jelek Hal
itu bagaikan anda mengkategorikan seumpama وان __ kepada sesuatu yang memungkinkan diberi
contoh, sehingga anda berkata : Boleh jadi ia itu ن5+6 atau _+7_ atau ل!+7_ . Pemberian contoh anda di dalam babnya
kemungkinan diperbolehkan sehingga merusak keadaan _+7_ dan ل!+7_ , karena
keduanya merupakan contohcontoh yang tidak ada. Dan anda pun tidak
diperbolehkan untuk berkata dalam pemberian contoh itu : Boleh jadi ia itu ن5+6 atau ل!+7_ atau ان !-+_
atau ان !+7_
dan sebagainya, karena semua itu dan yang serupa dengannya hanya berupa contoh,
bukan asal dan tidak dekat kepada yang ada. Sibr juga telah digunakan oleh Ibn
Jinni, ia berkata : Bila ada sesuatu yang dianggap samar, tidak diketahui
sejarahnya, wajib menggunakan sibr terhadap para madzhab dan meningkatkan
pemeriksaan. Imam al-Juwaini menjelaskan bahwa di antara yang diberlakukan oleh
para ahli ushul seperti al-Qadhi dan lainnya dalam usaha menetapkan
‘illah-‘illah ushul adalah sibr dan taqsim, artinya ialah bahwa peneliti
mencari makna-makna yang terkumpul dalam asal, disusun satu demi satu, dan
dijelaskan keluarnya salah satu dari padanya tentang pemberian ‘illah yang
benar, selain yang satu yang ia lihat dan ia ridoi.
2. Istidlal Istilah ini berhubungan
dengan dalil. Istilah istidlal dikenal sebagai teori berdalil. Definisi ini
khusus bagi madzhab para ushul dan ahli ilmu kalam. Sedangkan definisinya dalam
berdalil mencakup madzhab ahli mantik. Ibn al-Anbari mendefinisikannya dengan :
“Ketahuilah bahwa istidlal itu adalah mencari dalil, seperti halnya istifham
adalah mencari tahu. Ada pendapat bahwa istidlal itu sama dengan dalil, seperti
istiqrar sama dengan qarar. Catatan bahwa definisi ini secara etimologi,
bukannya terminologi. Kebiasaan para ahli ushul seperti yang dikemukakan oleh
al-Tahanawi adalah seperti itu yaitu mengemukakan dalil, baik berupa nash atau
ijma’ atau yang lainnya. Adapun definisi dalil yang dikemukakan oleh Ibn
al-Anbari adalah definisi terminologi, ia berkata : Dalil adalah mengungkapkan
yang sudah diketahui dihubungkan dengan kebenaran teori, sehingga tidak
diketahui tempat adat yang seharusnya.
3. Naqdh Istilah naqdh termasuk
istilah-istilah yang digunakan oleh para ahli ilmu kalam dan mantik. Naqdh
menurut para ahli ushul. Kata imam Juwaini, “kendala yang keempat adalah naqdh,
yaitu tertundanya hukum untuk beberapa bentuk, padahal ada yang menganggap
adanya ‘illah. Yang sebenarnya adalah tertundanya hukum padahal ada yang
dianggap ‘illah. Naqdh menurut ahli nahwu. Ibn Al-Siraj menggunakan istilah
naqdh di dalam kitab al-Ushul. Di antara tempat-tempat yang ada istilah ini
adalah ucapannya setelah beberapa masalah : Ini adalah naqdh terhadap pokok
pembicaraan mereka. Naqdh menurut Ibn al-Anbari. Ibn al-Anbari menggunakan
istilah naqdh dan mendefinisikannya dengan : Naqdh adalah ada ‘illah tapi tidak
ada hukum, menurut madzhab yang tidak memandang keistimewaan ‘illah. Hal itu
seperti kata-kata : 9"_+:' ا / وھ _1_ ث 5_ ع _:>_ ش __ م ور _A_ ام و B> C_-0 _) إ ل_+'
وا D_)E:' وا . Tentang ( __ ذ_> )
adalah ___ / را _ ط__ , sehingga dia 11 berkata “ini dikenai naqdh dengan ن_G_0 أذر ,
karena di sana lebih dari tiga ‘illah, bukan karena maknanya, tapi karena tidak
mutasharrif.
4. Daur Teori daur menunjukkan bahwa akal
merupakan asal bagi syara’, karena dengannya dapat diketahui kebenaran syara’.
Oleh karena itu tidak sah berdalil dengan dalil sam’i terhadap masalah-masalah
ilmu kalam apa pun yang berhubungan dengan wujud Allah, sifat-sifat-Nya dan
segala sesuatu yang bergantung kepadanya kebenaran nubuwwah. Jika tidak begitu,
maka sal itu berulang-ulang. Itulah daur batil yang bertentangan. Teori daur
sudah menguasai cara berfikirnya Mu;tazilah. Beberapa peneliti memandang bahwa
teori itu terpelihara di antara mereka sampai dibuat peraturan ini. Cuma
anehnya teori baru ini dihubungkan kepada kebanyakan sekolahsekolah ilmu kalam
yang lain.
Daur adalah salah satu istilah yang
digunakan oleh para ulama ushul nahwu seperti Ibn Jinni, padahal ia adalah
salah satu istilah ahli ilmu kalam. Ibn Jinni membuat suatu bab yang disebut
dengan ل5:_H
دور ا /6 ب _0 . Ibn Jinni bercerita tentang daur setelah bercerita tentang
wajibnya mensukunkan lam pada _0_K dan C0_K . Dia berkata : ‘Illah untuk ini
dengan ini, kemudian dia ber daur pada kali yang lain, sehingga ‘illah untuk
ini dengan ini, yang dalam kenyataannya ada pertentangan, bahwa keduanya tidak
memiliki keadaan yang membolehkan mendapat keistimewaan, sekedar berada pada
tempat perkara itu merujuk kepada pemiliknya. Pengertian daur dari ucapan Ibn
Jinni adalah keberadaan hukum dalam kedua tharaf dengan ‘illah yang sama, bahwa
yang pertama mengambil hukum dengan 12 ‘illah yang ada pada yang kedua,
kemudian mendatangkan yang kedua,lalu mengambil hukum dengan ‘illah yang
menyipati yang pertama
5.
Mu’aradhah Ketahuilah bahwa para ahli jadal telah berkata : Mu’aradhah adalah
berdalil dengan dalil yang berbeda dari yang diajukan oleh lawan. Yang dimaksud
dengan Khilaf (berbeda) adalah munafah (penolakan). Jika dalil mereka berdua
itu satu baik bentuk maupun materinya, seperti yang ada pada mughalathat ‘ammah
(perbuatan yang mendatangkan kesalahan umum), maka yang ada adalah mu’aradhah
dengan hati.
6.
Mu’aradhah dan Ta’arudh Istilah mu’aradhah bagi para ahli ushul digunakan kata
ta’arudh (Ta’arudh dinamai juga mu’aradhah). Sedangkan tanaqudh menurut para
ahli ushul adalah terjadinya dua dalil, yang satu menuntut pemberlakuan dan yang
lain menolaknya, dalam satu tempat dan waktu, dengan syarat bahwa keduanya
memiliki persamaan dalam kekuatannya, atau yang satu mendapat tambahan berupa
deskripsi yang mengikuti.
7.
Thard . Imam Juwaini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan thard adalah
deskripsi yang tidak sesuai dengan hukum tanpa disadari. Itulah ungkapan Ibn
al-Anbari ketika mendefinisikan thard dengan : Thard adalah sesuatu yang
memiliki hukum tapi tidak ada ‘illah.
8. ‘Aks ‘Aks adalah salah satu istilah
milik ahli jadal dan mantik. Akan tetapi ketika digunakan oleh para ahli ushul
nahwu, mereka menggunakannya dalam pengertian yang berbeda dengan yang
digunakan oleh ahli mantik. Menurut ahli mantik : Tidak termasuk ‘aks apa yang disebut dengan
‘aks mustawi dan ‘aks mustaqim . ‘Aks adalah merubah kedua tharaf qadhiyah
dengan yang lain dengan tetap shidiq dan kaifiyahnya, yaitu keadaan ijab dan
salabnya. Inilah istilah ahli mantik yang berlangsung ketika menyebut kata
‘aks. Kadang-kadang ‘aks diungkapkan secara majazi terhadap qadhiyah hasil
perubahan ini.
9.
Man’u Man’u adalah salah satu istilah yang berhubungan dengan jadal dan mantik
yang digunakan oleh Ibn al-Anbari, dan dijadikannya sebagai pencarian ‘illah.
Ibn al- Anbari berkata : Yang keempat dari qawadih adalah man’u terhadap
‘illah, bisa terjadi pada asal dan furu’. Adapun man’u pada asal adalah seperti
yang dikatakan oleh ahli Bashrah : Fi’il mudhari’ hanya dirafa’kan oleh
keberadaannya ditempat ism, ia adalah ‘amil ma’nawi, ia menyerupai ibtida dalam
ism yang menjadi mubtada. Sedangkan ibtida itu mewajibkan rafa’, maka demikian
juga yang menyerupainya. Maka orang Kufah berkata : Tidak benar bahwa ibtida
mewajibkan rafa’pada ism yang menjadi mubtada. Man’u pada furu’ seperti
kata-kata orang Basrah: Dalil bahwa fi’il amr mabni adalah bahwa ( ال M) دراك / )
dan yang sepertinya sebagian dari ism fi’il yang mabni karena menggantikan
kedudukan fi’il. Kalaulah ia tidak mabni, maka tidak dimabnikan juga kata yang
digantikannya. Maka orang Kufah berkata : Tidak benar bahwa yang seperti ( ال M) دراك / )
dimabnikan itu semata-mata karena berkedudukan sebagai fi’il amr, dimabnikannya
itu karena mengandung lam amr. Jawaban dari man’u al-‘illah adalah agar menjadi
dalil terhadap keberadaannya secara asal dan na’u dengan yang mengungkapkan rusaknya
man’u. Catatan bahwa Ibn al-Anbari tidak mendefinisikan man’u sama saja dalam
asal atau man’u. Dia menganggap cukup dengan memberikan contoh istilah dan
penggunaannya saja. Diketahui dari pendiriannya bahwa man’u berarti mu’aradhah
dan i’tiradh terhadap ‘illah hukum
PENUTUP
Beberapa kesimpulan dari hasil studi di
atas adalah sebagai berikut :
1. Studi telah menetapkan bahwa Ibn
Jinni adalah yang memiliki kehormatan pertama dalam menyusun ilmu ushul nahwu,
dialah penyusun yang hakiki, tanpa mengenyampingkan Ibn al-Anbari, seperti yang
ia jelaskan dalam mukaddimah bukunya “Lam’u al-Adillah”. Sandaran studi dalam
pendapat ini adalah bahwa kebanyakan istilah ilmu ushul nahwu sudah terdapat
pada Ibn Jinni dalam bukunya “al-Khashaish” sekali pun hanya mafhumnya. Seperti
halnya nampak pada Ibn Jinni beberapa istilah ilmu ushul nahwu yang tidak kita
dapati pada Ibn al-Anbari, seperti istilah istidlal bi ‘adam al-nadzir, al-
Hamlu ‘ala al-Dzhahir. Ibn Jinni telah membuat bab tersendiri untuk Ijma’, Ibn
al-Anbari tidak melakukannya.
2. Studi menjelaskan adanya
istilah-istilah bahasa asal, yaitu seperti istilah asal, furu’, haml, al-haml
‘ala al-ma’na, al-haml ‘ala al-nadzhir, al-haml ‘ala alaktsar, al-haml ‘al
al-lafdzh, manzilah, muththarid, syadz, sima’, qiyas, ‘illah, nadzhr, ittiba’,
jara majra, dan sebagainya.
3. Terdapat beberapa istilah ilmu ushul
nahwu pada al-Khalil, Sibawaih dan Ibn Siraj, Ibn Jinni dan Ibn al-Anbari
memberi tambahan dengan beberapa istilah.
4. Ibn al-Siraj telah mengadakan pembagian
terhadap beberapa asal, seperti syadz dan muththarid, Ibn Jinni mengambil
pembagian ini, kemudian ia menghubungkan suatu bagian ke sana , yaitu “Ma
yaththaridu fi al-isti’mal wa al-qiyas ma’an”, Ibn Jinni tidak memberikan
isyarat ke sana. Ibn al-Siraj juga menuturkan pembagian ‘illah dalam bahasa
Arab, setelah itu datang al-Zujaji dan mengambil pembagian ini tanpa memberikan
isyarat ke sana. Al-Zujaji menggunakan istilah-istilah khusus mengenai ‘illah
yang berbeda dengan istilah Ibn al-Siraj.
5. Dua istilah, yaitu sima’ dan naql
digunakan sebagai dua istilah yang bersinonim dalam buku-buku ushul nahwu. Ini
yang kita dapati pada Ibn Jinni dan Ibn al-Anbari.
6. Penggunaan kebanyakan istilah-istilah
ilmu ushul nahwu oleh para ahli nahwu berlangsung pada abad-abad terakhir. Ini
yang kita dapati dari al-Suyuti.
7. Ilmu ushul nahwu tidak hanya
dipengaruhi oleh ilmu ushul fikih, akan tetapi terpengaruh juga oleh ilmu ushul
hadis. Ibn Jinni dalam bukunya al-Khashais telah berisyarat tentang itu. Di
antara istilah-istilah ilmu ushul hadis yang mempengaruhi ulama ushul nahwu
adalah naql, ruwat, isnad, irsal, musnad, mursal, majhul, tarjih, tarjih fi
al-isnad, tarjih fi al-matn, ijazah dan munawalah.
No comments:
Post a Comment