oleh : Herman RN
Sosiolinguistik
bukanlah sekedar pembahasan “campuran” antara ilmu bahasa dan sosiologi atau
ilmu sosial lainnya, tetapi di dalamnya juga mencakup prinsip-prinsip setiap
aspek kehidupan yang berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural. Oleh karena
itu, agar pembahasan di sini tidak meluas, kami membatasinya pada “Bahasa dan
Budaya” sebagai aspek kultural kehidupan sehari-hari.
Banyak
ahli dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Sebut saja di antaranya Suryadi, dosen Politeknik Medan,
dalam makalahnya Hubungan Antara Bahasa dan Budaya, yang disampaikan
dalam seminar nasional “Budaya Etnik III” di Universitas Sumatera Utara 25
April 2009 kemarin. Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai
bahasa. Sebelumnya, pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan
budaya memiliki kajian erat. Kajian yang sangat terkenal dalam hal ini adalah
teori Sapir-Whorf. Kedua ahli ini menyatakan, “Jalan pikiran dan kebudayaan
suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya” (Chaer,
2003:61).
Sementara
itu, Piaget, seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan
membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahir teori pertumbuhan kognisi
oleh Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky, sarjana Rusia, berbendapat
bahwa perkembangan bahasa lebih awal satu tahap sebelum berkembangnya pemikiran
(budaya) yang kemudian keduanya bertemu sehingga melahirkan pikiran berbasa dan
bahasa berpikir. Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat
kaitan dengan budaya. Demikian halnya dengan Eric Lenneberg yang memiliki
kesamaan pandangan dengan teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Chomsky dan
Piaget (Chaer, 2003:52-58).
Lantas,
bagaimanakan hubungan dan keterkaitan antara bahasa dan budaya, inilah yang
akan kami coba ulas dalam tulisan singkat berikut ini, tentunya berdasarkan
teori-teori yang sudah ada dan mengaitkan sedikit dengan lokalitas keacehan
sebagai tempat (daerah) masalah ini kita diskusikan.
HUBUNGAN BAHASA DAN BUDAYA
Chaer
(2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi.
Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang
bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk
berinteraksi dan mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu
berdasarkan pandangan Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18),
de Saussure (1996:16), dan Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3)
dan Keraf (1984:16) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:88) disebutkan bahwa:
1. bahasa merupakan sistem lambang
bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri;
2. bahasa merupakan percapakan
(perkataan) yang baik.
Pendapat
lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa
bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini
menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan
bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini
disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada
kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat
berkomunikasi.
Budaya
adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI,
2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang
dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa
bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran
di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah
para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai
alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan
(sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah
manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang
selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau
yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau
“lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul
beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah
kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa
dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.
Dalam
interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau
kita sampaikan kepada lawan bicara tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan
memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor, antara lain: beda usia, beda
pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga
berhubungan dengan bahasa. Kata “Kamu” dan “Kau” misalnya, diucapkan berbeda
dalam konteks budaya berbeda. Sebutan “Bapak” di negara yang menggunakan bahasa
pengantarnya adalah bahasa Inggris tidak cenderung digunakan. Masyarakat
penutur bahasa Inggris akan langsung menggunakan sebutan nama diri/nama orang
kepada lawan bicara yang lebih tua sekalipun. Hal yang wajar bagi masyarakat
penutur bahasa Inggris ini tentu saja tabu jika dipakai oleh penutur bahasa
Melayu atau Indonesia. Bahkan, akan lebih tabu lagi jika dipakai dalam
masyarakat Aceh yang terkenal kental adat istiadatnya dalam menghormati orang
lebih tua. Contoh lainnya dalam bahasa Inggris adalah kata “mati”. Bahasa
Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama dengan maksud
kata “mati” misal mampus, meninggal dunia, punah, mangkat, wafat, tewas,
lenyap, dsb., sedangkan dalam bahasa Inggris hanya ada dua kata saja, yaitu
die dan pass away.
Pemilihan
kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada
budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh
Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk
sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan
wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan
budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu.
Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu
masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat, tergantung kultur
daerah yang bersangkutan.
Bahasa
sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya.
Dalam bahasa Bali misalnya, terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa
‘jangan menganggap diri ini mampu’ mengandung nilai ajaran agar orang jangan
merasa mampu; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa, rumongso
biso, nanginging ora biso rumongso ‘merasa mampu, tetapi tidak mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain’. Dalam bahasa Aceh pun ada ungkapan ubiet
takalon geuhön tatijik ‘kecil kita lihat, (tapi) berat dijinjing.
Bahasa-bahasa (ungkapan) tersebut memiliki ciri khas budaya masing-masing
penuturnya yang tak pula terlepas dari konteks.
Penelitian
Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa
bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya
terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana
sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi
Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu
dapat mencerminkan identitas kelompok.
Bahasa
yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz
(Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972
terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam
regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti
bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan
penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana
dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada
bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda
itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya,
yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.
BAHASA DAN KEBUDAYAAN DALAM MASYARAKAT ACEH
Pemahaman
mengenai tingkah laku sosial melalui bahasa tergantung pada teori umum tentang
masyarakat. Oleh karena itu, pemahaman pertukaran bahasa dan pengekalan bahasa
juga bergantung kepada teori sosiobudaya.
Kebudayaan
atau kebiasaan masyarakat penutur bahasa Aceh misalnya. Penutur bahasa Aceh
Barat dan bahasa Aceh Selatan (termasuk Lamno, Jeuram, dan Nagan Raya) bertutur
antara anak dan orangtuanya akan berbeda dengan kebiasaan masyarakat Aceh Utara
(termasuk Pidie, Peusangan, dan sebelah timur Aceh) dalam konteks yang sama,
yakni “anak menyapa orang tua”. Dalam masyarakat Aceh Barat-Selatan adanya penggunaan
ku- ‘aku’ saat menyapa orangtuanya dipandang sebagai hal yang biasa.
Misal: uroe nyoe han ék kujak peukan, Mak. Namun, dalam
masyarakat Aceh Utara, ku di sana tidak biasa digunakan sehingga
dipandang “kasar”. Masyarakat Aceh Utara akan menggunakan kata lôn/lôntuan
untuk menyapa orangtuanya atau orang yang lebih tua dari dia, uroe nyoe lôn
han ék lônjak peukan, Mak.
Contoh
lain, pada kata singoh ‘besok’. Dalam kebiasaan masyarakat Aceh Selatan,
kata singoh bermakna besok yang jangka waktunya bisa lebih dari sehari
setelah hari ini (hari diucapkan kata tersebut) bahkan sampai pada waktu yang
tidak ditentukan. Namun, dalam masyarakat Aceh Utara, kata singoh berarti
besok yang maknanya sehari setelah hari ini. Bagi masyarakat Aceh Barat dan
Aceh Selatan, ucapan untuk menyatakan besok dalam artian sehari setelah hari
ini adalah singoh beungoh. Namun, bagi masyarakat Aceh sebelah timur dan
utara, ungkapan singoh beungoh maknanya adalah sehari setelah hari ini
yang tepat pada paginya. Kalau sudah menjelang siang, tidak diucapkan lagi singoh
beungoh, tetapi bisa saja cot uroe singoh. Hal ini jelas
memperlihatkan perbedaan kebiasaan dalam penutur bahasa Aceh yang mempelihatkan
kebudayaan suatu wilayah terutama dalam hal berjanji. Akibat yang ditimbulkan
dalam hal ini adalah kebiasaan menepati janji yang akhirnya dipandang sebagai
sebuah kebudayaan.
Karena
itu, banyak pakar linguistik mengatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan.
Teori yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf, yang dikutip
oleh banyak ahli dalam menulis buku tentang sosiolinguistik dan psikolinguistik1.
Dalam bahasa Sapir dan Whorf, disebutkan bahwa bahasa itu mempengaruhi cara
berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Apa yang dilakukan
manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-sifat bahasanya.
Perkara
“waktu” sebagai salah satu kebiasaan dalam bertindak dan berkomunikasi seperti
saya contohkan di atas juga sudah pernah disitir oleh Chaer (1994:70) saat
mengamati teori Sapir-Whorf. Chaer sepakat bahwa apa yang disebutkan oleh teori
tersebut memunculkan nama “jam karet” bagi bangsa Indonesia, sedangkan di Eropa
ungkapan tersebut tidak ada.
Teori
ini kemudian banyak dibantah orang. Beberapa ahli seperti saya sebutkan dalam
pendahuluan tulisan ini mengatakan bahwa kebudayaanlah yang mempengaruhi
bahasa. Umpanya, karena masyarakat Inggris tidak berbudaya makan nasi, dalam
bahasa Inggris tidak ditemui kosa kata yang menyatakan padi, gabah, beras, dan
nasi, semua kosa kata itu disebut dengan rice. Contoh lainnya, pada
masyarakat Eskimo yang sudah berbudaya tinggal di daerah salju, memiliki lebih
dari sepuluh buah kosa kata untuk mengungkapkan kata salju. Di sisi lain,
masyarakat Indonesia, termasuk Aceh, hanya punya satu kata untuk menyebut
buliran dingin itu, yakni salju, itu pun serapan dari bahasa Arab (Chaer,
1994:70-71).
Kendati
teori Sapir-Whorf banyak dibantah orang, banyak pula yang sampai sekarang masih
membicarakannya. Persoalan sepakat atau tidaknya bahwa bahasa mempengaruhi
kebiasaan (kebudayaan) akhirnya kembali kepada peneliti yang meneliti dari
sudut pandang mana. Pasalnya, tidak ada bahasa di dunia ini yang sempurna, yang
memiliki kekomplitan kosa kata untuk mengungkapkan hal atau perihal tertentu. wallahu’alam!
——————-
1 Di
antara buku-buku yang mengutip teori Sapir-Whorf adalah Linguistik Umum (Abdul
Chaer, 1994), Sosiolinguistik Perkenalan Awal (Abdul Chaer dan Leonie Agustina,
2004), Sosiologi Bahasa (Joshua A Fishman, 1991), Sosiolinguistik (Sumarsono
dan Paina Partana, 2002), Psikolinguistik Kajian Teoritik (Abdul Chaer, 2003).
DAFTAR RUJUKAN
Bloomfield,
Leonard. 1995. LANGUAGE. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Brown,
Gillian dan George Yule (dindonesiakan oleh Soetikno).1996. Analisis Wacana.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chaer,
Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
——–.2003.
Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Fishman,
Joshua A. 1991. Sosiologi Bahasa. Kuala Lumpur: Universitas Sains Malaysia
Pulai Pinang.
Munsyi,
Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Jakarta: KPG.
Sumarsono
dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA dan Pustaka
Pelajar.
Suryadi.
2009. Hubungan Antara Bahasa dan Budaya. Universitas Sumatera Utara (makalah
Seminar Nasional Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera
Utara, Medan 25 April 2009).
2005.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Pusat Bahasa RI.
No comments:
Post a Comment