CORAK PEMIKIRAN ISLAM
NASR HAMD ABU ZAID
Biografi Nasr Hamid Abu Zaid[1]
Nashr Hamid Abu Zaid lahir pada tanggal 10
Juli 1943 di Quhafa propinsi Tanta Mesir Bagian Barat. Saat berusia 8 tahun dia
telah menghafal 30 juz. Pendidikan tingginya mulai S1, S2 dan S3 dalam jurusan
Bahasa dan Sastra Arab di selesaikannya di Universitas Kairo dengan predikat
Highest Honous. Pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), saat
memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern
Studies University of Pensylivania Philadelphia USA.
Setelah karya-karyanya dinilai kurang bermutu
bahkan dinyatakan menyimpang dan merusak karena isinya melecehkan ajaran Islam,
menghujat Rasulullah; menodai al-Qur’an dan menghina para ulama salaf, ia dan
istrinya pergi meninggalkan Mesir dan berdomisili di Belanda hingga sekarang.
Di Belanda ia diangkat sebagai professor di bidang Bahasa Arab dan studi Islam
dari Lieden University Kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam
Selatan.
METODE BERFIKIR
Nasr Hamid menggunakan metode
Historic-Literary-Critic dengan menggunakan pendekatan hermeneutic linguistic
yang memanfaatkan analisa mikro structural dan analisa makro structural. Dengan
landasan konsep teks ini beliau dapat merumuskan pemahaman ilmiah atas teks
primer agama setelah itu.
Kritik wacana agama memperoleh criteria yang
jelas dalam membongkar teks-teks sekunder yang menumpuk disekitar teks primer
tadi. Adapun dua analisa yang dimaksud adalah :
1. Analisa Mikro Stuktural : yaitu analisa
tehadap system intern wacana itu sendiri yang menyangkut status literernya.
Pada pada pemikiran dan pengungkapan pengertian tekstualnya. Sebelum beralih
kesignifikasi sosio-politik-kritik ideology. Hal ini digunakan untuk
menghindari kesalahan kesalahan anlisa mekanis-reflektif yang gerak
metodologisnya dari luar kedalam.
2. Analisa Makro Structural : yaitu upaya
untuk memfokuskan perhatian kritik wacana yang ditujukan guna mengunkap
signifikasi eksternal dari wacana itu. Signifikasi itu merupakan berupa konteks
bagi kelahiran wacana itu sendiri. Dengan maka setiap wacana realitas dapat
dirujukan pada seting histories dan lingkungan sosial budaya tertentu. Dengan
demikian maka menurut Nasr kritik wacana itu sendri terdapat dua fungsi. Yang
pertama, berupaya membuktikan bahwa setiap wacana merupakan bagian dari
kesatuan pemikiran yang lebih dimana ia hanya menjadi bagian dari penggal
sejarah tertentu. Kedua harus dapat merekonstruksi wacana yang diam sehingga
dapat menempatkan dalam konteks idiologis yang membentuk dan dengan kata lain
kritik wacana harus dapat menampilkan signifikasi sosio-politik dari setiap produksi
dan praksis kekuasaan yang tengah dijalani dan dijalankan.[2]
PEMIKIRAN NASR HAMID ABU ZAID
Teori al-Quran Nasr Hamid: al-Quran adalah
produk budaya
Dalam menerapkan teori hermeuneutika dalam
mengkaji al-Quran, Nasr Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra
(nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) atau Metodologi kritik
sastra (literary criticism). Dalam pandangannya metode tersebut merupakan
satu-satunya metode untuk mengkaji Islam, Nasr Hamid menyatakan:
“Oleh sebab itu, metode analisis bahasa
merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan
(risalah), dan berarti memahami Islam.”
Dengan Metode kritik ini Nasr Hamid
berpendapat bahwa al-Quran walaupun ia merupakan kalam ilahi, namun al-Quran
menggunakan bahasa manusia. Karena itu al-Quran tidak lebih dari teks-teks
karangan manusia.
Nasr Hamid mulai mengenal teori-teori
hermeneutika ketika berada di Universitas Pennsylvania, Philadelphia pada tahun
1978-1980. Dalam artikelnya di harian Republika (30/9/2004) Dr. Syamsudin Arif
mencatat, bahwa Nasr Hamid memang terpesona dengan hermeuneutika, sebagaimana
ia ungkap dalam biografinya yang ia beri judul Voice of an Exile: Reflections
on Islam. Dalam bukunya tersebut Abu Zaid mengakui bahwa hermeneutika telah membuka
cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan:
I did a lot of reading on my own, especially
in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science
ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me.
Artinya:
“Aku banyak membaca sendiri, khususnya di
dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan
teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.”
Mengomentari pemikiran Nasr Hamid tersebut,
Dr. Syamsudin Arif mengatakan:
“Orang macam Abu Zaid ini cukup banyak. Ia
jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istri
Aladin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang
sihir”.
Sekembali dari Amerika, Nasr Hamid
menyelesaikan disertasi Doktornya pada tahun 1980 dengan judul: Falsafah
al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil AI-Qur’an `inda Muhy al-Din ibn `Arabi (Filsafat
Hermeneutika: Studi Terhadap Hermenutika Al-Qur’an menurut Ibn Arabi). Ia
mengklaim bahwa dirinyalah yang pertama kali menulis tentang hermeneutika di
dalam bahasa Arab dengan tulisannya al-Hirminiyutiga wa Mu’dilat Tafsir al-Nas
(Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) pada tahun 1981. Di dalam karya
tersebut, Nasr Hamid memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang
telah dilakukan oleh Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Emilio
Betti, Hans Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan Eric D. Hirsch.
Setelah akrab dengan literatur hermeuneutika
Barat, Nasr Hamid kemudian membahas mengenai hakikat teks, yang merupakan
persoalan mendasar dalam hermeuneutika, di antara masalah yang ia dengungkan
adalah anggapannya bahwa teks-teks agama adalah teks-teks bahasa yang bentuknya
sama dengan teks-teks yang lain di dalam budaya atau konsep al-Quran sebagai
produk budaya (Muntaj Tsaqafi) dan memposisikan Nabi Muhammad ` sebagai
“pengarang al-Quran”.
Untuk menerapkan konsep Muntaj Tsaqafi-nya,
Nasr Hamid mendekonstruksi konsep al-Quran yang telah disepakati oleh umat
Islam selama berbad-abad; yaitu konsep bahwa al-Quran adalah ‘kalamullah’ yang
lafadz dan maknanya dari Allah I. Namun, kajian Nasr Hamid tersebut lebih mirip
kepada Biblical Critism (kritik teks Bible) yang telah berkembang dalam tradisi
Kristen, dari pada konsep kemakhlukan al-Quran-nya Muktazilah, Kaum Mu’tazilah
memposisikan Al Qur’an sebagai kalam Allah I meskipun kalam Allah I itu di
anggap sebagai makhluq yang diciptakan oleh Allah I sebagaimana Allah I
menciptakan makhluq lain. Jadi kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al Qur’an itu
adalah tidak Qadim. Tapi Mu’tazilah sama sekali tidak berpendapat bahwa Al
Qur’an adalah karya Muhammad sebagai produk budaya dan harapan orang-orang yang
ada di sekitarnya seperti yang di kemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd. Maka
salah jika ada yang berpendapat bahwa pemikiran Nasr Hamid berasal dari tradisi
Islam.
Dalam tradisi Kristen, studi tentang Kritik
Bible dan kritik teks Bible memang telah berkembang pesat. Dr. Ernest C.
Colwell, dari School of Theology
Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini dan menulis satu buku
berjudul “Studies in Methodology in Textual Critism on the new Testament”. Reginald H. Fuller, dalam bukunya yang
berjudul A Critical Introduction to the New Testament, menulis;
“Itulah mengapa jika kita hendak memahami apa
yang dimaksud teks-teks Perjamjian Baru sesuai maksud para penulisnya ketika
pertama kali ditulis, kita harus terlebih dahulu memahami situasi historis pada
saat ia ditulis pertama kali”.
Setelah itu, kalangan pemuka dan cendekiawan
Kristen mulai mengarahkan studi mereka terhadap al-Quran, sehingga mereka menempatkan
posisi al-Quran sama dengan posisi Bible. Studi Biblical Critism terhadap
al-Quran ini mulai muncul sejak abad ke-19. Di antara sarjana Barat, orientalis
dan Islamolog Barat yang menerapkan metode ini adalah; Abraham Geiger, Gustav
Weil, William Muir, Theodor Noldeke, W. Montgomery Watt, Kenneth Cragg, John
Wansbrough, dan yang masih hidup seperti Andrew Rippin, Christoph Luxenberg,
Daniel A. Madigan, Haraid Motzki dan masih banyak lagi lainnya.
Orientalis yang termasuk pelopor awal dalam
menggunakan Biblical critism ke dalam Al-Qur’an adalah Abraham Geiger (m.
1874), seorang Rabbi sekaligus pendiri Yahudi Liberal di Jerman. Pada tahun
1833, Geiger menulis Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen? (Apa yang
telah Muhammad Pinjam dari Yahudi?). Di dalam karyanya tersebut, ia mengkaji
AI-Qur’an dari konteks ajaran-ajaran Yahudi. Ia melihat sumber-sumber Al-Qur’an
dapat dilacak di dalam agama Yahudi.
Setelah itu, berbodong-bondonglah para
orientalis melakukan kajian kritis terhadap teks al-Quran, sebagaimana pada
Bible, mereka menyamakan al-Quran dan Bible sebagai sebuah teks saja. Gerd R.
Joseph Puin, seorang Orientalis pengkaji al-Quran telah menyarankan perlunya
studi ke`sejarahan al-Quran, ia mengatakan:
“Begitu banyak kaum muslimin beranggapan bahwa
al-Quran merupakan kata-kata Tuhan yang tidak pernah mengalami perubahan”. Dan ia juga mengatakan: “Mereka (para
cedekiawan) sengaja mengutip karya naskah yang menunjukkan bahwa Bible memiliki
sejarah dan tidak langsung turun dari langit, namun sampai sekarang al-Quran
masih berada di luar konteks pembicaraan ini. Satu-satunya cara menggempur
dinding penghalang ini adalah mengadakan pembuktian bahwa al-Quran memiliki
sejarah”.
Pendapat Nasr Hamid bahwa al-Quran adalah
‘produk budaya’ adalah problematik. Kapan al-Quran menjadi produk budaya? Jika
al-Quran menjadi produk budaya ketika wahyu selesai, maka dalam rentang waktu
wahyu pertama turun hingga wahyu selesai, al-Quran berada dalam keadaan pasif
karena ia produk budaya Arab Jahiliyah. Namun, ini pendapat salah, karena
ketika diturunkan secara berangsur-angsur al-Quran ditentang dan menentang
budaya Arab Jahiliyah saat itu. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena
al-Quran bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa
budaya baru dengan mengubah budaya yang ada.
Menurut Prof. Naquib al-Attas, bahasa Arab
al-Quran adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu,
telah di-Islam-kan maknanya. Al-Quran mengislamkan dan membentuk makna-makna
baru dalam kosa kata bahasa Arab. Kata-kata penghormatan (muruwwah), kemuliaan
(karamah), dan persaudaraan (ikhwah), misalnya, sudah ada sebelum Islam.
Tapi, kata-kata itu di Islamkan dan diberi
makna baru, yang berbeda dengan makna zaman jahiliyah. Kata ‘karamah’, misalnya,
yang sebelumnya bermakna ‘memiliki banyak anak, harta, dan karakter tertentu
yang merefleksikan kelelakian’, diubah al-Quran dengan memperkenalkan unsur
ketakwaan (taqwa). Contoh lain, juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan
dan kesombongan kesukuan. Diubah maknanya oleh al-Quran, dengan memperkenalkan
gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi
daripada persaudaraan darah.
Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran
Studi Nasr Hamid selanjutnya adalah analisa terhadap
corak sebuah teks yang dengan hal itu dapat diketahui kondisi pengarang teks
tersebut. Pendapat Nasr Hamid ini ia adopsi dari tokoh hermeneutika modern,
Frederich Schleirmacher yang merumuskan teori hermeuneutikanya berdasarkan pada
analisa terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya dan
kejiwaan) pengarangnya.
Karen Armstrong telah meresume pandangan
Schleirmacher terhadap Bibel sebagai berikut:
Bahwa Bibel adalah sangat penting bagi
kehidupan kaum Kristen, karena ia adalah satu−satunya sumber informasi tentang
Yesus. Tapi, karena penulis−penulis Bibel terkondisi dalam lingkungan sejarah
dimana mereka hidup, maka adalah sah−sah saja untuk mengkritisi dengan cermat
karya mereka.
Schleirmacher mengakui bahwa kehidupan Yesus
adalah wahyu suci, tetapi para penulis Bibel adalah manusia biasa yang bisa
salah dan bisa terjebak dalam dosa. Karena itulah, mereka mungkin saja berbuat
kesalahan. Karena itulah, menurut Schleirmacher, tugas para sarjana Bibel
adalah membuang aspek−aspek kultural dari Bibel dan menemukanintisarinya yang
bersifat abadi. Tidak setiap kata dalam Bibel adalah otoritatif, karena itu,
kata Schleirmacher, seorang penafsir harus mampu membedakan mana ide−ide yang
marginal dan ide inti dalam Bibel.
Dari sini kita dapat dengan mudah mengetahui
pengaruh penafsiran kaum Liberal Yahudi dan Kristen terhadap Nasr Hamid.
Setelah itu Nasr Hamid tampil cerdik, dengan menempatkan Nabi Muhammad `
sebagai penerima wahyu pada posisi semacam “pengarang al-Quran”, dia menulis
dalam bukunya Mafhum al-Nash:
“Bahwa al-Quran yang diturunkan melalui
Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa, Muhammad, sebagai
penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan
masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan
berkembang di Makkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad
sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan Badui. Dengan demikian,
membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya
sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia
yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya.
Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya”.
Pendapat Nasr Hamid Abu Zayd ini merusak konsep dasar Al Qur’an yang dianut
sebagian besar umat Islam, bahwasanya Muhammad hanyalah sebagai penyampai wahyu
saja, beliau tidak merubah sedikitpun yang diterimanya dari Allah I. Beliau pun
Ma’shum artinya terjaga dari kesalahan. Al Qur’an menyebutkan:
وَمَا يَنْطِقُ
عَنِ الْهَوَى
Artinya:
“Dan Dia (Muhammad `) tidak menyampaikan
sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang di wahyukan kepadanya”. (QS. Al Najm:3)
Dengan menyebut al-Quran sebagai cultural
product dan menempatkan posisi Nabi Muhammad ` sebagai pengarang al-Quran, maka
Nasr Hamid telah melepaskan posisi al-Quran sebagai kalamullah yang suci dan
menghilangkan sakralitas al-Quran dan menjadikan al-Quran hanya teks manusiawi
atau hasil pengalaman individual yang diperoleh nabi Muhamamad ` dalam waktu
dan tempat tertentu yang latar belakang sejarah sangat mewarnai pemikirannya.
Dalam buku terbitan PT Gramedia yang ditulis
oleh tiga personel Islam Liberal yaitu Abd Moqsith Ghazali, Luthfi Assyaukanie,
dan Ulil Abshar Abdalla yang berjudul “Metodologi Studi al-Quran” disebutkan
secara jelas tentang penolakan mereka terhadap pemahaman dan keyakinan umat Islam bahwa al-Quran adalah kalamullah.
Kaum Liberal menganggap bahwa al-Quran adalah kata-kata Muhammad `, ditulis
dalam buku tersebut:
“Muhammad bukan sebuah disket, melainkan orang
yang cerdas, maka tatkala menerima wahyu, Muhammad ikut aktif memahami dan
kemudian mengungkapkannya dalam bahasa Arabnya sendiri. Karena itu, menurut
Nasr Hamid Abu Zaid tidak bertentangan jika dikatakan bahwa al-Quran adalah
wahyu Tuhan dengan teks Muhammad (Muhammadan text).”
Menurut Dawam Raharjo, perbedaan pandangan
terhadap konsep al-Quran apakah kalamullah atau kata-kata Muhammad merupakan
perbedaan utama antara metode Tafsir klasik dengan metode Hermeuneutika, ia
mengatakan: “Metode Hermeuneutika ini berbeda dengan penekanan tafsir al-Quran
tradisional yang bertolak dari kepercayaan bahwa al-Quran itu adalah kalam ilahi. Dalam pengertian itu, Tuhan tidak
dipandang sebagai pengarang, sebagaimana manusia yang mengarang puisi atau
prosa. Dalam menafsirkan al-Quran, para penafsir tidak melihat latarbelakang
social Tuhan yang memengaruhi perkataan Tuhan. Sedangkan dalam hermeuneutika,
penafsir teks berusaha memahami teks dengan mempelajari pengarangnya, bahkan pembacanya,
ketika teks itu diciptakan atau ditafsirkan kemudian.”
Ia juga menyatakan: “Disinilah perlunya metode
hermeuneutika, yang mencoba memahami teks berikut dengan mempelajari konteks,
sehingga para penafsir bisa menemukan esensi makna suatu ayat yang mungkin saja
keliru sebagaimana pernah diwacamakan oleh Muhamamad Abduh.”
No comments:
Post a Comment