Translate

Sunday, November 3, 2013

BEBERAPA ISTILAH USHUL NAHWU YANG DIPENGARUHI OLEH USHUL FIKIH, ILMU HADITS, ILMU KALAM, JADAL DAN MANTIK


Makalah dipresentasikan pada mata kuliah Studi Naskah Pemikiran Bahasa Arab Oleh
Mamat Zaenuddin 03.3.00.1.06.01.0059
Dosen Pembimbing Prof. Dr. HD. Hidayat, M.A
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB PROGRAM PASCASARJANA (S3) UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2004
Beberapa Istilah Ushul Nahwu yang dipengaruhi oleh Ushul Fikih
Pengaruh ulama ushul fikih terhadap ulama ushul nahwu tampak pada pengertian ilmu. Para ulama ushul nahwu meniru ulama ushul fikih dalam pengertian ushul dan dalil-dalilnya.
1. Istishhab al-Hal Istishhab al-hal adalah suatu istilah dalam ushul fikih yang digunakan oleh para ulama ushul nahwu. Istilah ini lahir pada periode terakhir ulama ushul nahwu, yaitu setelah abad ke 4 H. Ibn Jinni tidak menggunakannya, sekalipun ada pemahaman yang sama dengan istilah ini. Ini yang kita temukan dalam “Al- Khashaish”, juz 2, halaman 459, suatu bab dalam menetapkan ucapan-ucapan menurut posisi awal sebelum ada usaha untuk meninggalkan dan merubahnya. Inilah yang diistilahkan dengan “istishhab al-hal”, istilah fikih yang didefinisikan oleh para ahli fikih dengan : “Penetapan hukum atas sesuatu dengan keadaan yang berlaku sebelumnya sampai ada dalil yang merubah keadaan itu”, atau “Pemberlakuan hukum yang berlaku pada masa lalu untuk masa kini sampai ada dalil yang merubahnya” (Ilmu Ushul Fikih, hal. 91)
Ibn al-Anbari berbeda dengan Ibn Jinni, beliau menggunakan istilah ini dan mendefinisikannya. Katanya : Ketahuilah bahwa istishhab al-hal termasuk dalil yang mu’tabar, sedangkan yang dimaksud dengannya adalah menetapkan keadaan asal dalam ism yaitu i’rab, dan menetapkan keadaan asal dalam fi’il yaitu bina sampai ada yang mewajibkan bina pada ism dan mewajibkan i’rab pada fi’il. Adapun yang mewajibkan bina pada ism adalah serupa harf atau yang mengandung makna harf. (al-Lam’u, hal 141) 
2. Al-Qiyas bi ilghai al-Fariq Di antara istilah fikih yang terdapat pada ulama ushul nahwu adalah istilah “alqiyas bi ilgha al-fariq” (qiyas dengan mengabaikan yang berbeda), yaitu tidak boleh ada perbedaan di antara dua bentuk yang berpengaruh dalam Syara’ (Al- Qiyas fi al-Syar’i al-Islami : 6).
Al-Suyuti membicarakan istilah ini pada saat berbicara tentang masalik al-‘illah, dia mengemukakan “ilgha al-fariq” dalam pernyataannya bahwa ilgha al-fariq itu ialah penjelasan bahwa furu’ tidak boleh berbeda dengan asal, kecuali pada halhal yang tidak ada pengaruhnya. (Al-Iqtirah : 88)
3. Istilah-istilah yang berhubungan dengan Hukum Pengaruh ushul fikih terhadap ushul nahwu juga terdapat pada hal-hal yang berhubungan dengan hukum, yaitu salah satu rukun qiyas. Para ahli nahwu menggunakan istilah-istilah (wajib, wujub, jaiz, jawaz, hasan, qabih, hasan qabih, dan sebagainya) yang kesemuanya merupakan istilah-istilah fikih. 
4. Istilah Istihsan termasuk istilah ushul fikih yang berpengaruh terhadap ushul nahwu. Istilah ini bagi imam Syafi’i dalam bukunya al-Risalah, salah satu sumber rujukan ushul fikih yang paling maju, seperti yang dia katakan : “Selain Rasulullah saw. tidak ada yang berhak memberi dalil terhadap suatu yang terjadi, keadilan dan pahala seorang hamba, dan tidak boleh menggunakan istihsan, karena dengan istihsan berarti mengada-ada, tidak seperti contoh yang lalu”. (Al-Risalah : Masalah 70)
Ibn Jinni menggunakan istilah istihsan dalam bukunya “Khashaish” dan menjadikannya satu bab, yaitu “Bab fi al-istihsan wa jama’ihi), bawa ‘illahnya lemah tidak memberikan hukum selain sekedar bagian dari ittisa’ dan ta’arruf.
Bentuknya ada beberapa macam, di antaranya adalah (istihsan dan isti’dzab) Wawu diganti dengan ya karena istihsan, bukan karena kuatnya ‘illah, seperti ن____ dan ن____ . Pemindahan pada __ dan ن__ , semata-mata karena istihsan dan itsar, bukan karena wujub ‘illah. Istihsan karena darurat ‘illah, istihsan bukan karena kuatnya ‘illah dan bukan karena istimrar, dan ucapannya : Perkataan mereka __ dan ___ ر semuanya adalah istihsan bukan karena istihkam ‘illah.

 
Istilah istihsan juga digunakan oleh Ibn al-Anbari, dia berkata : Ada yang berkata bahwa istihsan itu adalah meninggalkan qiyas ushul karena membingungkan. Ada juga yang berkata bahwa istihsan itu merupakan pengkhususan ‘illah, Dan ada juga yang diceriterakan dari beberapa orang bahwa istihsan itu adalah apa-apa yang dianggap baik oleh manusia tanpa dalil. Ibn al-Albari di sini hanya menunjukan batasan istihsan menurut para ulama bukan memberi batasan. 
5. Tarkib Madzahib Di antara pengaruh ilmu ushul fikih terhadap ilmu ushul nahwu adalah ungkapan “tarkib madzahib”. Ungkapan ini menyerupai ushul fikih “ihdatsu qaulin tsalits wa al-talfiq baina al-madzahib” (mengadakan pendapat ketiga dan talfiq di antara madzhab-madzhab). Apabila para ahli di satu masa berselisih faham menjadi dua pendapat, maka diperbolehkan bagi yang datang kemudian mengeluarkan pendapat ketiga. Hal ini sudah ma’lum dalam ushul syari’ah. Ushul lughah diberlakukan seperti ushul syari’ah.
 Bagian ke III Pengaruh Istilah Ilmu Hadis terhadap Istilah Ilmu Ushul Nahwu Berhubung ushul nahwu merupakan ilmu bahasa Arab yang berhubungan dengan kebudayaan Arab, maka seharusnya ilmu ini berhubungan dengan berbagai ilmu dari kebudayaan Arab. Sebagaimana para ahli hadis memanfaatkan nahwu dan lughah, maka para ahli nahwu pun memanfaatkan ilmu hadis dan istilah-istilahnya. Adapun istilah-istilah ilmu hadis yang terdapat pada buku-buku ushul nahwu adalah sebagai berikut : 
1. Isnad, Matan dan Mursal. Di antara istilah hadis yang menjadi istilah ushul nahwu, malah Ibn al-Anbari sudah menjadikannya tersendiri dalam fasal delapan dengan judul “Fi qabul almursal wa al-majhul” dengan kata-katanya : “Ketahuilah bahwa mursal itu ialah yang terputus sanadnya seperti Ibn Duraid meriwayatkan dari Abi Zaid”.
2. Majhul Majhul adalah salah satu istilah ushul hadis yang digunakan oleh Ibn al- Anbari dalam pernyataannya tentang istilah naql dengan kata-katanya : Majhul adalah yang tidak dikenal naqilnya, seperti kata “Abu Bakr” Ibn al-Anbari, Seseorang telah berceritera kepadaku dari Ibn al-A’rabi. Majhul dalam istilah ahli hadis dan ahli ushul adalah rawi yang tidak dikenal, atau tidak dikenal ta’dil dan tajrih tertentu.
3. Munawalah Bagian keempat dalam pembagian metode pemindahan hadis dan mengajarkannya ada dua macam: Salah satunya adalah munawalah (penyerahan) yang dibarengi dengan ijazah. Model ini merupakan model ijazah yang paling tinggi. Bentuknya banyak, di antaranya, seorang Syaikh mengajari muridnya dengan sima’ asli, atau  furu’ yang dibandingkan dengannya, selanjutnya dia berkata : “Ini sima’ku atau periwayatanku dari seseorang, maka riwayatkanlah dia dari aku, atau “Aku ijazahkan kepadamu periwayatannya dari aku”. Lalu dia menyerahkannya dan berkata : Ambillah dia, dan salinlah dan bandingkanlah dengannya, kemudian kembalikanlah dia kepadaku, dan sebagainya. Dan ada juga cara lain, yaitu seorang murid datang kepada Syaikh membawa tulisan atau sebagian dari hadisnya, maka ia kemukakan kepada Syaikh, lalu Syaikh menelitinya, dan ternyata benar, kemudian Syaikh kembali kepadanya dan berkata : Aku tahu semua ini, itu adalah hadisku dari seseorang atau periwayatanku dari Syaikhku, maka riwayatkanlah dari aku atau aku ijazahkan kepadamu periwayatannya dari aku. 
4. Ijazah Ijazah adalah salah satu istilah ushul hadis yang digunakan oleh para ulama ushul nahwu. Istilah ini ditemukan dalam buku-buku ahli nahwu abad ke 4 H., di antaranya adalah Ibn Khalawiyah. Suatu kaum berkata, apa-apa yang dibacakan kepada Syaikh, engkau katakan “akhbarana”, dan apa-apa yang ia diktekan kepadamu, engkau katakan “haddatsana”. Dan ia berkata : “Engkau tidak boleh mengatakan “haddatsana” untuk semua itu. Dalam hal ini sebaiknya engkau katakan seperti yang engkau dengar, maka katakanlah : “Dia telah mengijazahkan kepadaku dalam ijazah, aku telah membacakan kepadanya dan dia telah membacakan kepadaku”. 

5. Tarjih dalam Isnad Ibn al-Anbari telah menggunakan istilah itu tanpa memberikan definisi terhadap isnad. Dia berkata : Tarjih dalam isnad ialah bahwa salah seorang dari dua sanad lebih banyak periwayatannya dari yang lainnya atau lebih ‘alim dan lebih hafdz. Hal itu seperti berdalilnya madzhab Kufi terhadap nashab dengan ( __ ), jika bermakna ( ___ ), seperti kata penyair : ___ ____ __ إذا ___ __ ظ __ ___ _ __!" __ _#"_$ %_ ا  Penyanggah berkata : Para rawi telah bersepakat bahwa periwayatan __!" __ ___ _ dengan rafa’, tidak ada satupun dengan nashab kecuali al-Mufdhi bin Salamah. Rawi yang meriwayatkan dengan rafa’ itu lebih ‘alim, lebih hafidz dan lebih banyak. Maka mengambil periwayatan dengan rafa’ lebih utama dari pada mengambil periwayatan dengan nashab. Tarjih dalam isnad terpulang kepada banyak dan ilmu pada rawi.
6. Naql Ibn al-Anbari menggunakan istilah naql sebagai salah satu asal dalam ushul nahwu yaitu asal yang pertama dari ushul nahwu. Dia memberikan definisi dalam I’rab dengan : “Adapun naql, maka perkataan yang fasih dan manqul, naql yang benar adalah yang keluar dari batasan sedikit kepada banyak. Dan di dalam buku “al-Lam’u” dia merinci definisi dengan : “Maka keluar dari padanya, apabila ada dalam perkataan orang Arab dari para muwallid dan yang syadz dari perkataan mereka, seperti jazm dengan إن , dan nashab dengan &' dibaca dalam kategori syadz : ح__) &' أ dengan menfathahkan ح , dan seperti jar dengan _+' , seperti _"__ ,-_ ار !.' ا /0 أ _+' .
Naql menurut al-Suyuti Istilah naql pada al-Suyuti terdapat ketika menuturkan teks Imam al-Razi, pada saat berbicara tentang dalil-dalil hukum. Dia berkata : Mengetahui dalil-dalil itu bergantung kepada pengetahuannya tentang nahwu, lughah dan tashrif.  
7 apa yang bergantung kepada yang wajib dicari yang ada dalam batas kemampuan mukallaf, hukumnya adalah wajib. Oleh karena itu, mengetahui nahwu, lughah dan tashrif adalah wajib. Dia berkata : Kemudian jalan untuk mengetahuinya baik dengan naqly mahdhi, seperti lughah, atau dengan aqly. Naqly Mahdhi ada yang mutawatir, ada juga yang ahad. Di antara syarat mutawatir adalah istiwa altharafain wa al-wasithah. Yang aneh dari para ahli ushul, mereka berdalil dengan hadis ahad sebagai hujjah dalam Syara’, tetapi tidak tidak berdalil dengannya dalam lughah, padahal itu lebih utama. Kewajiban mereka adalah memeriksa halihwal jarh dan ta’dil mereka seperti yang mereka lakukan dalam periwayatan hadis. Namun mereka meninggalkannya sekalipun sangat dibutuhkan, karena lughah dan nahwu keduanya memberlakukan asal untuk berdalil dengan nashnash. Bukti bahwa al-Suyuti menggunakan istilah sima’ dan memperhatikan naql adalah bahwa dia setelah selesai dari babnya, dia berkata : Setelah aku menyelesaikan bab ini, aku dapati Ibn al-Anbari bertutur bahwa dalil-dalil nahwu adalah naql, qiyas dan istishhab al-hal. Kemudian ia menjelaskan yang dimaksud dengan naql, tapi tidak menoleh terhadap qiyas dan istishhab al-hal. Kita dapati al-Suyuti telah menggunakan istilah sima’ sebagai sinonim untuk istilah naql. Hal itu jelas dari kata-katanya : Adapun Alquran, maka semua bacaannya boleh menjadi hujjah dalam bahasa Arab, baik mutawatir, ahad maupun syadz. Orang-orang sudah setuju untuk berhujjah dengan qiraat syadz dalam bahasa Arab selama tidak menyalahi qiyas yang terkenal, bahkan sekalipun menyalahinya, tetap bisa berhujjah dengannya dalam penyimpangan seperti itu, sekalipun qiyas tidak berlaku, seperti berhujjah terhadap jamak menurut wurudnya. 
8 Istilah Naql menurut Ibn al-Anbari sama dengan istilah sima’ menurut Ibn Jinni. Hal itu dipahami dari perkataan al-Suyuti dalam al-Iqtirah: Ibn Jinni telah bertutur bahwa dalil-dalil nahwu ada tiga, yaitu sima’, ijma’dan qiyas. Ibn al-Anbari bertutur bahwa dalil-dalil nahwu ada tiga, yaitu naql, qiyas dan istishhab al-hal. Dia menambahkan istishhab, tapi tidak menyebut ijma’. Al-Suyuti menjadikan sima’ sebagai al-ashlu al-awwal dari ushul nahwu mengikuti Ibn Jinni. Dia mendefinisikan sima’ dengan : “Sima’ adalah perkataan yang diyakini kefasihanya, meliputi firman Allah Ta’ala yaitu Alquran, sabda nabi-Nya dan ucapan orang Arab sebelum bi’tsah Nabi, pada zamannya dan sesudahnya, sampai rusaknya bahasa dengan banyaknya para muwallid, baik natsar maupun nadzham, baik dari seorang muslim atau dari kafir. 
Bagian ke IV Istilah-Istilah Ushul Nahwu yang dipengaruhi oleh para Ahli Ilmu Kalam, Ahli Jadal dan Ahli Mantik 
1. Al-Sibr wa al-Taqsim Sibr dalam lughah adalah asal, laun, haiah dan mandzhar, jamaknya asbar. Sibr adalah mengeluarkan substansi masalah, seperti /' _1_ ه أى ا _-_ __ /'_ _ وأ Sibr merupakan kesempurnaan perkataan, artinya disebut dulu penolakan dalil pada saat ada keragu-raguan, tidak disambungkan ke sana, sehingga mahal kalam tidak membingungkan, setelah itu dilanjutkan dengan menunjukkan ungkapan bentuk demi bentuk. Sibr disebut juga taqsim, yaitu hanya menyebutkan sifat-sifat yang asal, membuang keyakinan lama karena ada ‘illah. Ibn Jinni dalam bukunya “al-Khashaish” mendahului Ibn-al-Anbari dalam menggunakan taqsim. 
Istilah itu terdapat dalam teks yang ia katakan di sana : Bab 9 fi al-Iqtishar, fi al-taqsim ‘ala ma yaqrubu wa yahsunu la ‘ala ma yab’udu wa yaqbuhu. Suatu bab yang dianggap kurang, dalam pengkategorian kepada yang dekat dan baik, bukan kepada yang jauh dan jelek Hal itu bagaikan anda mengkategorikan seumpama وان __ kepada sesuatu yang memungkinkan diberi contoh, sehingga anda berkata : Boleh jadi ia itu ن5+6 atau _+7_ atau ل!+7_ . Pemberian contoh anda di dalam babnya kemungkinan diperbolehkan sehingga merusak keadaan _+7_ dan ل!+7_ , karena keduanya merupakan contohcontoh yang tidak ada. Dan anda pun tidak diperbolehkan untuk berkata dalam pemberian contoh itu : Boleh jadi ia itu ن5+6 atau ل!+7_ atau ان !-+_ atau ان !+7_ dan sebagainya, karena semua itu dan yang serupa dengannya hanya berupa contoh, bukan asal dan tidak dekat kepada yang ada. Sibr juga telah digunakan oleh Ibn Jinni, ia berkata : Bila ada sesuatu yang dianggap samar, tidak diketahui sejarahnya, wajib menggunakan sibr terhadap para madzhab dan meningkatkan pemeriksaan. Imam al-Juwaini menjelaskan bahwa di antara yang diberlakukan oleh para ahli ushul seperti al-Qadhi dan lainnya dalam usaha menetapkan ‘illah-‘illah ushul adalah sibr dan taqsim, artinya ialah bahwa peneliti mencari makna-makna yang terkumpul dalam asal, disusun satu demi satu, dan dijelaskan keluarnya salah satu dari padanya tentang pemberian ‘illah yang benar, selain yang satu yang ia lihat dan ia ridoi. 
2. Istidlal Istilah ini berhubungan dengan dalil. Istilah istidlal dikenal sebagai teori berdalil. Definisi ini khusus bagi madzhab para ushul dan ahli ilmu kalam. Sedangkan definisinya dalam berdalil mencakup madzhab ahli mantik. Ibn al-Anbari mendefinisikannya dengan : “Ketahuilah bahwa istidlal itu adalah mencari dalil, seperti halnya istifham adalah mencari tahu. Ada pendapat bahwa istidlal itu sama dengan dalil, seperti istiqrar sama dengan qarar. Catatan bahwa definisi ini secara etimologi, bukannya terminologi. Kebiasaan para ahli ushul seperti yang dikemukakan oleh al-Tahanawi adalah seperti itu yaitu mengemukakan dalil, baik berupa nash atau ijma’ atau yang lainnya. Adapun definisi dalil yang dikemukakan oleh Ibn al-Anbari adalah definisi terminologi, ia berkata : Dalil adalah mengungkapkan yang sudah diketahui dihubungkan dengan kebenaran teori, sehingga tidak diketahui tempat adat yang seharusnya.
3. Naqdh Istilah naqdh termasuk istilah-istilah yang digunakan oleh para ahli ilmu kalam dan mantik. Naqdh menurut para ahli ushul. Kata imam Juwaini, “kendala yang keempat adalah naqdh, yaitu tertundanya hukum untuk beberapa bentuk, padahal ada yang menganggap adanya ‘illah. Yang sebenarnya adalah tertundanya hukum padahal ada yang dianggap ‘illah. Naqdh menurut ahli nahwu. Ibn Al-Siraj menggunakan istilah naqdh di dalam kitab al-Ushul. Di antara tempat-tempat yang ada istilah ini adalah ucapannya setelah beberapa masalah : Ini adalah naqdh terhadap pokok pembicaraan mereka. Naqdh menurut Ibn al-Anbari. Ibn al-Anbari menggunakan istilah naqdh dan mendefinisikannya dengan : Naqdh adalah ada ‘illah tapi tidak ada hukum, menurut madzhab yang tidak memandang keistimewaan ‘illah. Hal itu seperti kata-kata : 9"_+:' ا / وھ _1_ ث 5_ ع _:>_ ش __ م ور _A_ ام و B> C_-0 _) إ ل_+' وا D_)E:' وا . Tentang ( __ ذ_> ) adalah ___ / را _ ط__ , sehingga dia 11 berkata “ini dikenai naqdh dengan ن_G_0 أذر , karena di sana lebih dari tiga ‘illah, bukan karena maknanya, tapi karena tidak mutasharrif.
4. Daur Teori daur menunjukkan bahwa akal merupakan asal bagi syara’, karena dengannya dapat diketahui kebenaran syara’. Oleh karena itu tidak sah berdalil dengan dalil sam’i terhadap masalah-masalah ilmu kalam apa pun yang berhubungan dengan wujud Allah, sifat-sifat-Nya dan segala sesuatu yang bergantung kepadanya kebenaran nubuwwah. Jika tidak begitu, maka sal itu berulang-ulang. Itulah daur batil yang bertentangan. Teori daur sudah menguasai cara berfikirnya Mu;tazilah. Beberapa peneliti memandang bahwa teori itu terpelihara di antara mereka sampai dibuat peraturan ini. Cuma anehnya teori baru ini dihubungkan kepada kebanyakan sekolahsekolah ilmu kalam yang lain.
Daur adalah salah satu istilah yang digunakan oleh para ulama ushul nahwu seperti Ibn Jinni, padahal ia adalah salah satu istilah ahli ilmu kalam. Ibn Jinni membuat suatu bab yang disebut dengan ل5:_H دور ا /6 ب _0 . Ibn Jinni bercerita tentang daur setelah bercerita tentang wajibnya mensukunkan lam pada _0_K dan C0_K . Dia berkata : ‘Illah untuk ini dengan ini, kemudian dia ber daur pada kali yang lain, sehingga ‘illah untuk ini dengan ini, yang dalam kenyataannya ada pertentangan, bahwa keduanya tidak memiliki keadaan yang membolehkan mendapat keistimewaan, sekedar berada pada tempat perkara itu merujuk kepada pemiliknya. Pengertian daur dari ucapan Ibn Jinni adalah keberadaan hukum dalam kedua tharaf dengan ‘illah yang sama, bahwa yang pertama mengambil hukum dengan 12 ‘illah yang ada pada yang kedua, kemudian mendatangkan yang kedua,lalu mengambil hukum dengan ‘illah yang menyipati yang pertama
 5. Mu’aradhah Ketahuilah bahwa para ahli jadal telah berkata : Mu’aradhah adalah berdalil dengan dalil yang berbeda dari yang diajukan oleh lawan. Yang dimaksud dengan Khilaf (berbeda) adalah munafah (penolakan). Jika dalil mereka berdua itu satu baik bentuk maupun materinya, seperti yang ada pada mughalathat ‘ammah (perbuatan yang mendatangkan kesalahan umum), maka yang ada adalah mu’aradhah dengan hati.
 6. Mu’aradhah dan Ta’arudh Istilah mu’aradhah bagi para ahli ushul digunakan kata ta’arudh (Ta’arudh dinamai juga mu’aradhah). Sedangkan tanaqudh menurut para ahli ushul adalah terjadinya dua dalil, yang satu menuntut pemberlakuan dan yang lain menolaknya, dalam satu tempat dan waktu, dengan syarat bahwa keduanya memiliki persamaan dalam kekuatannya, atau yang satu mendapat tambahan berupa deskripsi yang mengikuti.
 7. Thard . Imam Juwaini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan thard adalah deskripsi yang tidak sesuai dengan hukum tanpa disadari. Itulah ungkapan Ibn al-Anbari ketika mendefinisikan thard dengan : Thard adalah sesuatu yang memiliki hukum tapi tidak ada ‘illah.
8. ‘Aks ‘Aks adalah salah satu istilah milik ahli jadal dan mantik. Akan tetapi ketika digunakan oleh para ahli ushul nahwu, mereka menggunakannya dalam pengertian yang berbeda dengan yang digunakan oleh ahli mantik. Menurut ahli mantik :  Tidak termasuk ‘aks apa yang disebut dengan ‘aks mustawi dan ‘aks mustaqim . ‘Aks adalah merubah kedua tharaf qadhiyah dengan yang lain dengan tetap shidiq dan kaifiyahnya, yaitu keadaan ijab dan salabnya. Inilah istilah ahli mantik yang berlangsung ketika menyebut kata ‘aks. Kadang-kadang ‘aks diungkapkan secara majazi terhadap qadhiyah hasil perubahan ini.
 9. Man’u Man’u adalah salah satu istilah yang berhubungan dengan jadal dan mantik yang digunakan oleh Ibn al-Anbari, dan dijadikannya sebagai pencarian ‘illah. Ibn al- Anbari berkata : Yang keempat dari qawadih adalah man’u terhadap ‘illah, bisa terjadi pada asal dan furu’. Adapun man’u pada asal adalah seperti yang dikatakan oleh ahli Bashrah : Fi’il mudhari’ hanya dirafa’kan oleh keberadaannya ditempat ism, ia adalah ‘amil ma’nawi, ia menyerupai ibtida dalam ism yang menjadi mubtada. Sedangkan ibtida itu mewajibkan rafa’, maka demikian juga yang menyerupainya. Maka orang Kufah berkata : Tidak benar bahwa ibtida mewajibkan rafa’pada ism yang menjadi mubtada. Man’u pada furu’ seperti kata-kata orang Basrah: Dalil bahwa fi’il amr mabni adalah bahwa ( ال M) دراك / ) dan yang sepertinya sebagian dari ism fi’il yang mabni karena menggantikan kedudukan fi’il. Kalaulah ia tidak mabni, maka tidak dimabnikan juga kata yang digantikannya. Maka orang Kufah berkata : Tidak benar bahwa yang seperti ( ال M) دراك / ) dimabnikan itu semata-mata karena berkedudukan sebagai fi’il amr, dimabnikannya itu karena mengandung lam amr. Jawaban dari man’u al-‘illah adalah agar menjadi dalil terhadap keberadaannya secara asal dan na’u dengan yang mengungkapkan rusaknya man’u. Catatan bahwa Ibn al-Anbari tidak mendefinisikan man’u sama saja dalam asal atau man’u. Dia menganggap cukup dengan memberikan contoh istilah dan penggunaannya saja. Diketahui dari pendiriannya bahwa man’u berarti mu’aradhah dan i’tiradh terhadap ‘illah hukum
PENUTUP
Beberapa kesimpulan dari hasil studi di atas adalah sebagai berikut :
 1. Studi telah menetapkan bahwa Ibn Jinni adalah yang memiliki kehormatan pertama dalam menyusun ilmu ushul nahwu, dialah penyusun yang hakiki, tanpa mengenyampingkan Ibn al-Anbari, seperti yang ia jelaskan dalam mukaddimah bukunya “Lam’u al-Adillah”. Sandaran studi dalam pendapat ini adalah bahwa kebanyakan istilah ilmu ushul nahwu sudah terdapat pada Ibn Jinni dalam bukunya “al-Khashaish” sekali pun hanya mafhumnya. Seperti halnya nampak pada Ibn Jinni beberapa istilah ilmu ushul nahwu yang tidak kita dapati pada Ibn al-Anbari, seperti istilah istidlal bi ‘adam al-nadzir, al- Hamlu ‘ala al-Dzhahir. Ibn Jinni telah membuat bab tersendiri untuk Ijma’, Ibn al-Anbari tidak melakukannya.
2. Studi menjelaskan adanya istilah-istilah bahasa asal, yaitu seperti istilah asal, furu’, haml, al-haml ‘ala al-ma’na, al-haml ‘ala al-nadzhir, al-haml ‘ala alaktsar, al-haml ‘al al-lafdzh, manzilah, muththarid, syadz, sima’, qiyas, ‘illah, nadzhr, ittiba’, jara majra, dan sebagainya.
3. Terdapat beberapa istilah ilmu ushul nahwu pada al-Khalil, Sibawaih dan Ibn Siraj, Ibn Jinni dan Ibn al-Anbari memberi tambahan dengan beberapa istilah.
4. Ibn al-Siraj telah mengadakan pembagian terhadap beberapa asal, seperti syadz dan muththarid, Ibn Jinni mengambil pembagian ini, kemudian ia menghubungkan suatu bagian ke sana , yaitu “Ma yaththaridu fi al-isti’mal wa al-qiyas ma’an”, Ibn Jinni tidak memberikan isyarat ke sana. Ibn al-Siraj juga menuturkan pembagian ‘illah dalam bahasa Arab, setelah itu datang al-Zujaji dan mengambil pembagian ini tanpa memberikan isyarat ke sana. Al-Zujaji menggunakan istilah-istilah khusus mengenai ‘illah yang berbeda dengan istilah Ibn al-Siraj.
5. Dua istilah, yaitu sima’ dan naql digunakan sebagai dua istilah yang bersinonim dalam buku-buku ushul nahwu. Ini yang kita dapati pada Ibn Jinni dan Ibn al-Anbari.
6. Penggunaan kebanyakan istilah-istilah ilmu ushul nahwu oleh para ahli nahwu berlangsung pada abad-abad terakhir. Ini yang kita dapati dari al-Suyuti.
7. Ilmu ushul nahwu tidak hanya dipengaruhi oleh ilmu ushul fikih, akan tetapi terpengaruh juga oleh ilmu ushul hadis. Ibn Jinni dalam bukunya al-Khashais telah berisyarat tentang itu. Di antara istilah-istilah ilmu ushul hadis yang mempengaruhi ulama ushul nahwu adalah naql, ruwat, isnad, irsal, musnad, mursal, majhul, tarjih, tarjih fi al-isnad, tarjih fi al-matn, ijazah dan munawalah.

No comments: